Kontekstualisasi
Warisan Pemikiran KAA
Wildan Sena Utama ; Mahasiswa
Pascasarjana di Leiden University, Belanda; Menulis tesis tentang KAA
|
MEDIA INDONESIA, 18 April 2015
TAHUN ini Indonesia
memperingati 60 tahun perayaan Konferensi Asia Afrika (KAA) secara
besar-besaran di Bandung dan Jakarta. Peringatan KAA penting dilakukan
sebagai sebuah kontekstualisasi pemikiran bukan sekadar sebagai selebrasi
atau romantika masa lalu.Peringatan terhadap KAA berarti menerapkan kembali
ide-ide besar yang digaungkan para pemimpin Asia-Afrika di Bandung, 60 tahun
yang lalu.
Konferensi Bandung 1955, atau
yang lebih dikenal publik Indonesia sebagai Konferensi Asia Afrika, merupakan
peristiwa monumental yang diingat masyarakat Indonesia sebagai sebuah momen
yang menandakan peran aktif Indonesia sebagai salah satu aktor utama Dunia
Ketiga pada periode 1950-an.
Dalam sejarah dunia, untuk pertama kalinya
negara-negara Asia dan Afrika, baru merdeka, setengah merdeka dan belum
merdeka, berhasil dikumpulkan dalam satu meja untuk mendiskusikan isu-isu
dunia di tengah berkecamuknya Perang Dingin.KAA merupakan suatu momen
historis yang penting bagi dunia saat itu dan setelahnya karena dia
memberikan visi alternatif melampaui pandangan dua blok besar yang bertikai
saat itu. Kekuatan Dunia Ketiga pada waktu ini berkumpul untuk mempromosikan
terciptanya tatanan dunia yang lebih adil, humanis, dan damai dengan melawan
segala bentuk subjugasi neokolonialisme/ imperialisme dan menghargai hak
asasi manusia segala bangsa.
Kontekstualisasi pemikiran atau ide-ide yang
dibawa dalam KAA penting untuk selalu didiskusikan kembali.
Latar belakang munculnya KAA
tidak muncul sekadar sebagai respons dari Dunia Ketiga untuk menjadi
penyeimbang dua kekuatan besar yang bertarung pada masa itu, Amerika Serikat
dengan demokrasi liberal dan kapitalismenya dan Uni Soviet dengan
totalitarian dan komunismenya. Ide-ide yang digaungkan
para pemimpin Asia-Afrika seperti penentuan nasib sendiri, hak asasi manusia,
dan perdamaian dunia sebetulnya telah berakar kuat dalam jaringan solidaritas
gerakan antikoloniasme dan antiimperialisme Asia-Afrika yang telah terbentuk
sejak awal abad ke-20 ketika negara-negara Asia-Afrika masih dikolonisasi
Kerajaan Eropa. Persamaan nasib dari bangsa-bangsa yang tertindas oleh
kekuatan imperial Eropa inilah yang mendorong terciptanya solidaritas dan
terbentuknya secara gradual network gerakan antiimperialisme dan
antikolonialisme global Asia-Afrika.
Dalam pidato pembukaan KAA di
Bandung, berjudul `Let a New Asia
Africa Be Born', Soekarno mengingatkan kembali peran penting Konferensi Liga Antiimperialisme dan Penindasan Kolonial
di Brussels 1927 sebagai sebuah fondasi terbentuknya aliansi solidaritas dari
negara-negara Asia-Afrika. Pada konferensi itu,
untuk pertama kalinya para tokoh pergerakan masa depan Asia-Afrika seperti
Moh Hatta dari Indonesia dan Jawaharlal Nehru dari India mengadakan kontak
pertama dan membicarakan isu-isu tentang imperialisme di negara masing-masing
asal mereka. Dalam tulisannya di Indonesia Merdeka, majalah milik Perhimpunan
Indonesia, Hatta mengatakan, “Belum
pernah sebelumnya dunia mengadakan konferensi seperti yang pernah diadakan di
sini (Brussels).“
Nehru sendiri begitu
terpengaruh oleh konferensi itu. Dia mengatakan, “Brussels membantu dirinya untuk memahami problem-problem kolonial
dan negara dependen.“ Kemudian dia mengakui Brussels memberikan inspirasi
bahwa kontak `terhadap bermacam-macam
gerakan antikolonial akan mendorong terciptanya pemahaman yang lebih baik
terhadap problem dan kesulitan masing-masing serta akan mempererat hubungan
yang akan membawa kesuksesan bagi semua'.
Di sinilah pertama kalinya dia
mempunyai ide untuk membentuk sebuah `Federasi Asiatik'. Ide tentang
terbentuknya federasi Asia dan jaringan yang sudah terjalin di antara
negara-negara kolonial inilah yang memuluskan langkah Nehru untuk
menyelenggarakan Asian Relations
Conference di New Delhi pada 1947. Bagi para sejarawan, konferensi
tersebut merupakan langkah penting pembangunan kerja sama negara-negara Asia
yang nanti muncul kembali pada periode Perang Dingin di bawah nama Colombo Five yang merupakan inisiator
di belakang penyelenggaraan KAA.
Relasi yang sudah terjalin di
bawah payung pergerakan global antikolonialisme dan imperialisme memudahkan
negara-negara Asia-Afrika untuk berkumpul kembali di Bandung mendiskusikan
isu-isu yang begitu dekat dan diperjuangkan sejak mereka berada di bawah
penindasan sistem imperialisme Eropa. Hasil KAA yang disebut sebagai Dasasila
Bandung berisi pemikiran tentang penentuan nasib sendiri, hak asasi manusia,
demokrasi, dan perdamaian dunia. Itulah manifestasi dari raison d'etre kemerdekaan negara-negara Asia-Afrika.
Kontekstualisasi
Tahun ini di bawah konsepsi South-South Cooperation, Indonesia
memperingati 60 tahun berlangsungnya KAA. Konsep South-South itu, atau yang
sering disebut juga sebagai Global
South atau Third World, sangat
pas untuk merepresentasikan kekuatan baru dari negara-negara di belahan
selatan dunia yang membawa pesan-pesan pemikiran dari KAA 60 tahun yang lalu.
Semenjak terjadinya krisis ekonomi di Eropa dan Amerika serta naiknya
kekuatan dunia baru di Selatan, seperti India, Tiongkok, dan Indonesia,
keseimbangan geopolitik lama yang terbentuk pasca-Perang Dingin sudah begitu
bergeser.
Itulah sebabnya sudah saatnya Global South mulai memainkan momentum
peran aktif sebagai aktor baru dalam politik dunia.
Pada masa sekarang, pemikiran
KAA bagi dunia masih sangat relevan. Peran aktif dari Global South inilah yang begitu ditunggu dalam menyelesaikan
sejumlah permasalahan penting terkait dengan perdamaian dunia, seperti konfl
ik Suriah, Yaman, dan Irak. Konsep perdamaian dunia yang digagas Dasasila
Bandung dengan menolak segala bentuk peperangan masih terasa relevan hingga
saat ini.
Terkait dengan penentuan nasib
sendiri, peran dari Global South
pun sangat penting untuk membantu kemerdekaan rakyat Palestina. Sampai
sekarang kita masih melihat intervensi politik dan militer dari kekuatan
Barat dan Timur dalam mencampuri urusan dalam negeri negara-negara Timur
Tengah yang seharusnya berhak menentukan nasib mereka sendiri. Di samping
itu, Indonesia tidak boleh melupakan problem internal sendiri terkait dengan
isu-isu HAM.
Sampai saat ini diskriminasi dan kekerasan masih saja terjadi
terhadap etnik-etnik dan kelompok agama minoritas di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar