Pilkada
Serentak 2015 bagi Partai-Partai Terbelah
W Riawan Tjandra ; Pengajar
pada Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta; Doktor Ilmu
Hukum UGM
|
MEDIA INDONESIA, 18 April 2015
PILKADA serentak 2015 sudah di
depan mata karena mulai Juli nanti tahapannya yang akan berpuncak pada
kontestasi pilkada serentak pada Desember 2015 nanti sudah harus dimulai.
Pilkada merupakan arena kontestasi politik yang sangat penting bagi negeri
ini untuk memperkuat basis politik lokal guna melanjutkan komitmen
desentralisasi dalam rangka mewujudkan amanat konstitusi untuk membangun
otonomi seluas-luasnya. Di titik inilah, pilkada serentak 2015 memiliki
urgensi dan signifi kansi untuk dapat dikelola dengan baik oleh KPU dengan
didukung segenap elemen demokrasi di negeri ini.
Problem yang harus dihadapi KPU
terkait dengan persiapan pelaksanaan pilkada se rentak 2015 ialah masih ada
dua kasus hukum sebagai buah dari partai yang terbelah yang kini sedang
ditangani peradilan tata usaha negara.
Kasus gugatan PPP dari kubu Djan
Faridz terhadap SK Menkum dan HAM RI No M.HH-07.AH.11.01 saat ini masih
bergulir di Pengadilan Tinggi TUN Jakarta, sedangkan kasus gugatan Partai
Golkar kubu ARB terhadap SK Menkum dan HAM RI No M.HH-01.AH.11.01 tertanggal
23 Maret 2015 saat ini juga masih diperiksa di PTUN Jakarta.
Diskursus terjadi terkait
dengan kesenjangan antara keharusan KPU untuk segera menetapkan peserta
Pilkada 2015 dari dua kubu tersebut dan fenomena sengketa hukum yang masih
harus dihadapi kedua partai. KPU menghadapi dilema berat dalam penetapan
peserta pilkada serentak 2015 dari kedua partai terbelah tersebut. Masalah
hukum yang dihadapi terkait dengan konflik hukum salah satu kubu dari tiap
partai terbelah tersebut dengan Menkum dan HAM tentu tak bisa diabaikan begitu
saja karena aspek legal dalam proses politik pilkada merupakan sebuah fondasi
yang sangat penting dalam membangun pilkada serentak 2015 yang demokratis dan
damai. Namun, secara politik kedua kubu yang terdapat di dalam kedua partai
politik yang bersangkutan merasa memiliki hak untuk menentukan calon
masing-masing yang akan ikut serta dalam kontestasi Pilkada 2015.
Ketua KPU Husni Kamil Malik
mengungkapkan KPU telah melakukan kajian dan diskusi dengan para pakar dan
Mahkamah Agung (MA) mengenai permasalahan tersebut. Dari hasil diskusi dan
dengar pendapat itu, mungkin KPU akan mengambil sikap status quo, yakni tidak
meng akomodasi pengajuan calon dari keduanya, kecuali bila ada MOU atau
kesepakatan di antara kedua pengurus parpol tersebut. Dalam merespons hal
itu, anggota Panja Pilkada Saduddin menyatakan ketidaksetujuannya atas arah
kebijakan KPU tersebut. Menurut Panja Pilkada tersebut, “Sepintas terlihat
kebijakan tersebut baik karena tidak ada keberpihakan KPU terhadap salah satu
pengurus parpol. Namun sesungguhnya hal ini berbahaya bagi kehidupan
berdemokrasi mengingat parpol tersebut punya hak politik, tetapi dinafikan
karena adanya konflik internal.”
Sebenarnya, solusi bagi
terselesaikannya masalah tersebut ialah kapasitas institusi peradilan tata usaha
negara mulai tingkat pertama hingga kasasi untuk bisa memutuskan sengketa
hukum dalam kedua parpol tersebut secara cepat, akurat, dan berkeadilan.
Karenanya, Mahkamah Agung sejatinya harus mengambil sikap untuk dapat
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) yang mengatur beberapa aspek
penting terkait dengan sengketa hukum di peradilan tata usaha negara yang di
hadapi kedua parpol tersebut. Perma itu perlu mengatur, misalnya, bagaimana
norma hukum terkait dengan status hukum kedua SK Menkum dan HAM tersebut
berdasarkan asas praduga keabsahan (vermoeden van rechtsmatigheid) selama
sengketa tata usaha negara sedang berjalan dan belum ada putusan peradilan
tata usaha negara yang berkekuatan hukum tetap, limitasi waktu penyelesaian
sengketa TUN terkait dengan penanganan gugatan tata usaha negara dari SK
Menkum dan HAM RI yang diamanatkan UU Parpol itu, dan sejenisnya.
Mahkamah Agung perlu
mengeluarkan Perma tersebut mengingat ketidaklengkapan substansi Hukum Acara
PTUN dalam UU No 5 Tahun 1986 jis UU No 9 Tahun 2004 jis UU No 51 Tahun 2009
yang belum merespons perkembangan norma hukum khusus penyelesaian sengketa
parpol terkait dengan pengesahan Menkum dan HAM RI yang dihadapkan pada
tahapan pilkada se rentak sebagaimana diatur dalam UU Pilkada 2015. Kini,
`bola' penyelesaian sengketa hukum sekaligus politik dalam penetapan
calon-calon peserta pilkada serentak 2015 dari kedua parpol tersebut berada
di tangan MA yang nantinya (seharusnya) dapat dijadikan pegangan oleh KPU.
Dalam perspektif hukum administrasi
negara, pengaturan yang tak tuntas terkait dengan sengketa hukum tata usaha
negara yang dipicu kewenangan pengesahan Menkum dan HAM RI dalam UU Parpol
bisa menuai konflik horizontal pascapilkada serentak 2015 jika tak ditangani
dengan bijak oleh multipihak terkait (KPU, parpol, dan pemerintah). SK Menkum
dan HAM RI dalam kedua kasus sengketa parpol tersebut sejatinya, jika
ditinjau dari teori hukum administrasi negara, memiliki karakter hukum khusus
(sui generis) yang bisa
disejajarkan dengan jenis keputusan tata usaha negara (beschikking) lain seperti IMB dan SK pembongkaran bangunan.
Jika dicermati dari UU No 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, SK Menkum dan HAM dalam
pengesahan kepengurusan baru parpol setelah melewati proses pemilihan kepengurusan
internal pada tiap parpol tersebut lebih memperlihatkan karakter sebagai
keputusan TUN deklaratif, bukan konstitutif. Artinya, pengesahan Menkum dan
HAM RI tersebut sebatas hanya menetapkan secara formal legalitas sebuah
kepengurusan baru parpol yang keabsahan materiilnya sebenarnya melekat pada
proses internal parpol dalam pemi lihan struktur kepengurusan baru parpol
termasuk dalam penyelesaian internal oleh mahkamah parpol yang bersangkutan.
Dengan demikian, sungguh tak
tepat menyejajarkan kedua SK Menkum dan HAM RI dalam pengesahan kepengurusan
baru parpol atas permohonan pengurus baru yang telah terpilih melalui proses
internal kedua parpol tersebut dengan KTUN konsti tutif lain seperti SK
pemberhentian PNS, SK pembongkaran bangunan, dan sejenisnya.
Maka, sungguh tak bijak putusan
sela PTUN yang sempat menunda pelaksanaan KTUN terkait dengan pengesahan
pengurus baru parpol oleh kedua SK Menkum dan HAM di atas. Jika ditinjau dari
teori hukum administrasi negara, kedua SK Menkum dan HAM RI yang bersifat
deklaratif tersebut lebih tepat dianalogkan dengan keputusan TUN eenmalig yang hanya berdaya laku
sekali saja pascaditetapkan pejabat tata usaha negara, yang tak bisa ditunda
begitu saja pelaksanaannya oleh PTUN. Penundaan pelaksanaan KTUN oleh PTUN
itu sendiri tak dapat mengubah status pengesahan formal atas kepengurusan
baru kedua parpol tersebut karena sifat `eenmalig'
dari kedua keputusan TUN tersebut, yang di dalam teori hukum administrasi
negara juga disebut sebagai KTUN kilat. KTUN kilat ibarat pancaran sebuah
kilat, hanya berlaku sekali pascapenetapan dan langsung menimbul kan akibat
hukum tertentu.
Corak keputusan TUN pengesahan
kepengurusan baru parpol oleh Men kum dan HAM RI yang diamanatkan UU Parpol
tersebut harus ditempatkan sebagai sebuah keputusan TUN sui generis yang bersifat khusus. Maka, di sinilah berlaku asas
praduga keabsahan bahwa selama belum dibatalkan
suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka, pengesahan
kepengurusan baru parpol yang dilahirkan kedua SK Menkum dan HAM RI tersebut
masih tetap mengikat. Demi kepastian hukum dan kepentingan umum, KPU harus
tetap berpegang pada kedua keputusan TUN tersebut dalam penetapan peserta
Pilkada 2015. Pilkada serentak tak boleh
tersandera oleh ambisi politik dan perilaku oligarkis sebagian elite politik
yang tak segan menyandera demokrasi untuk kepentingan pribadi berjubah
koalisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar