Selasa, 21 April 2015

Ubuntu

Ubuntu

Trias Kuncahyono ;  Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
KOMPAS, 19 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bung Karno, bersetelan putih-putih dengan dasi hitam, kopiah hitam, berdiri di atas podium. Pandangan matanya tegas menatap bola dunia di depannya. Di belakangnya duduk berjajar, dari kiri—Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India), U Nu (PM Burma), Mohammad Hatta (Wakil Presiden RI), kursi kosong untuk Bung Karno, Ali Sastroamidjojo (PM Indonesia), John Kotelawala (PM Ceylon), dan Muhammad Ali Bogra (PM Pakistan). Di belakang mereka berderet 29 negara peserta Konferensi Asia Afrika 1955.

Saat itu, pukul 10.20 WIB, Bung Karno menyampaikan pidato pembukaan Konferensi Asia Afrika, 18 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung. Pidato bersejarah itu diberi judul Let A New Asia And a New Africa be Born—Marilah Kita Lahirkan Asia dan Afrika Baru. Inilah peristiwa historis yang mempertemukan dan mempersatukan ideologi baru negara-negara Asia Afrika: nasionalisme, agama, dan kemanusiaan. Ideologi yang ditegakkan oleh negara-negara bekas jajahan di tengah pertarungan kekuatan Barat (kapitalisme) dan Timur (komunisme).

Harian The Christian Science Monitor, koran AS, ketika itu menulis: ”Barat tak diikutsertakan. Tekanannya pada bangsa-bangsa kulit berwarna. Dan, bagi Asia ini berarti bahwa akhirnya martabat Asia ditentukan di Asia, dan bukan di Geneva, atau Paris, atau London, dan Washington. Kolonialisme dibuang dan tak disentuh lagi. Asia bebas. Ini barangkali peristiwa bersejarah dalam abad kita.”

Dan, pada hari Selasa, 14 April 2015, di tempat yang sama—sekarang dijadikan sebagai Museum KAA—Duta Besar Afrika Selatan untuk Indonesia Pakamisa Augustine Sifuba menyinggung kembali salah satu ideologi yang dipersatukan dalam KAA, 60 tahun silam: kemanusiaan. Semangat kemanusiaan, yang dalam bahasa Afrika Selatan disebut ubuntu.

Ubuntu adalah sebuah term dalam bahasa Nguni Bantu (salah satu bahasa di Afrika Selatan) yang bisa diartikan sebagai ’kebaikan hati manusia’. Secara harfiah, ubuntu berarti ’kemanusiaan’ dan sering diterjemahkan sebagai ’kemanusiaan bagi sesama’. Dalam bahasa Xhosa, salah satu dari 11 bahasa resmi di Afrika Selatan, ada kata-kata bijak yang berbunyi, Umntu ngumntu ngabanye abantu—manusia tumbuh kemanusiaannya karena ada manusia lain. Saya manusia karena saya menjadi bagian dari komunitas manusia dan saya memandang serta memperlakukan orang lain pun demikian.

Dengan demikian, ubuntu adalah prinsip peduli pada setiap ciptaan lain, manusia lain dan semangat untuk saling mendukung. Setiap kemanusiaan manusia idealnya diungkapkan lewat hubungannya dengan manusia lain dan lewat pengakuannya atas manusia lain: I Am Because We Are. bunyi kata-kata bijak dan pepatah Afrika yang menjadi judul film dokumenter tentang anak-anak yatim piatu di Malawi yang ditinggal mati orangtuanya karena HIV-AIDS.
                                           
Prinsip seperti itulah yang sebenarnya melandasi KAA, 60 tahun silam, dan yang kemudian melahirkan Dasasila Bandung dengan semangat kesamaan. Karena kesamaan, kata Aristoteles, adalah jiwa persahabatan.

Tetapi, jiwa persahabatan itulah yang kini semakin tipis. Tidak perlu di tingkat internasional, di tingkat nasional pun semakin tipis karena orang cenderung mementingkan diri dan kelompok atau golongannya sendiri. Konflik dalam segala macam bentuknya muncul di mana-mana. Manusia merupakan serigala bagi sesamanya, demikian kata Thomas Hobbes, yang kini semakin nyata ada di sekitar kita, ada di Timur Tengah, ada di banyak negara Asia dan Afrika, ada di mana-mana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar