Penghapusan
Gelar Akademik
Jony Oktavian Haryanto ; Ketua Prodi Entrepreneurship Podomoro
University
|
SUARA MERDEKA, 10 Juni 2015
KITA mungkin terkesima
bila mendengar atau membaca nama seseorang dengan sederet gelar akademik.
Nama itu bisa bertambah panjang bila ditambah gelar terkait dengan keahlian
profesi. Misal, ahli audit sistem informasi yang berhak mencantumkan gelar
CISA (Certified Systems Information
Auditor) di belakang nama. Atau, bisa juga gelar dalam bidang keuangan
lain, seperti CFP (Certified Financial
Planner) atau CFA (Chartered
Financial Analyst).
Berapa lama waktu yang
dia habiskan di bangku kuliah? Lalu, dari perguruan tinggi mana saja? Di
Indonesia, gelar pendidikan kerap berkorelasi positif dengan promosi jabatan
dan tingkat kesejahteraan. Makin banyak dan tinggi gelar, makin terbuka pula
peluang meraih posisi lebih tinggi. Itu berarti makin terbuka pula peluang
untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan.
Tak heran banyak PNS,
juga pegawai BUMN dan swasta, berlomba-lomba melanjutkan pendidikan hingga
jenjang S-2 atau S-3. Pasalnya, hanya dengan cara begitu PNS bisa naik
jabatan menjadi kepala bagian, misalnya. Atau, kalau di BUMN dan perusahaan
swasta mungkin bisa menjadi general manager dan bahkan masuk jajaran direksi.
Di lingkungan politik,
dengan tambahan gelar akademik peluang seseorang untuk terpilih menjadi calon
anggota legislatif relatif lebih terbuka karena ‘’daya jualnya’’menjadi lebih
tinggi. Kalau dia terpilih menjadi anggota legislatif, hampir pasti kesejahteraannya
pun semakin meningkat.
Moral Hazard
Dalam banyak kasus,
saya malah melihat harapan seperti itu berisiko memicu moral hazard:
memperoleh gelar jauh lebih penting ketimbang mencari ilmu guna meningkatkan
kompetensi. Jadi, asal bisa mencantumkan gelar S-2 atau S-3, meski perguruan
tingginya berada di ruko atau ìnumpangî di satu sekolah, bukan soal. Bahkan
tak penting pula dosennya dari mana.
Kita bisa memotret
fenomena itu dari kemerebakan jasa pembuatan skripsi, tesis dan disertasi.
Bahkan yang lebih kasar lagi adalah kemerebakan jual beli ijazah palsu. Kita
bisa dengan mudah menemukan pihak yang menawarkan jasa tersebut lewat
internet. Ada juga yang menawarkan gelar profesor, yang sejatinya bukan gelar
akademik.
Bagaimana kita
menyikapi kemerebakan fenomena jual beli ijazah, jasa penulisan tesis dan
disertasi hingga iming-iming gelar profesor? Pemerintah perlu mengambil
langkah tegas terhadap pihak-pihak yang menawarkan jasa tersebut, termasuk
kepada pembelinya. Kita perlu menerapkan konsep revolusi mental yang
ditawarkan Jokowi-JK. Salah satu revolusi itu adalah dengan tak lagi terlalu
mengidolakan gelar akademik, tapi lebih mengutamakan kompetensi.
Kita bisa berkaca dari
pengalaman beberapa negara, seperti Jepang, Prancis, atau Tiongkok. Di negara
itu jarang orang mencantumkan gelar akademis di depan atau belakang nama.
Gelar dipakai hanya di lingkungan akademis. Di Jepang misalnya, jika ada
ilmuwan diminta jadi pembicara seminar, dia enggan mencantumkan gelar
akademis. Juga, tak ada istilah guru besar sehingga ilmuwan tak akan
repot-repot menghabiskan banyak waktu untuk memburu jabatan guru besar.
Sebaliknya, mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk meneliti.
Begitu pula di
Prancis, jarang orang mencantumkan gelar akademis. Di sana kemampuan seseorang
dinilai dari jabatannya, bukan gelar akademisnya. Di Tiongkok pun begitu,
jarang orang mencantumkan gelar akademis untuk sesuatu yang kurang relevan
dengan bidang pekerjaannya.
Kita sebetulnya
mempunyai beberapa tokoh yang juga tak begitu mengidolakan gelar. Misal
mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan Soemantri Brodjonegoro (juga pernah
menjadi menteri Pertambangan) dan Fuad Hasan. Kita tahu keduanya doktor dan
profesor. Namun, semasa menjabat menteri, keduanya tidak mencantumkan gelar
akademis dalam tiap surat keputusan yang mereka tanda tangani. Buat mereka
kompetensi lebih penting ketimbang gelar.
Tenaga Terdidik
Menurut McKinsey
Global Institute, Indonesia pada 2012 menempati peringkat ke-16 perekonomian
dunia dan memiliki sekitar 55 juta tenaga terdidik (skilled worker). McKinsey memperkirakan tahun 2030, Indonesia
menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-7 di dunia. Untuk sampai ke
sana, kita butuh dukungan 113 juta tenaga terdidik.
Itu artinya kita
betul-betul membutuhkan tenaga kompeten, bukan sekadar bergelar S-1, S-2 atau
S-3.
Saat ini kompetensi
tenaga terdidik kita sungguh memprihatinkan. Indikatornya, 17% dari lulusan
perguruan tinggi kita masih menganggur.
Kita tentu belum lupa
dengan kisah Ignatius Ryan Tumiwa, lulusan S-2 dari Universitas Indonesia
yang meminta fatwa MK agar diperbolehkan bunuh diri. Ia frustrasi karena
sudah bertahun-tahun lulus, masih menganggur. Kita juga kerap mendengar
keluhan sejumlah perusahaan tentang kualitas lulusan perguruan tinggi. Banyak
sarjana tak siap pakai. Agar siap bekerja, perusahaan mesti mengeluarkan
biaya tambahan dengan mendidik mereka melalui program management trainee.
Kini saatnya kita
merevolusi mental, dan salah satunya dengan menghapus gelar pada sistem
pendidikan tinggi sehingga tidak ada lagi “sarjana kertas”. Mahasiswa tak
perlu memplagiasi karena tak perlu mengejar gelar, tetapi kompetensi.
Mahasiswa akan lulus jika berhasil menunjukkan kompetensinya, bukan karena
memenuhi tugas formal seperti tes atau tugas akhir. Pasar juga akan lebih
menghargai lulusan tanpa gelar namun kompeten, ketimbang sarjana kertas yang
hanya mampu menjiplak karya orang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar