Pendidikan
dan Daya Saing
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas
Paramadina
|
KORAN
SINDO, 23 April 2014
Dalam
sebulan ini kita telah mendengar diskusi, kampanye, dan slogan-slogan yang
dilakukan partai politik (parpol) dan para calon presiden (capres) tentang
pentingnya kemandirian ekonomi Indonesia di dalam sistem kapitalisme yang
kompetitif.
Hampir
semua menyatakan kita harus lepas dari utang, menolak investasi asing, dan
bila perlu menasionalisasi seluruh perusahaan mineral dan minyak yang telah
dikuasai asing. Saya sambut baik janji-janji parpol dan para capres itu
walaupun dengan tanda tanya besar perihal jalan apa yang akan mereka lalui
untuk mewujudkan ide-ide besar itu. Dalam 10 tahun terakhir ini, perekonomian
kita lebih didominasi perdagangan mineral, produk perkebunan, dan minyak bumi
yang sedikit memberikan nilai tambah.
Apabila
menggunakan teori pembangunan klasik seperti teori ketergantungan dan
keterbelakangan, tingkat perkembangan ekonomi negara kita masuk dalam
kategori negara pinggiran (periphery),
yaitu negara-negara yang suka mengekspor barang-barang nonproduksi seperti
minyak bumi, mineral, hasil kebun, dan produk-produk lain yang hanya dikeruk
dan tidak perlu pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah. Sementara dengan
kondisi demografi kelas menengah yang gemuk, kita banyak mengimpor
barang-barang konsumsi yang nilai tambahnya lebih tinggi dan menguntungkan
negara-negara yang memiliki perusahaan-perusahaan dengan nama brand yang
sudah terkenal seperti Apple, Samsung, DELL, Adidas, NIKE, Sony.
Negara-negara
tersebut umumnya sudah berada di lapisan inti atau semi-periphery yang lebih
mengandalkan keterampilan dan kecerdasan sumber daya manusianya dalam
perdagangan. Salah satu hal yang dapat membawa negara-negara seperti Korea
Selatan, Taiwan atau China dapat naik kelas menjadi negara industri yang maju
dan bersaing dengan negara-negara utama seperti Amerika Serikat tidak lain
karena kualitas sumber daya manusia yang tinggi. Michael Porter mengatakan
sejak tahun 1980-an negara-negara dunia saat ini saling berlomba untuk
meningkatkan keunggulan kompetitifnya.
Negara-negara
berkembang yang penuh dengan sumber daya manusia yang tidak terampil menjadi
sasaran investasi atau lebih parahnya sekadar ”pasar” bagi
perusahaan-perusahaan dari negara maju. Perusahaan-perusahaan tersebut
mencari upah pekerja yang murah di negara berkembang akibat upah pekerja di
negeri asal mereka sudah sangat tinggi. Upah murah karena pekerja yang tidak
terampil menurut Porter adalah ”lower-order”
competitive advantage yang sifatnya tidak stabil dan sulit dijadikan
dasar untuk pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Tidak
stabil karena akan ada negara lain yang bisa memberikan upah jauh lebih murah
dan di sisi lain tekanan biaya hidup yang semakin besar akan mendorong
pekerja untuk menuntut kesejahteraan tanpa disertai dengan produktivitas yang
sepadan. Faktor yang lebih stabil untuk dijadikan dasar pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas adalah kemampuan dalam penguasaan teknologi, diferensiasi
produk, atau peningkatan nilai tambah dalam rantai produksi komoditi. Keunggulan
ini disebut dengan ”high-order”
competitive advantage karena ia lebih stabil dan kokoh.
Contohnya
hubungan antara Apple dengan perusahaan pemasoknya asal Taiwan, Foxconn. Di
tahun 2011, Apple memperoleh pendapatan USD108 miliar dan keuntungan
bersihnya sebesar USD43 miliar. Sementara Foxconn yang memproduksi IPhone dan
perangkat elektronik lain untuk Apple hanya memperoleh pendapatan USD111
miliar dan keuntungan sebesar USD2,2 miliar. Dari sisi tenaga kerja, Apple
hanya mempekerjakan 60.400 orang sementara Foxconn 920.000 orang. Kita dapat
lihat bahwa nilai yang dihasilkan per orang adalah USD711 ribu untuk Apple
berbanding USD239 untuk Foxconn.
Setiap
tahun Apple semakin kaya karena perangkat handphone yang dibuat baik dari
materi dan teknologinya semakin rumit dan canggih, sementara perusahaan
seperti Foxconn hanya mengandalkan kelebihan volume dan skala bila ingin
mendapatkan keuntungan. Strategi itu pun tampaknya tidak lagi berhasil karena
upah rendah yang dulu menjadi keunggulan di China sekarang tidak lagi unggul
sehingga mereka memikirkan untuk mencari lokasi baru di Jakarta.
Contoh
di atas menjadi pelajaran buat kita bahwa salah satu cara untuk meningkatkan
kemandirian ekonomi dan menjadi pemenang dalam kompetisi di dunia adalah
dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia kita yang tidak lain dengan
jalan memperbaiki pendidikan kita. Saat ini, harus diakui sistem dan
kurikulum pendidikan di Indonesia belum terbukti menghasilkan sumber daya
manusia yang kompetitif di pasar tenaga kerja. Alasan pertama karena hanya
sedikit orang Indonesia yang bisa berpartisipasi dalam pendidikan formal.
Dari
data BPS tahun 2012, angka buta huruf pun belum sepenuhnya hilang dari bumi
Indonesia karena hanya 97,95% anak usia 7–12 tahun yang punya kesempatan
bersekolah dasar. Dari populasi Indonesia berusia 15 tahun ke atas, masih ada
5,88% penduduk yang belum pernah mengenyam bangku sekolah sama sekali dan
13,90% tidak tamat SD. Mereka yang sempat merasakan bangku SMA/sederajat
hanya 15,84%, itu pun hanya sekitar 31% yang menamatkan studinya di bangku
SMA/ sederajat. Artinya rata-rata pendidikan di Indonesia hanya setaraf SD
dan SMP.
Kita
punya problem besar perihal kemampuan menamatkan studi. Alasan kedua karena
mereka yang sanggup bersekolah sampai SMA/sederajat pun punya problem besar
untuk menuntaskan studi, apalagi melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Tak hanya karena ada keterbatasan sebaran SMA/sederajat, jumlah SMA/sederajat
yang bermutu pun sangat terbatas dan harganya mahal, sementara bahan-bahan
pelajaran yang termaktub dalam kurikulumnya terbukti belum cukup membuat
siswa siap bersaing di perguruan tinggi.
Para
pengajar di perguruan tinggi selalu harus repot dengan perbaikan minat
membaca, kemampuan menulis, dan kemampuan berargumen secara ilmiah. Itu pun
tidak semua perguruan tinggi punya kesiapan untuk melakukan perbaikan itu
karena rata-rata dosennya juga dididik dengan suasana yang sama, yakni
sekadar pasif dan tidak diajak membangun keterampilan menghadapi dunia kerja
20 tahun mendatang. Sementara itu, apa yang diwacanakan di tingkat pemerintah
dan parpol? Tak jauh dari perubahan kurikulum atau materi buku ajar demi
perbaikan akhlak.
Jarang
sekali diangkat topik pembicaraan tentang perbaikan proses pembelajaran yang
membuat siswa kritis, punya minat mendalam pada pendalaman ilmu, atau
perbaikan mutu para pengajar. Program sokongan pemerintah baru sebatas
membagikan beasiswa yang jumlah dan jenisnya pun sangat terbatas dibandingkan
kebutuhan. Lagi-lagi perlu diingat problem mendasar di negeri ini adalah
kemampuan menamatkan sekolah dan tidak sepenuhnya karena masalah uang sekolah
saja.
Di
tingkat internasional, isu pendidikan menjadi wacana hangat karena sejumlah
negara maju ternyata termasuk ”tertinggal” dalam kemampuan meningkatkan mutu
pendidikannya dibandingkan negara-negara lain yang relatif meru-pakan pemain
baru dalam tataran internasional. Sebut saja Amerika Serikat yang dalam World Education Ranking ala OECD
”hanya” menempati posisi ke-17 dalam kemampuan siswanya melakukan tugas
membaca, matematika, dan ilmu pasti; jauh di bawah China (tapi yang disurvei
hanya di Shanghai), Korea Selatan, Finlandia, Hong Kong, bahkan Singapura.
Indonesia
di situ berada di peringkat ke-57, jauh di bawah Thailand, Meksiko, bahkan
Turki dan Brasil. Peringkat tersebut konsisten dengan peringkat Best Countries for Education yang
dilakukan Economist Intelligence Unit.
Yang menarik di sini adalah studi-studi tersebut menunjukkan bahwa kesuksesan
pendidikan tidak sekadar ditentukan besarnya anggaran pemerintah di bidang
pendidikan, gaji guru atau usia masuk sekolah. Simpulan yang konsisten adalah
bahwa sekadar menggelontorkan dana, meskipun sangat terencana, ternyata tidak
bisa banyak mengubah hasil akhir pada siswa karena pendidikan membutuhkan
sistem yang sangat terfokus, berjangka panjang, koheren, dan konsisten.
Guru
yang bermutu sangatlah penting khususnya karena mereka perlu dihargai sebagai
profesional dan bukan sekadar ”mesin penghasil lulusan” sehingga mereka harus
diajak untuk mengevaluasi kebutuhan dunia kerja setidaknya 20 tahun
mendatang. Hal ini sulit karena biasanya guru terjebak pada pengulangan cara
dan substansi bahan ajar yang pernah ia alami saja. Selain itu, keikutsertaan
orang tua dan model evaluasi dan diskusi di kelas sudah dibincangkan sebagai
faktor penting untuk memotivasi siswa meningkatkan mobilitasnya sebagai
individu yang kompetitif.
Artinya,
wacana dan upaya perbaikan kebijakan publik di bidang pendidikan di Indonesia
masih jauh panggang dari api. Kalau pola pikir pemangku kebijakan tidak
berubah, entah sampai kapan negara kita masih akan sekadar menjadi penonton
dan pemain pinggiran dalam persaingan ekonomi global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar