Sekolah
Kader, Motivasi dan Keagenan
Khairil Azhar ; Divisi Pelatihan Yayasan Sukma
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Februari 2018
BAGI partai politik
(parpol) mana pun, sekolah kader ialah bagian dari upaya memenangi kontestasi
politik dan mempertahankan kekuasaan setelah memenanginya. Namun, sejatinya
memenangi kekuasaan dan mempertahankannya bukanlah kerja tanpa kiblat.
Kiblat pertama, bagi
parpol mana pun juga, ialah mengikuti ketentuan undang-undang, yakni harus
sesuai dengan ideologi dan regulasi yang berlaku, tetapi kendali yang lebih
desisif tentu saja berasal dari kiblat kedua, yaitu pilihan konstituen
sebagai subjek politik. Di sini, kedipilihan, ketercapaian ambang batas, atau
kemenangan mensyaratkan bukan hanya kerja keras dan pengorbanan, tetapi juga
kecakapan mengurus kebajikan.
Di atas kertas, kendali
regulatif boleh jadi mudah diurus. Persoalan verifikasi struktur organisasi
partai, dokumen atau bahkan verifikasi faktual, terutama ketika sebuah partai
mampu membiayai, tidaklah terlalu sulit.
Namun, seperti terlihat
dalam beberapa survei terakhir terkait elektabilitas partai, eksistensi
partai-partai tertentu, bahkan yang sampai Pemilu 2014 terlihat ‘aman’, kini
mengalami penggerusan. Oleh karena itu, persoalan kendali sosial menjadi
sangat penting diperhatikan jika sebuah parpol ingin tetap bertahan.
Pendidikan bagi kader
parpol hakikinya ialah terkait urusan kendali sosial, terutama bagi partai
politik yang baru yang belum memiliki massa militan-tradisional punya kader
yang cerdas, militan dan terampil ialah hal yang tak bisa ditampik. Meskipun
kader politik yang terdidik dan terlatih utamanya diharapkan menjadi ujung
tombak pemenangan, secara internal para kader ini bisa berkontribusi lebih
banyak. Di samping dimungkinkannya pengembangan berbagai program yang
bermanfaat bagi rakyat, partai bisa mengembangkan kohesivitasnya dan bekerja
lebih efektif.
Lebih jauh, ketika
keterkelolaan dan kemenangan hakikinya ialah isu internal partai, keberadaan
sumber daya manusia yang cakap dalam partai pemenang akan lebih memungkinkan
keterurusan negara. Memenangi pemilu, oleh karena itu, bagi partai yang
mempunyai kualifikasi seperti ini, bukan hanya memenangi suara rakyat, tetapi
juga melempangkan jalan bagi kebajikan politik, yang pada gilirannya lebih
memastikan keberlanjutan partai itu sendiri.
Ketika pendidikan atau
pelatihan politik dinilai sebagai proses yang mahal, melelahkan dan berproses
panjang, partai-partai tertentu boleh jadi memilih cara instan. Meskipun tak
terbukti manjur, sebab tak ada riset yang membuktikan keampuhannya secara
empirik, mereka umpamanya hanya bertumpu pada mesin partai yang melicinkan
jalan dengan uang.
Tentu ada juga cara lain
yang saat ini lazim. Partai atau politisi yang memiliki cukup modal bisa saja
menyewa konsultan, mempekerjakan lembaga survei atau membayar orang atau tim
tertentu secara khusus. Namun, lagi-lagi itu hanya satu bentuk usaha, yang
ketika semua orang melakukan hal yang kurang lebih sama, hasilnya akan
ditentukan oleh hasil kerja tim pemenangan secara keseluruhan.
Singkat kata, meskipun
dalam berbagai hal memerlukan pembiayaan yang tak sedikit, keterkelolaan
kerja politik, hakikinya bertumpu pada keberadaan sumber daya manusia. Ketika
berpolitik ialah kerja mengurus kehidupan sosial, politisi atau tim
suksesnya, sebagai contoh, dituntut untuk memiliki keterampilan sosial yang
tak bisa dibeli begitu saja. Di sini pendidikan kader partai politik menjadi
tak bisa ditawar.
Kesatria,
bajingan, prajurit, dan ratu
Dalam bukunya, Motivation,
Agency and Public Policy (2003), Julian Le Grand bicara soal bagaimana
kebijakan dan pelayanan publik yang baik itu mungkin. Mantan penasihat mantan
Perdana Menteri Inggris Tony Blair ini lalu bicara tentang pentingnya
motivasi dan apa yang disebutnya sebagai agency (keagenan).
Supaya kebijakan publik
bisa efektif dan efisien, menurut Le Grand, politisi, pelayan publik, dan
juga penerima layanan publik perlu memiliki kedua hal ini. Motivasi diartikan
sebagai hasrat internal atau pilihan tertentu yang menjadi pemantik tindakan,
sedangkan agency dimaknai sebagai kemampuan untuk mengambil tindakan.
Dalam ideologi dan sistem
politik yang berorientasi kanan, yang bersandar pada mekanisme pasar,
motivasi manusia diasumsikan memusat pada pencapaian kepentingan pribadi
(self-interest). Adapun bagi pendukung kebijakan-kebijakan yang bersifat
redistributif, yang negara perlu campur tangan secara proporsional dalam
memastikan kesetaraan dan keadilan terkait kebijakan publik, motivasi mesti
memusat pada kepedulian pada yang lain (altruisme).
Le Grand selanjutnya
menyebut mereka yang cenderung bermotivasi altruistik sebagai para kesatria
(the knights) dan para pengejar kepentingan pribadi sebagai ‘bajingan’ atau
pemburu rente (the knaves). Dalam era negara kesejahteraan yang lebih
bersandar pada kolektivisme di Inggris, kata Le Grand, terutama setelah
euforia kemenangan Perang Dunia II, altruisme mendapat tempat yang besar
dalam sistem layanan publik di Inggris dan banyak negara lainnya. Ini
terutama karena banyak orang merasa berada dalam ‘kapal yang sama’.
Ketika campur tangan
negara besar atau ketika pasar menjadi demikian koersif, yang kebijakan dan
layanan publik yang ada membuat warga tak punya pilihan lain, muncul fenomena
yang disebut Le Grand sebagai mentalitas prajurit (pawns). Pelayan ataupun
penerima layanan publik bersikap pasif, menunggu perintah atau perbaikan
nasib sesuai keinginan pembuat kebijakan.
Dalam konteks kerja
pelayanan publik seperti ini, mudah muncul apa yang disebut sebagai free
riders, pelayan publik yang malas, culas, manipulatif, dan sebagainya. Di
sisi penerima layanan, orang-orang rela untuk menerima nasib dirawat di
bangsal-bangsal rumah sakit dengan perawatan seadanya. Para murid di sekolah-sekolah
juga terpaksa belajar apa adanya, dengan guru-guru yang juga berpenghasilan
apa adanya. Situasi dan kondisi yang membuat orang-orang menjadi bermotivasi
prajurit.Jadi, itu harus diubah. Kebijakan publik, kata Le Grand, terutama
sejak masa pemerintahan Margaret Thatcher, kemudian digeser lebih ke kanan.
Sebagai kebalikan dari
mental prajurit, kebijakan-kebijakan yang dibuat harus bisa mendorong orang
untuk bermotivasi sebagai ratu (queens), yang perkasa dan mencintai hidup.
Dia bisa bermain di tengah pasar untuk ‘mencukupkan’ kepentingan pribadi,
tetapi di sisi lain, dia ialah kesatria yang mampu berbuat bagi yang lain.
Inilah yang kemudian disebut oleh Le Grand sebagai manusia dengan agency,
yang punya kapasitas untuk berbuat dan melakukan perubahan.
Pendidikan
kader parpol
Dalam konteks pendidikan
kader partai politik (parpol), empat kategori Le Grand tentu bermanfaat.
Sesuai dengan ideologi dan doktrin masing-masing, parpol bisa memilih kiblat
pendidikan kadernya: apakah akan menjadi kesatria yang bermotivasi
altruistik, bajingan yang fokus pada kepentingan pribadi, prajurit yang siap
menerima perintah, atau ratu yang bisa bergerak bebas, perkasa dan desisif.
Jika mengacu pada kiblat
ideologis dan konstitusional serta kendali elektabilitas, partai politik
tentu akan memilih untuk bergerak di tengah, bahwa kebebasan dan keterjaminan
hak-hak warga negara secara adil itu sama pentingnya. Dengan kata lain,
mendidik kader partai menjadi orang yang peduli itu sama pentingnya dengan
memastikan keberhasilan mereka ‘mencukupkan’ kebutuhan pribadi.
Demikian juga, jika
pilihannya ialah antara mendidik kader-kader partai menjadi prajurit atau
menjadi ratu, prinsip keseimbangan tentu wajib jadi pertimbangan. Ruang gerak
dalam struktur partai, bahwa siapa pun yang memiliki kemampuan untuk berbuat
memiliki peluang, perlu terbuka.
Akan tetapi, dalam situasi
tertentu, kader partai ialah prajurit yang juga siap mengikhlaskan
egoismenya, memiliki keberanian untuk menerima pilihan yang lebih baik dari
apa yang sanggup dipikirkan dan dilakukannya. Jika bicara soal militansi, ini
kita sebut saja sebagai militansi aktivis, bukan pasifis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar