Anatomi
Jakarta Tenggelam
Christianto Wibisono ; Ketua Pendiri Pusat
Data Bisnis Indonesia
|
KOMPAS,
03 Februari
2018
Pagi dini hari, Minggu, 14 Januari 2018, saya menerima pesan WA
dari seorang mantan wartawan senior tentang konflik perbedaan pandangan
kebijakan soal reklamasi yang dibesar-besarkan menjadi konflik
konstitusional.
Konflik ini membenturkan gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies
Baswedan, yang mencitrakan antireklamasi, dengan pemerintah pusat yang
dicitrakan sebagai proreklamasi dan propengembang. Perbedaan kebijakan itu
telah menjadi sangat personal dan terpolitisasi secara ”pragmatis” sehingga
kita bisa kehilangan wawasan akal
sehat dan pencerahan hati nurani untuk berpikir komprehensif-strategis.
Peringatan dari ”langit”
Untung suatu peringatan dari ”langit” muncul, berupa laporan
khusus halaman depan koran The New York Times edisi 21 Desember 2017 dengan
judul provokatif: ”Jakarta Is Sinking So Fast, It Could End Up Underwater”.
Karena seluruh elite sedang tenggelam dalam kemelut pilkada serentak 2018,
maka tidak ada yang peduli pada peringatan Michael Kimmelman, sang penulisnya.
Sebaliknya, polemik ofensif Pemprov DKI Jakarta yang ingin
membatalkan HGB di lahan reklamasi hingga mengancam menggugat BPN yang justru
diingatkan oleh pakar hukum tata negara
agar tidak perlu memperdalam konflik secara ”vulgar”. Tampaknya memang
isu ini mau dijadikan ”jualan politik” oleh gubernur terpilih.
Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) sejak didirikan tahun 1980
selalu mengedepankan kepentingan nasional di atas kepentingan temporer: siapa
pun presiden dan atau gubernurnya. Kita telah mengamati pelbagai perebutan kepentingan yang berdampak
ketelantaran program pembangunan. Proyek MRT sampai lima gubernur baru tuntas konkret dibangun terlambat 25
tahun. Masalah banjir dan geologis
Jakarta juga sudah ditangani sejak zaman Kopro Banjir era Bung Karno.
Benang merah relasi antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI
Jakarta memang unik. Selama 15 tahun DKI Jakarta dipimpin oleh empat wali
kota: Suwiryo, Daan Yahya (interim),
kembali Suwiryo, Syamsurizal, dan Sudiro.
Tahun 1960, Presiden Soekarno mengubah jabatan wali kota menjadi
gubernur DKI dan Mayjen Dr Sumarno Sosroatmojo jadi gubernur pertama DKI
Jakarta.
Ketika Ali Sadikin diorbitkan oleh Soekarno menjadi Gubernur
DKI, 28 April 1966, setahun kemudian ia membuka kasino di Petak IX sebagai
sumber pembiayaan pembangunan gedung SD
lantaran defisit APBD ataupun APBN yang diterima DKI. Era Ali Sadikin
ini adalah awal reklamasi di Ancol dan Pluit. Dari dana pajak kasino itu pula
Ali Sadikin membangun proyek Husni Thamrin, perbaikan kampung yang menjadi
model Bank Dunia untuk pembangunan dunia ketiga.
Kembali ke soal reklamasi yang jadi ”jualan politik pilkada” dan
mau dijadikan ”jualan politik” di Pemilu dan Pilpres 2019, menurut PDBI,
siapa pun gubernur DKI dan presiden RI, Jakarta memerlukan apa yang disebut
NCICD (National Capital Integrated Coastal Development). Ini semacam wadah
perumus kebijakan terpadu tentang geologi Jakarta dengan pelbagai program seperti GSWP (Giant
Sea Wall Project), termasuk reklamasi. Bahkan sepanjang 1.000 kilometer
pantai utara Jawa, bukan hanya secuil di Jakarta Utara.
Dalam kaitan geopolitik justru Poros Maritim harus bersinergi
dengan One Belt One Road (OBOR) Maritim secara saling menguntungkan dengan
reklamasi masif seluruh pantai utara Jawa. Sebab, yang sekarang berjalan
hanya OBOR darat, pembangunan OBOR di
kawasan Indochina, delta Mekong, dan jaringan jalan darat kereta api lintas
India-Bangladesh-Vietnam ataupun dari Malaysia ke Laos- Myanmar adalah di
luar wilayah RI.
Indonesia tidak langsung menikmati atau dilewati jalur OBOR
darat kontinental itu. Poros Maritim seolah di luar OBOR, sedangkan ASEAN
kontinental memanfaatkan maksimal OBOR darat. Karena itu, sinergi Poros Maritim dan OBOR Maritim itu
harus jadi agenda geopolitik, siapa pun presiden RI dan gubernur DKI atau
gubernur se-Jawa.
Jangan korbankan rakyat
PDBI akan menyelenggarakan Seminar Anatomi Jakarta Tenggelam?
guna membahas tuntas masalah mendasar dan mendesak, yaitu ancaman
tenggelamnya Jakarta secara geologis dan manajemen geopolitik dari lokasi
geografis RI secara komprehensif dan terpadu.
Masalah ini tak boleh dan tak bisa dijadikan sekadar ”jualan
politik” calon gubernur dan presiden. Sebab, yang dipertaruhkan bukan
menang-kalahnya seorang cagub dan capres, melainkan nasib Jakarta dan tentu
nasib Indonesia bila Jakarta mendadak tenggelam karena gubernur konflik
dengan presiden secara ”personal”, tetapi menyeret nasib suatu metropolis dan
suatu negara-bangsa.
Sudah sering elite politik membohongi rakyat dengan kampanye sok
”nasionalis” dan ”sok patriotik”. Misalnya, di zaman negosiasi dengan Belanda
dulu diisukan Bung Karno kolaborator Jepang, maka Sekutu dan Belanda hanya
mau berunding dengan Sutan Syahrir dan Amir Syarifudin karena keduanya memang
bergerak di bawah tanah: anti-Jepang. Sementara Bung Karno dan Bung Hatta
ikut dalam struktur elite politik
Sutan Syahrir, dijatuhkan oleh Amir Syarifudin, dengan alasan lembek
dan lunak menghadapi Belanda dengan Perjanjian Linggarjati.
Namun, Amir justru menandatangani Persetujuan Renville yang
malah lebih buruk daripada Linggarjati. Amir pun memberontak dan posisinya
diambil alih Hatta. Karena sudah capek, Republik Indonesia Serikat (RIS)
menerima Konferensi Meja Bundar mewarisi utang Hindia Belanda. Jadilah kita
satu-satunya negara bekas jajahan yang harus membayar utang bekas penjajah
senilai 1,1 miliar dollar AS dan baru lunas pada 1956.
Namun, ketika kita menyita seluruh aset perusahaan Belanda,
termasuk KPM 1957, kita tidak mampu memelihara RLS (regular liner
rervice/pelayaran terjadwal) sehingga biaya logistik Indonesia termahal di
dunia. Ongkos angkut jeruk dari Shanghai ke Jakarta lebih murah daripada
Pontianak-Jakarta. Inilah yang mau diubah dengan tol laut Poros Maritim.
Dalam konteks inilah kita harus membahas suatu kasus dan isu
kebijakan secara komprehensif, terpadu, holistik, dan tidak secara murah
meriah lalu dijadikan komoditas ”jualan politik” berbau SARA. Hanya PDBI yang
dapat menggelar seminar secara lugas, tuntas, di luar kerangka politik
praktis, tetapi langsung ke substansi masalah. Sebab, Jakarta benar-benar
bisa tenggelam bila kita hanya asyik berpolemik sentimental emosional
antarpribadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar