Politik
Kartu Kuning Mahasiswa
Masduri ; Dosen Filsafat dan Pancasila pada Program Studi Akidah dan
Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya
|
REPUBLIKA,
08 Februari
2018
Kartu
kuning adalah simbol peringatan dalam sepak bola. Oleh Zaadit Taqwa, ketua
BEM Universitas Indonesia (UI), digunakan untuk menyentil Presiden Jokowi,
pada perayaan Dies Natalis ke-68 UI. Sontak saja, Paspampres langsung sigap mengeluarkan
Zaadit dari ruangan acara. Siapa pun tentu boleh menangkap makna dari
peristiwa ini. Sebagai realitas politik, tindakan Zaadit telah memunculkan
apresiasi dan caci maki. Hanya, nyali Zaadit yang besar, sulit didapat dari
mahasiswa masa kini, bahkan mungkin dari orang-orang yang mencaci dirinya.
Zaadit
sudah menjelaskan soal tindakannya tersebut. Pengacungan kartu kuning yang
dilakukannya bertujuan untuk mengingatkan Presiden Jokowi tentang janji-janji
politiknya dan persoalan yang sampai sekarang belum terselesaikan dengan
baik. Antara lain, persoalan gizi buruk di Asmat Papua, rencana pengangkatan
TNI/Polri sebagai Plt kepala daerah, dan draf peraturan baru organisasi
mahasiswa.
Meski
sudah dijelaskan, masih saja maknanya menjadi liar. Karena bagi publik,
tindakan tak semata bermakna seperti yang tampak. Ada kuasa lain yang
dikendalikan oleh diri seseorang dalam pikirannya. Max Weber menyebutnya
sebagai konstruksi makna.
Artinya,
Zaadit boleh saja melempar makna dari tindakan pengacungan kartu kuning.
Namun, publik sebagai penonton dan pembaca berita, menghadirkan
analis-analis, yang mungkin berbeda dengan makna yang dihadirkan oleh Zaadit.
Dalam realitas politik, segalanya memang serbaabu-abu. Kondisi ketakpastian
dalam politik, memunculkan makna yang beragam. Ini sudah konsekuensi dari
realitas politik. Wajar kalau kemudian Zaadit mendapatkan apresiasi sekaligus
caci maki. Karena Zaadit telah melempar tindakannya ke arena dan pentas
politik.
Sebagai
mahasiswa, Zaadit telah membuka kembali lembaran kekuatan mahasiswa, dengan
gelar ke-maha-annya, yang memiliki kekuasaan lebih. Menjadi siswa dengan
tambahan gelar maha di perguruan tinggi, menjadi identitas penting dari
transformasi hidup seseorang. Meski status mahasiswa sekarang bukan barang langka,
tetap saja gengsi sosial mahasiswa mendapat porsi cukup besar dalam kehidupan
politik masyarakat.
Tumbangnya
Rezim Orde Baru pada 1998 adalah penanda paling jelas dari kekuatan politik
mahasiswa. Kita bisa mengandaikan, betapa selama bertahun-tahun kita hidup
pada era di mana kebebasan sangat sulit didapat oleh warga negara. Kekuatan
represif Orde Baru tidak ada yang dapat menyangkal. Tiba-tiba meminjam bahasa
Ali Syariati, mahasiswa hadir sebagai “nabi sosial”, yang membuka jalan depan
ketercerahan masa depan kebangsaan kita.
Singkat
cerita mahasiswa berhasil menduduki parlemen dan mendesak mundur Soeharto.
Tanggal 21 Mei 1998 adalah kenangan penting yang bakal lekang selamanya.
Karena mulai saat itu zaman baru, yang kemudian kita sebut Era Reformasi
bermula.
Estafet politik
Kecenderungan
politik kita yang semakin liar belakangan ini, bahkan juga kerap dipentaskan
oleh politisi muda yang berperan besar dalam politik mahasiswa era 1998,
tentu menghadirkan keprihatinan tersendiri bagi mahasiswa masa kini. Apa yang
dihadirkan oleh Zaadit kepada Presiden Jokowi sesungguhnya adalah model
komunikasi politik zaman now, dengan menghadirkan tanda kartu kuning sebagai
peringatan kepada Presiden Jokowi, yang sudah memasuki tahun keempat
kepemimpinannya.
Artinya,
Zaadit dan mahasiswa pada umumnya, mengingatkan Presiden kita supaya bekerja
lebih giat lagi mewujudkan janji-janji politiknya, serta menyelesaikan
beragam persoalan di negeri ini, sebelum masa kepemimpinannya habis pada 2019
mendatang.
Jokowi
sendiri sudah menanggapi dengan santai dan mengapresiasi--meski mungkin juga
sindiran--untuk memberangkatkan ketua BEM dan anggotanya ke Asmat Papua
supaya melihat secara langsung kenyataan lapangan di sana. Karena itu, kita
sesungguhnya tak perlu berlebihan merespons kasus kartu kuning untuk Jokowi.
Apalagi, sampai mengait-mengaitkan dengan partai tertentu yang berseberangan
dengan Presiden Jokowi. Kita harus tetap melihat dengan jernih, betapa pun
subjektivitas kita cenderung pada figur tertentu.
Bagi
pendukung Jokowi, kenyataan ini dinilai tak etis dan melihat sebelah mata
prestasi Presiden Jokowi selama memimpin. Namun sebagai kritik, tindakan
tersebut tetap bisa menjadi jamu, guna memacu kinerja Presiden Jokowi di sisa
masa jabatannya.
Mahasiswa
sebagai kaum intelektual, harus ditempatkan pada posisi strategis. Mahasiswa
bukan hanya agent of change dan agent of control, tapi lebih dari itu ia
adalah iron stock. Padanya kita titipkan masa depan republik ini. Wajah
mahasiswa hari ini adalah cermin dari masa depan keindonesiaan kita.
Gagasan
dan gerakan inteletektual mahasiswa, betapa pun misalnya, dinilai kurang etis
dan elegan, karena menyampaikan kritik pada acara resmi dies natalis, harus
tetap dilihat dalam kerangka berpikir yang positif. Apalagi sebelumnya, sudah
ada usaha untuk beraudiensi dengan Presiden Jokowi, hanya mereka tak mendapat
kepastian apa pun. Wajar, kalau ada tindakan nekat dari salah seorang
mahasiswa.
Tak
usah berpikir jauh, kita bisa mengamati di sekeliling kita, seberapa banyak
mahasiswa yang memiliki nyali seperti Zaadit Taqwa? Nyaris sulit menemukan
mahasiswa bernyali besar seperti dia. Apalagi, pada kondisi kehidupan digital
kita yang semakin liar. Pragmatisme dan hedonisme, mengubur dalam-dalam
idealisme mahasiswa kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar