Sabtu, 02 Mei 2015

Hari Integrasi Nasional

Hari Integrasi Nasional

Freddy Numberi  ;  Tokoh Masyarakat Papua
KOMPAS, 30 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bergabungnya Papua ke Indonesia pada 1 Mei 1963 tak bisa dimungkiri menjadi sejarah nasional kenegaraan Republik Indonesia. Peristiwa yang sarat dengan makna kepiawaian berdiplomasi itu diakui sebagai Hari Integrasi Nasional. Hanya saja, perjalanan sejarah integrasi itu sendiri belum disikapi pemerintah pusat secara tuntas, berkeadilan, dan bermartabat.

Sejarah mencatat bahwa proses dekolonisasi yang berlarut-larut mencapai puncaknya pada saat penandatanganan pengakuan kemerdekaan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 27 Desember 1949. Saat itu, masalah Papua ditunda satu tahun kedepan. Artinya, status Papua akan dibahas lagi pada 27 Desember 1950. Setelah KMB, Belanda mulai serius memperhatikan Nederlands Nieuw Guinea.

Sebelum Perang Dunia II, Pemerintah Belanda hanya menggunakan daerah Nederlands Nieuw Guinea di Digul (Merauke) sebagai tempat pembuangan bagi kaum komunis dan nasionalis Indonesia yang melawan Belanda. Namun, Nederlands Nieuw Guinea sebagai bagian jajahan Nederlands-Indie (Hindia Belanda) hanya menjadi anak tiri yang dilupakan. Setelah pengakuan Belanda kepada Indonesia sebagai negara merdeka, masalah Papua menjadi isu sensitif antara Belanda dan Indonesia. Puncak dari ketegangan yang ada pada Agustus 1960, sebelum John F Kennedy terpilih sebagai presiden Amerika Serikat. Presiden Soekarno memutuskan hubungan diplomatik Indonesia dengan Belanda.

AS, yang khawatir Indonesia menjadi negara komunis karena pengaruh Uni Soviet dan Tiongkok pada waktu itu, akhirnya menekan Belanda segera menyerahkan Papua kepada Indonesia. Awal internasionalisasi masalah Papua oleh Belanda, Indonesia, dan AS melalui PBB tidak melibatkan rakyat Papua. Sangat ironis. Bermula dari New York Agreement 15 Mei 1962, kemudian Belanda menyerahkan Papua kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Oktober 1962.

Operasi militer

Saat integrasinya itu sendiri, berlangsung pada 1 Mei 1963, PBB melalui UNTEA secara resmi menyerahkan Papua kepada Indonesia. Peristiwa itu tidak dimeriahkan secara besar-besaran. Sebaliknya, atas nama kedaulatan negara, untuk mengatasi konflik yang ada, digelar operasi militer secara besar-besaran, antara lain Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Barathayuda (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), dan beragam operasi lain.

Operasi tersebut juga dalam rangka menghadapi rencana Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969. Yang jelas, ekses kekerasan akibat operasi-operasi militer di Papua tidak dapat diceritakan secara terbuka karena rakyat dibungkam sistem pemerintahan yang otoriter serta mati rasio karena moncong senjata. Nah, preseden buruk masa lalu itu menjadi ingatan kolektif rakyat Papua yang mendalam hingga kini dan perlu penyembuhan.

Sudah 52 tahun (1 Mei 1963-1 Mei 2015) Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi masih saja terjadi pelanggaran hak asasi manusia Papua. Sejarah harus menjadi pedoman dalam membuat peta jalan bagi solusi penyelesaian Papua secara tuntas, berkeadilan, dan bermartabat. Rasa curiga terhadap rakyat Papua harus dihilangkan, program-program pemerintah yang diturunkan harus melibatkan mereka, serta mendengar suara mereka tentang apa yang mereka butuhkan.

Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo pada Natal Nasional di Jayapura, 27 Desember 2014, "Rakyat Papua juga butuh didengarkan, diajak bicara. Kita ingin akhiri konflik. Jangan ada lagi kekerasan." Masih dalam pidatonya, Presiden Jokowi juga mengatakan, "Indonesia jangan ulangi lagi pengalaman masa lalu (Hindia Belanda), di mana Papua sebagai bagian dari NKRI hanya menjadi anak tiri yang dilupakan."

Papua jangan hanya digunakan untuk memperkaya kelompok tertentu dalam rezim pemerintahan yang terus berganti. Kekayaan alam Papua justru harus digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran orang Papua sebagai warga Negara Indonesia yang terhormat dalam rangka memenangi hati dan pikiran rakyat Papua serta menyembuhkan luka masa lalu.

Sebuah nama tanpa makna

"Arti sebagai bangsa dan warga negara menjadi kabur manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna" (Thoby Mutis, 2008). Setiap anak bangsa yang lahir di Nusantara tercinta ini mempunyai impian dan harapan bahwa menjadi Indonesia harus mempunyai makna. Makna dalam ruang gerak dan waktu untuk mengejar cita-citanya tanpa ada penindasan dan tekanan oleh rezim pemerintah yang silih berganti.

Penyerahan administrasi pemerintahan Papua dari UNTEA ke Indonesia pada 1 Mei 1963 merupakan suatu momen sejarah yang patut diperingati secara nasional sebagai Hari Integrasi Nasional.

Hari Integrasi Nasional harus kita maknai sebagai momentum untuk pertobatan nasional karena perjalanan waktu yang begitu panjang dan telah banyak menelan korban. Selalu berbeda pendapat dan tidak ada saling percaya berlaku tidak hanya untuk Papua, tetapi juga seluruh Indonesia. Terutama mereka yang korban akibat pelanggaran hak asasi manusia. Kita perlu pertobatan dan rekonsiliasi nasional agar bangsa Indonesia terhindar dari konflik internal yang terus berlanjut entah kapan berakhirnya.

Peringatan Hari Integrasi Nasional harus diisi dengan doa bersama untuk pemulihan bangsa dan dengan civic mission prajurit TNI dan Polri secara besar-besaran di Papua, baik itu bakti kesehatan, bakti sosial (perbaikan sekolah, gereja), maupun yang lainnya. Hal ini tidak lain dimaksud untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah.

Selama ini masyarakat Papua menilai, sebenarnya yang membesar-besarkan makna tanggal 1 Desember adalah Pemerintah Indonesia sendiri mengingat setiap menjelang 1 Desember kita sibuk menyiapkan pasukan untuk dikirim ke Papua dalam rangka pengamanan. Hal ini berakibat pada anak-anak kecil Papua yang tidak mengerti sejarah selalu bertanya kepada orangtuanya apa arti 1 Desember itu, pada saat banyak prajurit yang datang ke Papua.

Penjelasan oleh orangtua kepada anaknya terkadang singkat saja, "Bahwa tanggal 1 Desember 1961 Papua merdeka, kemudian dijajah oleh Indonesia." Nah, anak-anak ini saat menjadi dewasa menjelaskan kembali hal yang sama kepada putranya.

Pemahaman tersebut tentu perlu diubah. Karena itulah, Presiden harus mengeluarkan keputusan presiden (keppres) untuk menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Hari Integrasi Nasional. Kepres tersebut merupakan bentuk perhatian yang serius dari pemerintah pusat terhadap persoalan-persoalan masa lalu Papua.

Pemerintah juga harus membuka diri untuk berdialog secara nasional dalam penyelesaian Papua secara tuntas dan permanen. Bangsa Indonesia memerlukan pertobatan dan rekonsiliasi nasional melalui penetapan 1 Mei sebagai Hari Integrasi Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar