Selasa, 13 Februari 2018

Sekolah Kader, Motivasi dan Keagenan

Sekolah Kader, Motivasi dan Keagenan
Khairil Azhar  ;   Divisi Pelatihan Yayasan Sukma
                                           MEDIA INDONESIA, 12 Februari 2018



                                                           
BAGI partai politik (parpol) mana pun, sekolah kader ialah bagian dari upaya memenangi kontestasi politik dan mempertahankan kekuasaan setelah memenanginya. Namun, sejatinya memenangi kekuasaan dan mempertahankannya bukanlah kerja tanpa kiblat.

Kiblat pertama, bagi parpol mana pun juga, ialah mengikuti ketentuan undang-undang, yakni harus sesuai dengan ideologi dan regulasi yang berlaku, tetapi kendali yang lebih desisif tentu saja berasal dari kiblat kedua, yaitu pilihan konstituen sebagai subjek politik. Di sini, kedipilihan, ketercapaian ambang batas, atau kemenangan mensyaratkan bukan hanya kerja keras dan pengorbanan, tetapi juga kecakapan mengurus kebajikan.

Di atas kertas, kendali regulatif boleh jadi mudah diurus. Persoalan verifikasi struktur organisasi partai, dokumen atau bahkan verifikasi faktual, terutama ketika sebuah partai mampu membiayai, tidaklah terlalu sulit.

Namun, seperti terlihat dalam beberapa survei terakhir terkait elektabilitas partai, eksistensi partai-partai tertentu, bahkan yang sampai Pemilu 2014 terlihat ‘aman’, kini mengalami penggerusan. Oleh karena itu, persoalan kendali sosial menjadi sangat penting diperhatikan jika sebuah parpol ingin tetap bertahan.

Pendidikan bagi kader parpol hakikinya ialah terkait urusan kendali sosial, terutama bagi partai politik yang baru yang belum memiliki massa militan-tradisional punya kader yang cerdas, militan dan terampil ialah hal yang tak bisa ditampik. Meskipun kader politik yang terdidik dan terlatih utamanya diharapkan menjadi ujung tombak pemenangan, secara internal para kader ini bisa berkontribusi lebih banyak. Di samping dimungkinkannya pengembangan berbagai program yang bermanfaat bagi rakyat, partai bisa mengembangkan kohesivitasnya dan bekerja lebih efektif.

Lebih jauh, ketika keterkelolaan dan kemenangan hakiki­nya ialah isu internal partai, keberadaan sumber daya manusia yang cakap dalam partai pemenang akan lebih memungkinkan keterurusan negara. Memenangi pemilu, oleh karena itu, bagi partai yang mempunyai kualifikasi seperti ini, bukan hanya memenangi suara rakyat, tetapi juga melempangkan jalan bagi kebajikan politik, yang pada gilirannya lebih memastikan keberlanjutan partai itu sendiri.

Ketika pendidikan atau pelatihan politik dinilai sebagai proses yang mahal, melelahkan dan berproses panjang, partai-partai tertentu boleh jadi memilih cara instan. Meskipun tak terbukti manjur, sebab tak ada riset yang membuktikan keampuhannya secara empirik, mereka umpamanya hanya bertumpu pada mesin partai yang melicinkan jalan dengan uang.

Tentu ada juga cara lain yang saat ini lazim. Partai atau politisi yang memiliki cukup modal bisa saja menyewa konsultan, mempekerjakan lembaga survei atau membayar orang atau tim tertentu secara khusus. Namun, lagi-lagi itu hanya satu bentuk usaha, yang ketika semua orang melakukan hal yang kurang lebih sama, hasilnya akan ditentukan oleh hasil kerja tim pemenangan secara keseluruhan.

Singkat kata, meskipun dalam berbagai hal memerlukan pembiayaan yang tak sedikit, keterkelolaan kerja politik, hakikinya bertumpu pada keberadaan sumber daya manusia. Ketika berpolitik ialah kerja mengurus kehidupan sosial, politisi atau tim suksesnya, sebagai contoh, dituntut untuk memiliki keterampilan sosial yang tak bisa dibeli begitu saja. Di sini pendidikan kader partai politik menjadi tak bisa ditawar.

Kesatria, bajingan, prajurit, dan ratu

Dalam bukunya, Motivation, Agency and Public Policy (2003), Julian Le Grand bicara soal bagaimana kebijakan dan pelayanan publik yang baik itu mungkin. Mantan penasihat mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair ini lalu bicara tentang pentingnya motivasi dan apa yang disebutnya sebagai agency (keagenan).

Supaya kebijakan publik bisa efektif dan efisien, menurut Le Grand, politisi, pelayan publik, dan juga penerima layanan publik perlu memiliki kedua hal ini. Motivasi diartikan sebagai hasrat internal atau pilihan tertentu yang menjadi pemantik tindakan, sedangkan agency dimaknai sebagai kemampuan untuk mengambil tindakan.

Dalam ideologi dan sistem politik yang berorientasi kanan, yang bersandar pada mekanisme pasar, motivasi manusia diasumsikan memusat pada pencapaian kepentingan pribadi (self-interest). Adapun bagi pendukung kebijakan-kebijakan yang bersifat redistributif, yang negara perlu campur tangan secara proporsional dalam memastikan kesetaraan dan keadilan terkait kebijakan publik, motivasi mesti memusat pada kepedulian pada yang lain (altruisme).

Le Grand selanjutnya menyebut mereka yang cenderung bermotivasi altruistik sebagai para kesatria (the knights) dan para pengejar kepentingan pribadi sebagai ‘bajingan’ atau pemburu rente (the knaves). Dalam era negara kesejahte­raan yang lebih bersandar pada kolektivisme di Inggris, kata Le Grand, terutama setelah euforia kemenangan Perang Dunia II, altruisme mendapat tempat yang besar dalam sistem layanan publik di Inggris dan banyak negara lainnya. Ini terutama karena banyak orang merasa berada dalam ‘kapal yang sama’.

Ketika campur tangan negara besar atau ketika pasar menjadi demikian koersif, yang kebijakan dan layanan publik yang ada membuat warga tak punya pilihan lain, muncul fenomena yang disebut Le Grand sebagai mentalitas prajurit (pawns). Pelayan ataupun penerima layanan publik bersikap pasif, menunggu perintah atau perbaikan nasib sesuai keinginan pembuat kebijakan.

Dalam konteks kerja pelayanan publik seperti ini, mudah muncul apa yang disebut sebagai free riders, pelayan publik yang malas, culas, manipulatif, dan sebagainya. Di sisi penerima layanan, orang-orang rela untuk menerima nasib dirawat di bangsal-bangsal rumah sakit dengan perawatan seadanya. Para murid di sekolah-sekolah juga terpaksa belajar apa adanya, dengan guru-guru yang juga berpenghasilan apa adanya. Situasi dan kondisi yang membuat orang-orang menjadi bermotivasi prajurit.Jadi, itu harus diubah. Kebijakan publik, kata Le Grand, terutama sejak masa pemerintahan Margaret Thatcher, kemudian digeser lebih ke kanan.

Sebagai kebalikan dari mental prajurit, kebijakan-kebijakan yang dibuat harus bisa mendorong orang untuk bermotivasi sebagai ratu (queens), yang perkasa dan mencintai hidup. Dia bisa bermain di tengah pasar untuk ‘mencukupkan’ kepentingan pribadi, tetapi di sisi lain, dia ialah kesatria yang mampu berbuat bagi yang lain. Inilah yang kemudian disebut oleh Le Grand sebagai manusia dengan agency, yang punya kapasitas untuk berbuat dan melakukan perubahan.

Pendidikan kader parpol

Dalam konteks pendidikan kader partai politik (parpol), empat kategori Le Grand tentu bermanfaat. Sesuai dengan ideologi dan doktrin masing-masing, parpol bisa memilih kiblat pendidikan kadernya: apakah akan menjadi kesatria yang bermotivasi altruistik, bajingan yang fokus pada kepentingan pribadi, prajurit yang siap menerima perintah, atau ratu yang bisa bergerak bebas, perkasa dan desisif.

Jika mengacu pada kiblat ideologis dan konstitusional serta kendali elektabilitas, partai politik tentu akan memilih untuk bergerak di tengah, bahwa kebebasan dan keterjaminan hak-hak warga negara secara adil itu sama pentingnya. Dengan kata lain, mendidik kader partai menjadi orang yang peduli itu sama pentingnya dengan memastikan keberhasilan mereka ‘mencukupkan’ kebutuhan pribadi.

Demikian juga, jika pilihannya ialah antara mendidik kader-kader partai menjadi prajurit atau menjadi ratu, prinsip keseimbangan tentu wajib jadi pertimbangan. Ruang gerak dalam struktur partai, bahwa siapa pun yang memiliki kemampuan untuk berbuat memiliki peluang, perlu terbuka.

Akan tetapi, dalam situasi tertentu, kader partai ialah prajurit yang juga siap mengikhlaskan egoismenya, memiliki keberanian untuk menerima pilihan yang lebih baik dari apa yang sanggup dipikirkan dan dilakukannya. Jika bicara soal militansi, ini kita sebut saja sebagai militansi aktivis, bukan pasifis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar