Hari
Integrasi Nasional
Freddy Numberi ; Tokoh Masyarakat Papua
|
KOMPAS, 30 April 2015
Bergabungnya Papua ke Indonesia pada 1 Mei
1963 tak bisa dimungkiri menjadi sejarah nasional kenegaraan Republik
Indonesia. Peristiwa yang sarat dengan makna kepiawaian berdiplomasi itu
diakui sebagai Hari Integrasi Nasional. Hanya saja, perjalanan sejarah
integrasi itu sendiri belum disikapi pemerintah pusat secara tuntas,
berkeadilan, dan bermartabat.
Sejarah mencatat bahwa proses dekolonisasi
yang berlarut-larut mencapai puncaknya pada saat penandatanganan pengakuan
kemerdekaan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 27
Desember 1949. Saat itu, masalah Papua ditunda satu tahun kedepan. Artinya,
status Papua akan dibahas lagi pada 27 Desember 1950. Setelah KMB, Belanda
mulai serius memperhatikan Nederlands Nieuw Guinea.
Sebelum Perang Dunia II, Pemerintah Belanda
hanya menggunakan daerah Nederlands Nieuw Guinea di Digul (Merauke) sebagai
tempat pembuangan bagi kaum komunis dan nasionalis Indonesia yang melawan
Belanda. Namun, Nederlands Nieuw Guinea sebagai bagian jajahan
Nederlands-Indie (Hindia Belanda) hanya menjadi anak tiri yang dilupakan.
Setelah pengakuan Belanda kepada Indonesia sebagai negara merdeka, masalah
Papua menjadi isu sensitif antara Belanda dan Indonesia. Puncak dari
ketegangan yang ada pada Agustus 1960, sebelum John F Kennedy terpilih
sebagai presiden Amerika Serikat. Presiden Soekarno memutuskan hubungan
diplomatik Indonesia dengan Belanda.
AS, yang khawatir Indonesia menjadi negara
komunis karena pengaruh Uni Soviet dan Tiongkok pada waktu itu, akhirnya
menekan Belanda segera menyerahkan Papua kepada Indonesia. Awal
internasionalisasi masalah Papua oleh Belanda, Indonesia, dan AS melalui PBB
tidak melibatkan rakyat Papua. Sangat ironis. Bermula dari New York Agreement
15 Mei 1962, kemudian Belanda menyerahkan Papua kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive
Authority (UNTEA) pada 1 Oktober 1962.
Operasi militer
Saat integrasinya itu sendiri, berlangsung pada
1 Mei 1963, PBB melalui UNTEA secara resmi menyerahkan Papua kepada
Indonesia. Peristiwa itu tidak dimeriahkan secara besar-besaran. Sebaliknya,
atas nama kedaulatan negara, untuk mengatasi konflik yang ada, digelar
operasi militer secara besar-besaran, antara lain Operasi Sadar (1965-1967),
Operasi Barathayuda (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), dan beragam operasi
lain.
Operasi tersebut juga dalam rangka menghadapi
rencana Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969. Yang jelas, ekses
kekerasan akibat operasi-operasi militer di Papua tidak dapat diceritakan
secara terbuka karena rakyat dibungkam sistem pemerintahan yang otoriter
serta mati rasio karena moncong senjata. Nah, preseden buruk masa lalu itu
menjadi ingatan kolektif rakyat Papua yang mendalam hingga kini dan perlu
penyembuhan.
Sudah 52 tahun (1 Mei 1963-1 Mei 2015) Papua
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi masih saja terjadi
pelanggaran hak asasi manusia Papua. Sejarah harus menjadi pedoman dalam
membuat peta jalan bagi solusi penyelesaian Papua secara tuntas, berkeadilan,
dan bermartabat. Rasa curiga terhadap rakyat Papua harus dihilangkan,
program-program pemerintah yang diturunkan harus melibatkan mereka, serta
mendengar suara mereka tentang apa yang mereka butuhkan.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan
Presiden Joko Widodo pada Natal Nasional di Jayapura, 27 Desember 2014,
"Rakyat Papua juga butuh didengarkan, diajak bicara. Kita ingin akhiri
konflik. Jangan ada lagi kekerasan." Masih dalam pidatonya, Presiden
Jokowi juga mengatakan, "Indonesia jangan ulangi lagi pengalaman masa
lalu (Hindia Belanda), di mana Papua sebagai bagian dari NKRI hanya menjadi
anak tiri yang dilupakan."
Papua jangan hanya digunakan untuk memperkaya
kelompok tertentu dalam rezim pemerintahan yang terus berganti. Kekayaan alam
Papua justru harus digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
orang Papua sebagai warga Negara Indonesia yang terhormat dalam rangka
memenangi hati dan pikiran rakyat Papua serta menyembuhkan luka masa lalu.
Sebuah nama tanpa
makna
"Arti
sebagai bangsa dan warga negara menjadi kabur manakala dirasakan bahwa
menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna" (Thoby Mutis, 2008). Setiap anak bangsa
yang lahir di Nusantara tercinta ini mempunyai impian dan harapan bahwa
menjadi Indonesia harus mempunyai makna. Makna dalam ruang gerak dan waktu
untuk mengejar cita-citanya tanpa ada penindasan dan tekanan oleh rezim
pemerintah yang silih berganti.
Penyerahan administrasi pemerintahan Papua
dari UNTEA ke Indonesia pada 1 Mei 1963 merupakan suatu momen sejarah yang
patut diperingati secara nasional sebagai Hari Integrasi Nasional.
Hari Integrasi Nasional harus kita maknai
sebagai momentum untuk pertobatan nasional karena perjalanan waktu yang
begitu panjang dan telah banyak menelan korban. Selalu berbeda pendapat dan
tidak ada saling percaya berlaku tidak hanya untuk Papua, tetapi juga seluruh
Indonesia. Terutama mereka yang korban akibat pelanggaran hak asasi manusia.
Kita perlu pertobatan dan rekonsiliasi nasional agar bangsa Indonesia
terhindar dari konflik internal yang terus berlanjut entah kapan berakhirnya.
Peringatan Hari Integrasi Nasional harus diisi
dengan doa bersama untuk pemulihan bangsa dan dengan civic mission prajurit TNI dan Polri secara besar-besaran di
Papua, baik itu bakti kesehatan, bakti sosial (perbaikan sekolah, gereja),
maupun yang lainnya. Hal ini tidak lain dimaksud untuk membangun kembali
kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah.
Selama ini masyarakat Papua menilai,
sebenarnya yang membesar-besarkan makna tanggal 1 Desember adalah Pemerintah
Indonesia sendiri mengingat setiap menjelang 1 Desember kita sibuk menyiapkan
pasukan untuk dikirim ke Papua dalam rangka pengamanan. Hal ini berakibat
pada anak-anak kecil Papua yang tidak mengerti sejarah selalu bertanya kepada
orangtuanya apa arti 1 Desember itu, pada saat banyak prajurit yang datang ke
Papua.
Penjelasan oleh orangtua kepada anaknya
terkadang singkat saja, "Bahwa
tanggal 1 Desember 1961 Papua merdeka, kemudian dijajah oleh Indonesia."
Nah, anak-anak ini saat menjadi dewasa menjelaskan kembali hal yang sama
kepada putranya.
Pemahaman tersebut tentu perlu diubah. Karena
itulah, Presiden harus mengeluarkan
keputusan presiden (keppres) untuk menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Hari
Integrasi Nasional. Kepres tersebut merupakan bentuk perhatian yang serius
dari pemerintah pusat terhadap persoalan-persoalan masa lalu Papua.
Pemerintah juga harus membuka diri untuk
berdialog secara nasional dalam penyelesaian Papua secara tuntas dan permanen.
Bangsa Indonesia memerlukan pertobatan dan rekonsiliasi
nasional melalui penetapan 1 Mei sebagai Hari Integrasi Nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar