KH
Hasyim Asy’ari dan Umat
Ali Mustafa Yaqub ; Imam Besar Masjid Istiqlal
|
REPUBLIKA, 13 April 2015
Sejak ada ulama Arab Saudi yang memberikan sebutan imam kepada
KH Hasyim Asy’ari, kami merasa ingin tahu lebih jauh tentang profil pendiri Nahdlatul
Ulama itu. Selama ini, julukan yang akrab disandangkan kepada orang yang juga
mendirikan Pesantren Tebuireng itu adalah Hadhratusy Syaikh, sebutan yang
memberikan konotasi keilmuan dan keguruan. Sementara, sebutan imam memiliki
konotasi kepemimpinan dan keumatan.
Seyogianya sebagai orang yang pernah menyantri di Tebuireng
selama 10 tahun (1966-1976), kami bisa mendapatkan informasi tentang KH
Hasyim Asy’ari dari guru-guru kami yang menjadi murid langsung beliau. Namun
sayang, tidak satu pun para kiai yang menjadi guru kami itu memberikan
informasi tentang KH Hasyim Asy’ari kepada kami.
Mungkin waktu itu, kami masih dianggap anak-anak sehingga belum
masanya mendapatkan informasi tentang sosok KH Hasyim Asy’ari secara lengkap.
Kami juga termasuk santri yang akrab dengan putra Hadhratusy Syaikh, yaitu KH
M Yusuf Hasyim Rahimahullah yang akrab dipanggil Pak Ud, tapi juga sayang Pak
Ud tidak memberikan informasi banyak tentang ayahanda beliau kepada kami
kecuali bahwa Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari tidak mau diadakan acara haul
karena beliau tidak mau dikultuskan.
Haul adalah acara peringatan tahunan tentang wafatnya seseorang.
Demikian pula dengan cucu-cucu beliau seperti Gus Dur, Gus Solah (KH
Salahuddin Wahid), Ibu Aisyah Baidhawi Wahid Hasyim, dan lain-lain karena
ketika Hadhratusy Syaikh wafat (1947), mereka masih anak-anak.
Untuk mengorek informasi tentang Hadhratusy Syaikh, tinggal satu
cara, yaitu melalui murid-murid beliau yang masih hidup. Dan ternyata hampir
semua murid Hadhratusy Syaikh juga telah wafat. Namun, alhamdulillah, setelah
mencari informasi, kami menemukan salah satu murid Hadhratusy Syaikh yang
sampai hari ini masih sehat, yaitu Romo KH Abdul Muhit Muzadi, kakak kandung
KH Hasyim Muzadi, anggota Wantimpres RI.
Mbah Muhit, begitu beliau akrab disapa, kini berusia 92 tahun
dan sejak tiga tahun lalu tinggal di Kota Malang, Jawa Timur. Sebelumnya,
beliau tinggal di Jember. Awal Februari lalu, kami sengaja datang ke Kota
Malang dengan satu tujuan, sowan ke Mbah Muhit untuk mendapatkan informasi
terkait kepemimpinan dan keumatan Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari dan
lain-lain.
Beliau tinggal di kompleks Pesantren Mahasiswa al-Hikam Malang
yang didirikan oleh adik beliau, KH Hasyim Muzadi. Beliau tampak gembira
sekali menerima kedatangan kami. Pandangan matanya, pendengarannya, dan
suaranya masih seperti puluhan tahun lalu ketika kami sering bertemu beliau.
Setelah kami menanyakan kitab-kitab karya Hadhratusy Syaikh, metode mengajar
para santri sehingga banyak santri beliau yang menjadi kiai, kami menanyakan
kepada Mbah Muhit tentang pandangan Hadhratusy Syaikh terhadap ormas-ormas
Islam. Beliau adalah penggagas Kongres Umat Islam pertama pada November 1945
yang melahirkan Partai Islam Masyumi untuk menyatukan umat Islam Indonesia
dan beliau diamanati menjadi rais akbar partai Islam tersebut.
Dalam pikiran kami, sebagai pendiri Nahdlatul Ulama dan
Pesantren Tebuireng, mungkin beliau menggunakan kharismanya untuk meng-NU-kan
santri-santri beliau. Ternyata, pikiran kami ini tidak tepat. Setelah kami
tanyakan kepada Mbah Muhit, apakah KH Hasyim pernah menyuruh santrinya masuk
NU? Beliau menjawab, "KH Hasyim tidak pernah menyuruh santrinya untuk
masuk NU, bahkan salah satu putera beliau, Gus Kholik (KH Abdul Khalik
Hasyim) tidak masuk NU."
Di sinilah tampak kebesaran jiwa Hadratusy Syaikh kendati beliau
mampu meng-NU-kan santri-santri tapi beliau tidak melakukannya. Tampaknya,
Hadhratusy Syaikh mempunyai prinsip, selama masih dalam rumpun Ahlussunnah
wal Jamaah, beliau tidak mempermasalahkan apakah menjadi NU atau bukan. Tak
mengherankan bila kemudian banyak santri Hadhratus Syaikh yang aktif di ormas
Islam bukan NU.
Sebut saja sebagai contoh Dr H Anwar Heryono SH yang waktu
hidupnya pernah menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), KH
Abdul Rahman al-Hafizh, tokoh Muhammadiyah dari Lamongan Jawa Timur, dan
lain-lain.
Pada masa Hadhratusy Syaikh tentulah sudah ada perbedaan para
ulama dalam menetapkan Lebaran. Bagaimana sikap beliau tehadap perbedaan
tersebut? Hal itu juga kami tanyakan kepada Mbah Muhit.
Jawaban beliau, Hadratusy Syaikh pernah ditanya masyarakat kapan
berlebaran, beliau menjawab, "Lek melok Maksum, yo mene, lek jare aku,
yo nunggu rukyat se (Kalau ikut Maksum, lebarannya besok, tapi kalau menurut
saya, kita menunggu rukyat dulu)." Maksum yang disebut oleh Hadratusy
Syaikh adalah murid dan menantu beliau sendiri. Nama lengkapnya KH Maksum bin
Ali, seorang ahli falak yang telah menulis kitab falak berjudul al-Durus
al-Falakiyyah (Pelajaran Ilmu Falak) tiga jilid dalam bahasa Arab.
Tampak di sini bahwa Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari tidak
memaksa orang lain mengikuti pendapat beliau. Beliau juga tidak
mempermasalahkan seorang santri dan menantu beliau sendiri yang ternyata
berbeda pendapat. Bandingkan, misalnya, dengan kiai kacangan yang jika
mengetahui muridnya berbeda pendapat dengannya, dia langsung memvonis,
"Ilmumu tidak bermanfaat."
Boleh jadi, KH Hasyim Asy’ari memandang penetapan Lebaran adalah
masuk wilayah ijtihad sehingga tidak perlu dipermasalahkan. Yang mau
mengikuti rukyat, silakan, dan yang mau mengikuti hisab, silakan. Wajar jika
sikap beliau terhadap perbedaan ormas Islam dan perbedaan pendapat di
kalangan umat Islam menjadikan beliau sebagai imam umat Islam Indonesia.
Dan ternyata sampai beliau wafat, umat Islam Indonesia masih
bersatu dalam satu wadah Partai Masyumi. Ketika hal itu kami ceritakan kepada
seorang kawan, dia bertanya kepada kami, "Cak Mus, apakah sekarang ini
Gusti Allah sudah tidak menciptakan lagi orang semacam Kiai Hasyim Asy’ari?"
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar