Jangan
Menangisiku, Rupiah!
Junanto Herdiawan ; Deputi Direktur Departemen Komunikasi Bank
Indonesia
|
KOMPAS, 04 Mei 2015
“Don't Cry for Me, Rupiah! "The truth is I never left
you.". Lirik lagu "Don't
Cry for Me, Argentina" itu dapat menggambarkan kondisi rupiah saat
ini. Meski terus tertekan hingga menembus level Rp 13.000 per dollar AS,
bangsa Indonesia sepantasnya tetap mencintai rupiah.
Pada 13 Maret lalu ada
satu berita positif. Satu kantor berita asing menulis bahwa Indonesia sudah
tidak lagi masuk kategori negara "Fragile Five" (lima negara
rentan). Sebelumnya, Indonesia bersama dengan India, Afrika Selatan, Brasil,
dan Turki dikelompokkan dalam lima negara rapuh karena memiliki defisit
transaksi berjalan cukup besar terhadap produk domestik bruto (PDB), yang
berdampak terhadap rentannya nilai mata uang.
Namun, kini, India dan
Indonesia berhasil lolos dari kategori tersebut. Beberapa kemajuan yang
dilakukan di Indonesia, termasuk keinginan serius pemerintah untuk memperbaiki
masalah struktural dan iklim investasi, mampu menjaga kepercayaan
internasional. Paket kebijakan stabilisasi pemerintah juga patut diapresiasi.
Rupiah dinilai
memiliki daya tahan lebih dalam menghadapi penguatan dollar AS. Hal itu
terlihat dari perbandingan melemahnya real Brasil sekitar 18 persen, lira
Turki sekitar 13 persen, sementara rupiah "hanya" sekitar 6 persen.
Tentu saja pelemahan
rupiah perlu dicermati dengan hati-hati karena apabila pelemahan mata uang
terjadi secara terus-menerus dan dalam level yang signifikan, pada ujungnya
akan membebani kehidupan masyarakat, terutama yang memiliki kewajiban dan
kebutuhan valuta asing.
Peluang menguat
Pertanyaan yang kerap
muncul, sampai kapan rupiah tertekan? Dan, akankah rupiah kembali ke level,
misalnya, di bawah Rp 10.000? Para pejabat kerap mengatakan bahwa rupiah
bergerak sesuai kondisi fundamental ekonomi. Kita pun bertanya, apakah itu
fundamental ekonomi?
Untuk menjelaskannya,
kita perlu mengetahui apa yang membuat nilai mata uang suatu negara menguat
atau melemah. Pada dasarnya, penguatan atau pelemahan suatu mata uang,
termasuk rupiah, sangat dipengaruhi oleh daya saing perekonomian negara
tersebut. Jika sebuah perekonomian memiliki daya saing tinggi, mata uangnya
akan lebih stabil dan cenderung menguat. Demikian pula sebaliknya.
Cara paling mudah
melihat daya saing adalah pada posisi neraca pembayaran, khususnya di bagian
neraca transaksi berjalan (current account). Pentingnya kondisi neraca
transaksi berjalan tersebut membuat Bank Indonesia menggarisbawahi secara
khusus tingkat defisit yang sehat bagi Indonesia.
Hal ini karena negara
yang mengalami defisit transaksi berjalan mengalami kebutuhan valuta asing
lebih besar dari persediaannya. Di sisi lain, bisa juga disebabkan oleh
impornya yang lebih tinggi dari ekspor. Untuk menutupi defisit tersebut tentu
dibutuhkan tambahan valuta asing. Dengan demikian, secara teori, nilai mata
uang dari negara yang mengalami defisit transaksi berjalan cenderung melemah.
Negara bisa saja
menarik investor asing agar menanamkan dana valuta asingnya di dalam negeri.
Namun, apabila kepercayaan terhadap negara tersebut rendah, investor akan
enggan menanamkan dananya. Cara lain adalah memanfaatkan cadangan devisa atau
menerbitkan surat utang.
Saat ini, defisit
transaksi berjalan Indonesia sekitar 2,95 persen dari PDB. Sementara Turki
mengalami defisit transaksi berjalan sebesar 5 persen, atau hampir dua kali
Indonesia. Brasil mengalami defisit neraca berjalan mencapai 8 persen.
Melihat perbandingan tersebut, sewajarnya kalau mata uang Brasil dan Turki
melemah lebih besar daripada rupiah.
Di sisi lain, peso
Filipina dan baht Thailand relatif stabil dalam menghadapi tekanan. Hal itu
dapat dijelaskan dari posisi neraca berjalan kedua negara tersebut yang mencatat
surplus. Filipina mencatat surplus 3,5 persen dari PDB, sementara Thailand
mencatat surplus sekitar 2,2 persen.
Modal dasar bertahan
Sebenarnya Indonesia
memiliki modal dasar yang baik. Tekanan inflasi saat ini menurun, cadangan
devisa relatif tinggi, Indeks Harga Saham Gabungan stabil, dan indikator
risiko credit default swap menurun.
Dengan modal itu,
rupiah memiliki modal bertahan dari tekanan. Meski demikian, kita menyadari
bahwa untuk menjadikan rupiah memiliki ketahanan yang berkelanjutan, tak ada
cara singkat selain kita semua membulatkan tekad untuk memperbaiki defisit
transaksi berjalan.
Bagaimana caranya?
Tentu bukan dengan saling menyalahkan karena kita semua memiliki peran dalam
memperbaiki defisit. Pemerintah perlu meningkatkan ekspor, membangun
infrastruktur, memperbaiki iklim investasi, dan menggalakkan penggunaan
rupiah di dalam negeri.
Bank Indonesia perlu
mengendalikan stabilitas, dengan fokus pada inflasi dan mencermati tingkat
defisit transaksi berjalan. Kebijakan moneter berhati-hati diperlukan dalam
mengawal stabilitas.
Sementara itu, dunia
usaha dituntut untuk semakin kreatif mencari substitusi bahan baku impor,
melakukan perhitungan cermat pada pinjaman luar negerinya, dan meningkatkan
daya saing.
Anak muda Indonesia
juga dituntut mampu menciptakan produk kreatif yang mampu bersaing di luar
negeri. Di tingkat individu dan rumah
tangga, kita semua dituntut untuk waspada dan mencoba mengurangi
ketergantungan pada barang impor, termasuk makanan dan buah impor.
Sementara perbaikan
dilakukan, rupiah saat ini bergerak sesuai dengan fundamentalnya. Perbaikan
memang selalu membutuhkan proses, ketekunan, dan kesabaran. Namun, apabila
itu dapat terwujud nanti, kita tak perlu menangisi rupiah lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar