Pemakzulan
Presiden
Hajriyanto Y Thohari ; Mantan Wakil Ketua MPR RI
|
REPUBLIKA, 14 April 2015
UUD 1945 menganut sistem presidensial meskipun bukan
presidensial murni dan par excellence.
Ciri sistem presidensial, pertama, presiden dipilih langsung oleh rakyat
secara fix term (untuk lima tahun)
dan karena itu memiliki legitimasi politik yang sangat kuat.
Kedua, presiden adalah kepala pemerintahan. Ketiga, presiden
hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya menurut UUD yang sangat tidak
mudah dilakukan. Sistem presidensial memang didesain untuk menjamin
terwujudnya stabilitas politik sehingga pemerintahan yang dipimpin presiden
tidak mudah jatuh. Jika presiden mudah dijatuhkan oleh parlemen (baca: MPR),
itu bukan sistem presidensial yang baik.
Karena itu, dalam sistem presidensial, eksistensi presiden tak
boleh terlalu digantungkan pada lembaga negara lain, seperti DPR/MPR. Benar,
MPR-lah yang melantik Presiden (UUD 1945 Pasal 3 Ayat 2), tapi pelantikan
Presiden (hasil pilpres) oleh MPR bukan qonditio
sine qua non dan tidak bersifat mutlak bagi keabsahan kepresidenannya.
Jika MPR tidak dapat bersidang, presiden terpilih cukup
mengucapkan sumpah atau janji di hadapan sidang DPR. Dan jika DPR tidak juga
bisa bersidang, Presiden cukup bersumpah atau berjanji di hadapan pimpinan
MPR dengan disaksikan pimpinan Mahkamah Agung (UUD 1945 Pasal 9 Ayat 1 dan
2).
Betapa benarnya hal itu, bahkan Sidang MPR atau DPR untuk agenda
pelantikan presiden tidak memerlukan persyaratan kuorum tertentu. Malah,
sebenarnya tak ada keharusan konstitusional mengenai jumlah pimpinan MPR yang
harus ada ketika presiden mengucapkan sumpah dan juga tidak ada keharusan di
tempat di mana (locus) peristiwa
pelantikan itu harus dilaksanakan: bisa di MPR, MA, istana, dan tempat lain.
Yang penting pengucapan sumpah presiden terpilih itu di hadapan pimpinan MPR
(pimpinan sementara atau definitif) dan disaksikan pimpinan MA.
Ketentuan yang tidak memutlakkan Sidang Paripurna MPR sebagai
prasyarat keabsahan kepresidenan seorang presiden terpilih untuk memperkuat
sistem presidensial sekaligus penghormatan terhadap pilihan rakyat sebagai
wujud kedaulatan di tangan rakyat: suara rakyat suara Tuhan (vox populi vox dei), atau tangan Tuhan
di atas tangan rakyat (yadullahi fauqa
aidihim).
Dengan mengatakan itu, semua bukan berarti presiden dan/atau
wapres itu kekuasaannya absolut atau tidak bisa dijatuhkan. Presiden, apalagi
wapres, bisa berakhir masa jabatannya karena (1) mangkat dan (2) berhenti.
Berhenti bisa karena (3) masa baktinya sudah habis lima tahun, (4)
mengundurkan diri, atau (5) diberhentikan (lihat UUD 1945 Pasal 8 Ayat 1).
Di samping karena mangkat atau berhenti karena mengundurkan
diri, Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul
DPR, baik terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun jika terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wapres (UUD 1945 Pasal 7A).
Dalam kaitan ini, pemakzulan (impeachment) presiden mungkin saja dilakukan, tapi sangat tidak
mudah: prosedurnya rumit dan panjang (/njlimet), berliku-liku, berlapis, dan membutuhkan dukungan
politik luar biasa besar. Ini semua guna memperkuat sistem presidensial.
Untuk memperkuat sistem presidensial itu pula, konstruksi konstitusi
pemakzulan presiden merupakan perpaduan proses politik di DPR/MPR dan proses
hukum di Mahkamah Konstitusi (MK).
Benar memang, DPR yang memulai proses impeachment dengan
mengusulkan pemberhentian presiden melalui penggunaan hak menyatakan pendapat
(HMP) yang diputuskan melalui rapat paripurna DPR. Namun, pembuktian atas
pendapat DPR bahwa presiden telah melanggar hukum dan lainnya sebagaimana
tercantum dalam UUD 1945 Pasal 7A harus melalui proses hukum di MK.
Sekali lagi, DPR hanya bisa berpendapat bahwa presiden telah
melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai presiden (lihat UUD 1945 Pasal 7B Ayat 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan
7). Adapun pemeriksaan, penyelidikan, dan keputusan atas pendapat DPR menjadi
kewenangan penuh MK. Bahkan ketika seandainya MK membuktikan kebenaran
pendapat DPR itu sekalipun, MPR dapat saja tidak memberhentikan presiden.
Dalam UUD 1945 sekarang ini, kedudukan presiden secara politik
sangatlah kuat. Pintu pemakzulan memang ada, tetapi ibaratnya sekecil lubang
jarum. Berbeda dengan sebelum ada amendemen UUD 1945, proses pemakzulan
presiden adalah sepenuhnya politik. Dan, itu hanya terjadi di dua lembaga
politik, yaitu di DPR (ingat mekanisme jatuhnya memorandum kepada presiden
jika DPR menduga presiden melanggar haluan negara) dan MPR (melalui Sidang
Istimewa MPR). Setelah amendemen UUD, pemakzulan presiden merupakan perpaduan
berurutan yang meliputi proses politik (di DPR), proses hukum (di MK), dan
proses politik lagi (di MPR).
Pemakzulan bukan lagi hanya menjadi urusan DPR dan MPR,
melainkan juga memutlakkan peran dan wewenang MK. Bahkan, menurut penafsiran
saya, MK-lah yang lebih menentukan. MK satu-satunya yang berhak memeriksa,
mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden telah terbukti melakukan
pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai presiden. DPR hanya berhak berpendapat dan hanya bisa menyatakan
pendapatnya tentang terjadinya pelanggaran hukum oleh presiden!
Kuorum persidangan DPR dan MPR untuk proses impeachment juga
berbeda dan lebih berat dibandingkan Sidang DPR/MPR dengan agenda lainnya.
Jika untuk sidang biasa kuorum sidang DPR adalah 50+1 persen, khusus untuk
sidang dengan agenda HMP kuorumnya 2/3 anggota harus hadir (sebelum
dibatalkan oleh MK kuorum sidang DPR dengan agenda HMP adalah 3/4).
Sidang paripurna MPR untuk memakzulkan presiden harus memenuhi kuorum
dihadiri 3/4 jumlah anggota MPR. Adapun keputusan MPR untuk memberhentikan
presiden diambil pada rapat paripurna yang disetujui sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota yang hadir. Presiden pun harus diberi kesempatan
menyampaikan penjelasan dalam Sidang Paripurna MPR sebagai pembelaan atas
pendapat DPR dan keputusan MK.
Walhasil, meskipun pemakzulan presiden dan/atau wapres
dimungkinkan oleh UUD 1945, peluangnya sangat kecil, jalannya berliku, dan
tahapannya di tiga lembaga negara secara berurutan: proses berlapis-lapis di
DPR, proses bertahap di MK, dan proses berliku di MPR. Konstitusi kita sudah
memagari ketat proses pemakzulan presiden agar tidak terjadi manuver politik
yang hanya berdasarkan politik berdimensi jangka pendek.
Kesemuanya itu sengaja didesain dalam konstitusi bukan hanya
untuk melindungi presiden dan wapres pilihan rakyat sesuai prinsip kedaulatan
di tangan rakyat, juga untuk melindungi sistem presidensial yang kita anut.
Semua pihak harus menghormati prinsip ini. Presiden dan pendukungnya tidak
perlu terlalu khawatir, apalagi bersikap berlebihan dan paranoid dalam
melindungi presiden idolanya. Konstitusi sudah membuat proteksi secara
canggih. Manis bukan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar