Kapolri
Baru, Harapan Baru
Edi Saputra Hasibuan ; Anggota Komisi Polisi Nasional
(Kompolnas)
|
KORAN SINDO, 18 April 2015
Komjen Pol Badrodin Haiti sudah dilantik sebagai Kapolri.
Sebagaimana kapolri baru, harapan masyarakat tentu tertumpu kepadanya agar
segera membenahi Polri. Masyarakat berharap Polri sungguh-sungguh dapat
menjadi pelindung, pengayom, pelayan, dan penegak hukum agar ketertiban dan
keamanan masyarakat terwujud. Memang harapan masyarakat sangat berat dapat
diwujudkan Badrodin Haiti mengingat masa baktinya tinggal satu tahun empat
bulan.
Waktu sesingkat itu tentu tidak realistis bila kepada kapolri
baru diminta dapat menuntaskan semua persoalan internal dan eksternal Polri.
Karena itu, dari banyaknya harapan masyarakat, persoalan internal terutama
reserse dan polantas, kiranya mendesak menjadi prioritas kapolri baru untuk
dibenahi.
Persoalan Internal
Salah satu persoalan internal berkaitan dengan masalah SDM Polri
yang dinilai banyak pihak masih perlu pembenahan, termasuk di dalam rekrutmen
calon polisi dan pembinaan karier. Hal yang sama juga ditemui dalam rekrutmen
calon polisi. Dua hal ini dengan sendirinya memberi kontribusi terhadap
rendahnya kinerja Polri sebagai suatu institusi.
Polri selama ini juga masih dianggap sebagai lembaga yang
tertutup, khususnya saat menentukan jabatan-jabatan strategis. Akibatnya,
banyak kinerja petinggi Polri yang di tempatkan dalam posisi strategis tidak
sesuai dengan harapan masyarakat. Hasil kerja yang standar dari petinggi
Polri juga memberi kontribusi terhadap buruknya citra Polri di mata
masyarakat yang berimbas pada semakin melorotnya wibawa Polri.
Selain itu, Polri kerap masih diragukan dalam penanganan
kasus-kasus korupsi. Ada sinyalemen bila kasus-kasus korupsi yang ditangani
Polri mengarah ke legislatif, kasus tersebut kerap tidak dilanjutkan. Ada
kesan aparat Polri kurang punya nyali bila berhadapan dengan oknum-oknum di
legislatif.
Pengawasan di internal Polri juga hingga saat ini masih terkesan
tertutup. Internal Polri hanya diawasi melalui Irwasum sehingga keterlibatan
masyarakat kalaupun ada masih sangat minimal. Tanpa melibatkan eksternal,
pengawasan di tubuh Polri akan sulit berjalan optimal, sehingga untuk
menciptakan aparat Polri yang bersih akan sulit diwujudkan.
Reserse dan Polantas
Kinerja reserse dan polantas termasuk yang banyak mendapat
sorotan dari masyarakat. Dua unit kerja ini dinilai lemah dalam melayani
masyarakat. Bahkan pada 2014, Kompolnas mendapat 1.038 pengaduan dari
masyarakat. Dari jumlah tersebut, 95% berkaitan dengan persoalan reserse.
Besarnya pengaduan terkait kinerja reserse di satu sisi memang mengecewakan.
Namun di sisi lain, bila dikaitkan dengan alokasi anggaran untuk
reserse, unit kerja ini sesungguhnya sangat memprihatinkan, sebab, anggaran
penyelidik hanya 30% yang ditanggung negara. Kondisi ini membuka celah
terjadi banyak penyimpangan, seperti ada kasus yang dibiayai pelapor atau
terlapor agar kasusnya di-SP3.
Akibat ketiadaan anggaran, resersedalampenanganankasus juga
kerap kesulitan untuk menghadirkan saksi ahli. Dalam kondisi demikian, banyak
pelapor dan terlapor yang bersedia menyediakan dana untuk menghadirkan saksi
ahli yang sangat dibutuhkan dalam proses hukum. Akibatnya tidak sedikit saksi
ahli yang memberikan keterangan sesuai keinginan pelapor atau terlapor. Kasus
mencari pelaku tindak pidana juga kerap menghadapi kendala karena terbatasnya
anggaran.
Misalnya kasus terjadi di Jakarta, namun tersangka diduga ada di
Kalimantan Timur atau Papua atau di luar negeri. Lagi-lagi, kalau terlapor
“rela” membiayai perjalanan polisi, tentu terbuka ruang untuk menghentikan
kasus. Hal yang sama juga terjadi di unit Polantas. Polisi di tahun 2014,
patroli polantas menggunakan motor hanya mendapat jatah 2 liter BBM per hari,
sementara patroli mobil dijatah 5 liter.
Namun tahun 2015 ini, penyediaan pengadaan BBM untuk patroli
sudah lebih baik, dalam arti jumlah jatah BBM telah ditambah. Namun di bagian
lain, masalah proses penanganan kasus kecelakaan lalu lintas di kepolisian
anggarannya masih sangat minim. Yang dibayar oleh negara hanya berkisar 30-50
persen yang berakibat penyidik Polri belum bisa sepenuhnya bekerja secara
profesional.
Dalam kondisi demikian, memang sulit bagi polantas untuk
melaksanakan tugasnya, khususnya dalam melayani pengguna jalan raya. Bahkan
dalam kondisi demikian, sangat terbuka bagi polantas untuk mencari uang guna
menutupi kekurangan jatah BBM. Akibatnya, pengguna jalan raya berpeluang
besar menjadi salah satu korban dalam upayanya mencari uang tambahan untuk
mengisi kekurangan BBM agar patroli tetap terlaksana.
Tambahan Anggaran
Terbatasnya biaya operasional kiranya menjadi satu sebab
rendahnya kinerja reserse dan polantas. Persoalan semacam ini tidak terjadi
pada polisi Singapura dan Australia. Di dua negara ini, semua pelaksanaan tugas
dan fungsi polisi sepenuhnya ditanggung negara, mulai dari BBM untuk
transpor, tol, hotel, pesawat, hingga kendaraan. Semua bukti pengeluaran
dapat ditukarkan melalui bendahara satuan polisinya.
Kebutuhan operasional polisi Indonesia seharusnya juga dapat
dipenuhi negara, sebab anggaran Polri tahun 2014 sebesar Rp43,6 triliun, dan
tahun 2015 naik menjadi Rp51 triliun. Dari total anggaran ini, 28% untuk
operasional atau naik 6% dari tahun 2014. Dengan naiknya alokasi anggaran
operasional, seharusnya kapolri baru dapat memenuhi semua biaya operasional
reserse dan polantas.
Dengan biaya operasional yang cukup, kapolri dapat meminta unit
reserse dan polantas untuk meningkatkan kinerjanya, selain menindak tegas
bila menyalahi tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum. Kiranya pembenahan
terhadap reserse dan polantas dengan memenuhi biaya operasionalnya cukup
realistis dibebankan kepada kapolri baru yang masa tugasnya hanya satu tahun
empat bulan. Kalau hal itu dapat dibenahi, kiranya kepercayaan masyarakat
terhadap institusi Polri dapat ditingkatkan. Setidaknya keluhan masyarakat
terhadap reserse dan polantas dapat dikurangi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar