Kisah Tragis Angeline
Bagong Suyanto ; Dosen FISIP Universitas Airlangga; Mengajar
Mata Kuliah Masalah Sosial Anak; Peneliti Kasus-kasus Pelanggaran Hak Anak
|
KOMPAS, 13 Juni 2015
Setiap ada kabar
tentang anak yang menjadi korban tindak kekerasan, miris hati ini. Seperti
kisah Angeline (8), bocah malang yang pekan ini ditemukan tewas
dan dikubur di bawah kandang ayam.
Siapa yang tak trenyuh
membayangkan korban adalah anak kita yang seharusnya berlimpah kasih sayang,
tetapi ternyata menjadi korban tindak kekerasan orang-orang terdekatnya.
Setelah dinyatakan
hilang sejak 16 Mei 2015, akhirnya terkuak fakta bahwa sebelum tewas,
hari-hari Angeline penuh dengan duka lara. Kasus Angeline adalah salah satu
di antara berbagai kasus penganiayaan dan pemerkosaan anak yang terjadi di
Tanah Air. Jumlah kasus tindak kekerasan terhadap anak terus meningkat dengan
derajat tingkat kejahatan dan kekerasan yang semakin mencemaskan.
Tahun 2011, tercatat
ada 2.637 kasus kekerasan anak yang masuk ke Komnas Perlindungan Anak. Dari
jumlah itu, 62 persen adalah kasus kejahatan seksual. Tahun 2013, Komnas PA
mencatat ada 3.339 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan, 52 persen
di antaranya kejahatan seksual. Tahun 2014, periode Januari-September, ada
2.626 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan. Tahun 2015 diprediksi kasus penelantaran
dan tindak kekerasan terus naik.
Memilih diam
Kekerasan terhadap
anak (child abuse) didefinisikan
sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual-umumnya dilakukan oleh
orang-orang terdekat korban-dan menjadi ancaman terhadap kesehatan dan
kesejahteraan anak.
Kisah Angeline adalah
contoh tindak kekerasan terhadap anak, bukan hanya dalam bentuk verbal abuse,
melainkan juga penyerangan secara fisik dan seksual. Seperti kita ketahui,
yang dimaksud child abuse tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan
fisik, tetapi juga berbagai bentuk eksploitasi, misalnya pornografi,
pemberian makanan yang tidak layak atau tidak bergizi, pengabaian
pendidikan dan kesehatan, serta
kekerasan terkait medis (Gelles, 1985).
Di sejumlah negara,
seperti Amerika Serikat, Malaysia, dan Filipina, berbagai kasus child abuse
dapat terdeteksi cukup baik karena hukum mereka mewajibkan dokter dan guru
melaporkan kasus child abuse kepada aparat.
Di Malaysia sejak
tahun 1991, dokter yang lalai akan dikenai denda seribu ringgit. Tetangga dan
guru juga dianjurkan melaporkan adanya kasus child abuse yang mereka ketahui
(Julianto, Juni 1999). Filipina sejak tahun 1992 telah menandatangani
Undang-Undang Nomor 7610 tentang Perlindungan Khusus untuk Anak dari
Perlakuan Salah, Eksploitasi, dan Diskriminasi terhadap Anak. Ini terutama
untuk mencegah agar para pelaku tindak kekerasan terhadap anak tidak bisa
lolos dari jerat hukum.
Di Indonesia, meski
sejak tahun 2002 telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak, upaya untuk
menerjemahkan ke dalam program aksi yang melibatkan semua pemangku
kepentingan dalam upaya pencatatan dan penanganan anak korban child abuse
masih jauh dari memadai. Banyak kasus tindak penelantaran dan kekerasan pada
anak tidak tertangani sejak dini dan biasanya masyarakat baru terlibat ketika
anak-anak itu sudah telanjur menjadi korban.
Dalam kasus Angeline,
misalnya, sekalipun gurunya setiap hari melihat penampilan fisik korban yang
lesu, juga orang-orang di sekitar yang mendengar tangisan korban, tidak pernah ada yang melapor karena
dianggap sebagai masalah intern keluarga. Sebelum korban terluka atau tewas,
masyarakat lebih memilih diam.
Perlu keberanian
Sepanjang tidak ada
pihak lain yang berani mengingatkan, apalagi melaporkan kepada yang
berwenang, sepanjang itu pula kisah-kisah tragis seperti yang dialami
Angeline akan terus terjadi. Kasus penganiayaan anak biasanya terjadi di
dalam rumah dan tersembunyi dari amatan publik serta dilakukan oleh
orang-orang yang seharusnya memberikan perlindungan dan kasih sayang kepada
anak.
Henry Kempe dan Helper
(1972) telah membuat suatu daftar gejala kondisi yang biasanya muncul dan
ditemui pada keluarga yang kemungkinan terlibat dalam kasus penganiayaan anak
(child abuse).
Orangtua yang sering
memberikan cerita tidak jelas tentang asal muasal luka pada anak, terlalu
penuntut dan pengatur, menolak bekerja sama dengan petugas, serta anak-anak
yang tampak ketakutan ketika berada di sekitar orang-orang terdekat, termasuk
orangtuanya, adalah hal-hal yang perlu dicermati sebelum jatuh korban.
Sebaliknya, kondisi anak yang sering memar, luka, dengan kepribadian amat
tertutup, juga perlu diwaspadai.
Mencegah agar anak
tidak menjadi korban tindak kekerasan mustahil dapat dilakukan jika tidak
didukung kepekaan dan keterlibatan warga masyarakat. Jadilah watchdog untuk ikut mengawasi
kemungkinan terjadinya kasus neglect dan child
abuse. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar