Santri
tak Masuk NU?
Muhammad Sulton Fatoni ; Wakil Sekretaris Jenderal PBNU;
Dosen STAINU Jakarta
|
REPUBLIKA, 15 April 2015
Pada Senin (13/4), harian Republika memuat opini yang berjudul "KH Hasyim Asy’ari dan Umat"
yang ditulis Imam Besar Mesjid Istiqlal KH Ali Mustafa Yaqub. Atas saran dari
seorang aktivis Nahdlatul Ulama DI Yogyakarta, saya menyempatkan diri untuk
memberikan kesempurnaan informasi tentang satu poin yang beliau angkat, yaitu
"KH Hasyim tidak pernah menyuruh
santrinya untuk masuk NU, bahkan salah satu putera beliau, Gus Kholik (KH
Abdul Khalik Hasyim) tidak masuk NU."
"Tampaknya,
Hadhratusy Syaikh mempunyai prinsip, selama masih dalam rumpun Ahlussunnah
wal Jamaah, beliau tidak mempermasalahkan apakah menjadi NU atau bukan. Tak
mengherankan bila kemudian banyak santri Hadhratus Syaikh yang aktif di ormas
Islam bukan NU."
Benarkah KH Hasyim Asy'ari tidak mengajak santri-santrinya masuk
NU? Pada tulisan ini saya menambah penjelasan dari dua sumber. Pertama,
penuturan KH Abdul Muchit Muzadi kepada saya saat silaturahim ke kediaman
beliau di Jember, Jawa Timur, pada 2001 dan 2011 untuk keperluan Nahdlatul
Ulama. Menurut Kiai Muchith—begitu kami biasa menyapa—KH Hasyim Asy'ari tidak
pernah bercerita tentang Nahdlatul Ulama kepada para santri Tebu Ireng saat
itu. Setidaknya sepengetahuan beliau selama kurang lebih lima tahun nyantri
di Tebu Ireng.
Setiap berada di lingkungan Pesantren Tebu Ireng, KH Hasyim
Asy'ari fokus mendidik dan mengajar santri. Sikap beliau sering kali membuat
para santri Tebu Ireng saat itu gundah. Para santri saat itu berharap KH
Hasyim Asy'ari bercerita tentang Nahdlatul Ulama, terutama saat beliau baru
datang dari aktivitas ke-NU-an setelah beberapa hari meninggalkan pondok pesantren.
Namun, harapan itu tak pernah terwujud hingga Kiai Muchith menyelesaikan
studinya di Tebu Ireng. Barulah setelah selesai belajar di Tebu Ireng,
Muchith muda mendaftarkan diri masuk Nahdlatul Ulama dengan proses dan
persyaratan yang ketat.
Persyaratan ketat memang diberlakukan bagi seseorang yang ingin
menjadi anggota NU. Menurut Kiai Muchith, seseorang yang masuk anggota NU
tidak langsung mendapatkan kartu anggota NU. Ia harus melalui beberapa
tahapan ujian dan persyaratan. Namun, berbagai privilege diberikan kepada
seseorang yang telah menjadi anggota NU. Misalnya, anggota NU dibolehkan
menggunakan lambang NU untuk aktivitas ekonominya dengan imbalan 1 hingga 2,5
persen untuk NU (Feillard, 1999).
Kedua, dalam Qanun Asasi Nahdlatul Ulama yang dideklarasikan
pada Muktamar ke-3 NU pada 28 September 1928 di Surabaya, KH Hasyim Asy'ari
menuliskan (terjemah dalam bahasa Indonesia), "Marilah, wahai para ulama sekalian para pengikutnya, baik dari
kalangan si fakir, si kaya, maupun si lemah dan si kuat! Bersatu padulah ke
dalam satu organisasi yang dinamakan Nahdlatul Ulama. Masuklah kalian menjadi
warga organisasi Nahdlatul Ulama dengan penuh iktikad baik dan kasih sayang
serta bersatu, rukun, baik lahir maupun batin."
Penuturan Kiai Muchith dan dokumen KH Hasyim Asy'ari di atas
memberi pemahaman bahwa KH Hasyim Asy'ari memberi batasan tegas antara urusan
Nahdlatul Ulama dan pondok pesantren. Kedua institusi tersebut, meski
substansinya sama, tapi secara praksis berbeda, mulai dari konsentrasinya,
locus, hingga alokasi waktunya. Karena itu saya memahami Kiai Hasyim Asy'ari
tidak mau mengganggu konsentrasi belajar santri Tebu Ireng, meskipun karena
urusan Nahdlatul Ulama.
Menjadi warga Nahdlatul Ulama itu mempunyai konsekuensi. Di
antara konsekuensinya adalah bentuk tuntutan bagi seseorang yang masuk
menjadi anggota Nahdlatul Ulama, terlebih menjadi pengurusnya. Pada Muktamar
ke-12 NU tanggal 25 Maret 1937 di Malang, misalnya, para kiai dalam forum itu
memutuskan, seseorang yang telah ditetapkan sebagai pengurus NU, mulai dari
tingkat ranting hingga pusat, wajib mengerjakan segala Anggaran Dasar NU.
Maksud anggaran Dasar Nahdlatul Ulama adalah segala aktivitas
yang terkait dengan realisasi empat agenda besar Nahdlatul Ulama, yaitu
memberikan perlindungan (jam’iyyatu
aman), memperjuangkan keadilan (jam’iyyatu
‘adl), upaya meningkatkan kualitas hidup (jam’iyyatu ishlah), dan jam’iyyatu
ihsan, yaitu mengupayakan kemakmuran (Hasyim
Asy'ari, 1938).
Dua fakta tentang KH Hasyim Asy'ari di atas saling berkaitan.
Keduanya mengonstruksi integritas KH Hasyim Asy'ari sebagai pemimpin besar
umat Islam Indonesia. KH Hasyim Asy'ari menempatkan dan menjaga pondok
pesantren sebagai institusi yang harus steril dari segala kepentingan selain
ilmu pengetahuan.
Sedangkan, Nahdlatul Ulama ditempatkan sebagai wahana perjuangan
para kiai dan pengikutnya untuk mewujudkan empat gagasan besarnya. Mencermati
penuturan dan pengalaman Kiai Muchith menunjukkan bahwa pondok pesantren
adalah wahana pengaderan para kiai yang di masa depan diharapkan menjadi
penggerak Nahdlatul Ulama. Kalaupun terdapat kasus seorang santri tidak
menjadi kiai, ia masuk NU karena mengikuti gerakan kiainya. Hal ini merujuk
kepada statement KH Hasyim Asy'ari yang menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama
adalah perkumpulan para kiai dan pengikutnya (KH Hasyim Asy'ari, 1938).
Pusat pengaderan kiai
Perkembangan NU yang pesat tak lepas dari strategi menempatkan
kiai sebagai motor gerakan. Menjelang pendirian Nahdlatul Ulama, KH Hasyim
Asy'ari meminta agar KH Abdulwahab Chasbullah berkunjung ke KH Mas Nawawi
Sidogiri, Pasuruan. Kunjungan itu akhirnya direspons KH Nawawi dengan
menggelar pertemuan para kiai se-Pasuruan yang ditempatkan di Masjid Jami
Pasuruan. Konsolidasi para kiai tersebut akhirnya melahirkan Nahdlatul Ulama.
Masyarakat secara cepat menyambut NU karena mereka telah terkonsolidasikan
sebelumnya oleh para kiai.
Pada 1935, NU sudah mempunyai 68 cabang dengan 67 ribu anggota.
Tiga tahun kemudian mempunyai 99 cabang dan mulai berkembang ke luar Jawa:
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sumatra Selatan (Feillard, 1999).
Prinsipnya, semakin banyak kiai yang bergabung, maka warga NU terus bertambah
mengingat para kiai membawa komunitasnya.
Para pengikut kiai ini, Andree Feillard menyebutnya dengan
"non-ulama", sejak 1926 hingga sekarang telah disediakan tempat
yang disebut dengan "tanfidziyah" dan perangkat teknis di bawahnya.
Jumlah anggota NU itu tidak menghitung para santri yang berada di
pondok-pondok pesantren.
Setelah 92 tahun berdiri, kini warga NU tak kurang dari 76 juta
jiwa yang tersebar hampir di 27 negara. Terdapat 23 ribu pondok pesantren, 13
ribu madrasah, 210 perguruan tinggi, 350 ribu mahasiswa, 4.000 dosen, dan 536
ribu guru serta ustaz, dan 3,5 juta siswa. Atas capaian ini, the Royal Islamic
Strategic Studies Centre yang berpusat di Yordania menempatkan Nahdlatul
Ulama berada di urutan ketujuh sebagai organisasi Islam berpengaruh di dunia.
Lantas, berapakah jumlah santri saat ini? Tak kurang dari 7 juta
santri yang tersebar di berbagai pondok pesantren di dalam dan luar negeri.
Merekalah yang diharapkan menjadi penerus estafet kepemimpinan Nahdlatul
Ulama di masa depan. Mereka harus diberi ruang dan waktu belajar yang
terbaik.
Inilah generasi yang menurut KH Muchith Muzadi "tak diajak
ngomong tentang NU" oleh KH Hasyim Asy'ari. Masuk NU harus dengan
iktikad baik, rasa kecintaan, bersatu, rukun secara lahir dan batin. Inilah
sikap KH Hasyim Asy'ari.
Soal ada santrinya yangg tidak masuk NU, tentu beliau tak akan
memaksa. Saya pun teringat saat nyantri di Pesantren Sidogiri Pasuruan sekira
22 tahun lalu. Enam tahun di pesantren, tak satu pun kiai Sidogiri pernah
mengajak para santri untuk masuk NU. Padahal, salah satu kiai Sidogiri,
Nawawi, termasuk pendiri Nahdlatul Ulama pada 1926. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar