Harga
Batu Bara dan Sektor Kelistrikan Kita
Sunarsip ; Chief Economist Bank Bukopin
|
REPUBLIKA,
12 Februari
2018
Sama
halnya minyak dan gas bumi (migas), batu bara memiliki kedudukan yang sama
menurut konstitusi kita (Pasal 33 UUD 1945), yaitu sebagai kekayaan alam yang
dikuasai negara.
Itu
artinya sekalipun pengusahaannya dilakukan korporasi, baik BUMN maupun
swasta, penguasaan batu bara tetap di tangan negara. Dengan kata lain,
seandainya negara (dalam hal ini pemerintah) menghendaki hasil pengusahaan
batu bara diserahkan kepada negara, seyogianya korporasi tidak menolaknya.
Namun,
karena konstitusi kita juga menganut asas keadilan bagi privat (korporasi),
pemerintah pun memberikan kompensasi berupa pengembalian biaya sekaligus
keuntungan yang wajar atas pengusahaan tersebut.
Itulah
mengapa dalam pengusahaan migas muncul konsep cost recovery plus bagi hasil
(kini diganti dengan konsep gross split). Sementara itu, di sektor
pengusahaan tambang batu bara dikenal dengan pajak dan royalti. Kemudian,
muncul juga konsep domestic market obligation (DMO) yang bertujuan memastikan
pasokan batu bara di dalam negeri.
Belakangan
ini kita menyaksikan harga batu bara pasar internasional naik tajam.
Berdasarkan data dari World Bank, bila selama 2015 rata-rata harga batu bara
Australia mencapai 57,5 dolar AS per ton, pada 2016 naik menjadi 65,9 dolar
AS per ton dan melonjak menjadi 88,4 dolar AS per ton.
Seiring
kenaikan harga batu bara di pasar internasional, harga batu bara di dalam
negeri (termasuk batu bara untuk kelistrikan) juga naik tajam. Saat ini harga
batu bara untuk pembangkit listrik mengacu pada harga batu bara acuan (HBA)
yang ditetapkan pemerintah.
HBA
batu bara ini berfluktuasi dipengaruhi berbagai kondisi, termasuk
perkembangan harga batu bara di pasar internasional. Keberadaan HBA ini
penting terutama untuk memastikan harga acuan yang dipakai dalam menentukan
besarnya pajak dan royalti.
Karena
harga batu bara pasar di internasional naik, HBA juga mengalami kenaikan.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, bila pada awal 2016 HBA batu bara kalori
6.322 sekitar 50 dolar AS per ton, pada Desember 2017 HBA-nya sudah berada di
atas 90 dolar AS per ton.
Di
satu sisi, kenaikan harga batu bara memberikan dampak positif bagi penerimaan
negara. Akibat kenaikan harga batu bara selama 2017, negara (APBN)
diperkirakan memperoleh tambahan penerimaan sekitar Rp 1,4 triliun.
Di
sisi lain, kenaikan harga batu bara juga merugikan industri, termasuk
kelistrikan. Tingginya HBA menyebabkan harga patokan batu bara (HPB) yang
ditanggung industri kelistrikan (dalam hal ini PT Perusahaan Listrik
Negara/PLN) naik signifikan.
Konsekuensinya,
biaya pokok produksi (BPP) listrik naik tajam. Berdasarkan data PLN, akibat
kenaikan harga batu bara tersebut, BPP listrik naik sebesar Rp 16,18 triliun
selama 2017.
Listrik
merupakan energi yang vital bagi masyarakat, karena itu pemerintah mengatur
besaran tarif listrik yang dibayar konsumen. Logikanya, kenaikan BPP listrik
akibat kenaikan harga batu bara tersebut dibebankan dalam harga jual listrik
yang dibayar konsumen melalui kenaikan tarif.
Namun,
pemerintah sepertinya tidak memilih membebankan kenaikan BPP listrik tersebut
ke dalam harga jual listrik konsumen. Pilihan pemerintah ini tepat.
Berdasarkan
perhitungan Sunarsip dan kawan-kawan (2017), bila kenaikan harga batu bara
ini dibebankan ke masyarakat melalui kenaikan tarif listrik, efeknya terhadap
penurunan pertumbuhan ekonomi paling besar dibandingkan skenario lain.
Sebab,
listrik mempunyai multiplier effect yang besar dalam perekonomian.
Berdasarkan rilis BPS awal bulan ini, ekonomi Indonesia tumbuh 5,07 persen
selama 2017, relatif stagnan dibandingkan 2016 yang tumbuh 5,03 persen.
Tidak
terlalu kuatnya pertumbuhan ekonomi selama 2017 terutama dipengaruhi
melemahnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga (RT). Selama 2017, konsumsi RT
tumbuh 4,95 persen, terendah sejak 2011. Dalam situasi ini, kebijakan
pemerintah dengan menjaga tarif listrik tetap terjangkau menjadi vital untuk
mendorong pertumbuhan konsumsi RT sekaligus pertumbuhan ekonomi.
Karena
kenaikan BPP listrik tidak dibebankan ke dalam kenaikan tarif listrik, yang
perlu dipikirkan selanjutnya adalah efeknya terhadap PLN. Ini mengingat
kondisi tersebut dapat menekan kinerja keuangan PLN, sedangkan mayoritas
pembangkit listrik kita menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya. Kondisi
ini, bila tidak segera diatasi, berpotensi mengancam kelangsungan pembangunan
sektor kelistrikan kita.
Kenaikan
BPP listrik akibat harga batu bara berpotensi menghambat PLN dalam memenuhi
target kelistrikan 35 ribu megawatt sekaligus penyediaan listrik bagi
masyarakat. Karena itu, perlu ada solusi yang dapat menjaga kepentingan
berbagai pihak, baik pihak pemerintah, PLN, maupun korporasi batu bara.
Dalam
perspektif ini, saya mengusulkan beberapa solusi. Pertama, perlu dibuat
kebijakan harga khusus batu bara yang diperuntukkan bagi kelistrikan.
Misalnya, harga batu bara DMO semestinya tidak mengacu harga pasar. DMO tidak
hanya sebatas kewajiban secara kuantitas untuk menyuplai batu bara, tetapi
harganya juga ditetapkan secara khusus mengacu pada kepentingan masyarakat.
Dalam
jangka pendek, korporasi batu bara memang harus rela sedikit “berkorban”
dengan kebijakan harga khusus ini. Ini mengingat korporasi berpotensi
kehilangan keuntungan akibat kenaikan harga batu bara saat ini.
Namun,
korporasi juga perlu menyadari, keuntungan yang didapatkan dari ekspor batu
bara sudah tinggi. Oleh karena itu, keuntungan yang sudah didapatkan tersebut
dianggap sebagai kompensasi atas harga khusus bagi DMO batubara mereka.
Konsep
inilah yang diberlakukan di Afrika Selatan (Afsel). Korporasi batu bara di
Afsel menikmati windfall profit dari ekspor batu bara, akibat kenaikan harga
batu bara di pasar internasional.
Namun,
di pasar domestik, korporasi batu bara di Afsel rela menjual batu baranya
untuk kelistrikan lebih rendah dibandingkan harga pasar internasional. Kedua,
harga batu bara untuk kelistrikan semestinya dibuat dalam kontrak jangka
panjang.
Konsep
ini sebenarnya telah diterapkan di banyak negara yang memiliki batu bara
sekaligus pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Selain Afsel, Amerika
Serikat (AS) juga menerapkan kebijakan harga batu bara dalam kontrak jangka
panjang.
Secara
historis, lebih dari 80 persen batu bara yang digunakan oleh pembangkit
listrik di AS dibeli berdasarkan perjanjian jangka panjang. Kontrak jangka
panjang ini menguntungkan semua pihak.
Bagi
PLN, kontrak jangka panjang memberikan kepastian bagi perhitungan BPP
listrik. Bagi pemerintah, kepastian BPP listrik memberikan kepastian dalam
kebijakan penetapan tarif listrik. Sedangkan, bagi korporasi batu bara,
kontrak harga jangka panjang memberikan jaminan pendapatan.
Perlu
dicatat, harga batu bara tidak selamanya berada di level tinggi. Harga batu
bara sering kali jatuh ke level rendah. Dengan kontrak harga jangka panjang,
jaminan kepastian pendapatan akan didapatkan sehingga nilai saham korporasi
batu bara terjaga positif dan stabil. Kira-kira pada level berapa kontrak
harga batu bara jangka panjang dapat disepakati?
Berdasarkan
perhitungan saya dengan mengacu pada tiga jenis harga batu bara yang
dikeluarkan Bank Dunia, yaitu batu bara Australia, Kolombia, dan Afsel
memperlihatkan rata-rata harga batu bara selama 2001-2017 berada di level
67,49 dolar AS per ton.
Dengan
kata lain, bila pemerintah, PLN, dan korporasi batu bara dapat sepakat
berkontrak jangka panjang di kisaran harga 60-70 dolar AS per ton, hal itu
akan menjadi kontrak menguntungkan semua pihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar