Jumat, 02 Februari 2018

Kampus Asing dan Kampus Terasing

Kampus Asing dan Kampus Terasing
Ardhie Raditya ;  Dosen Pendidikan Kritis dan Kajian Budaya di Departemen Sosiologi Unesa;  Kandidat Doktoral KBM UGM Yogyakarta
                                                    JAWA POS, 01 Februari 2018



                                                           
APABILA rencana Kementerian Ristek dan Dikti (Kemenristekdikti) berjalan mulus, sejumlah kampus asing akan membuka cabang di Indonesia. Universitas Cambridge hanyalah salah satu kampus ternama yang tengah antre (Jawa Pos, 31/1). Masuknya kampus asing tersebut diharapkan mampu mereproduksi mutu pendidikan tinggi kita. Apakah itu termasuk kabar baik ataukah kabar buruk bagi dunia pendidikan kita?

Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia, anggaran riset kita hingga kini masih tergolong rendah. Betapa tidak, dana riset nasional kita berkisar 0,1 persen dari APBN atau belum mencapai Rp 50 triliun. Indonesia harus mengejar ketertinggalannya dari Malaysia (1,25%), Tiongkok (2,0%), Singapura (2,20%), Jepang (3,60%), dan Korea Selatan (4,0%).

Plt Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bambang Subiyanto pernah menyatakan bahwa satu kegiatan riset idealnya membutuhkan dana minimal Rp 500 juta (Jawa Pos, 26/10/2017). Itu sebatas publikasi. Belum termasuk keperluan dana riset yang lain-lain. Sementara jumlah dosen di Indonesia 275.926 orang. Dengan anggaran riset Rp 23 triliun (setara 0,1 persen dari APBN), setiap dosen hanya menerima sekitar Rp 83 juta per tahun. Artinya, ratarata satu riset terbatas untuk dana teknis, akomodasi, dan pengumpulan data serta referensi. Tak heran, menjadi dosen dan peneliti di Indonesia tidak membuat mereka sejahtera.

Di sisi lain, pendidikan mereka didominasi para dosen yang bergelar S-2 (180.970 orang). Bergelar S-1 sebanyak 38.792 orang. Sedangkan dosen bergelar doktor (S-3) berjumlah di bawahnya, 35.008 orang. Dari jumlah itu, diperkirakan 20 persen saja yang menerima bantuan beasiswa saat menjalani studi. Saat studi tanpa beasiswa, seusai studi mereka cenderung berpikir realistis: bagaimana caranya balik modal.

Di sisi lain, kucuran dana riset di kampus terkesan berfungsi bagibagi kue pendidikan. Sosiolog UGM Heru Nugroho menyebut orangorang itu sebagai dosen proyek. Meminjam istilah Gus Dur, mereka adalah para intelektual ”tukang”. Layaknya ”tukang”, tugas yang mereka jalankan tak lebih dari kerja-kerja teknis sesuai pesanan.

Efek tragisnya, bangsa ini rentan dijangkiti virus kolonialisasi penge- tahuan. Said (1999) mengatakan bahwa di negeri bekas jajahan, ilmu pengetahuan hanya kepanjangan tangan Barat. Cohn (1996) mempertegas bahwa modalitas investigatif sering disematkan dalam ilmu pengetahuan. Modalitas investigatif itu berupa karya tulis, gagasan, dan hasil budaya yang menonjolkan kehebatan bangsa asing. Sehingga, saat menulis karya akademik, ada rasa bangga berlebihan jika mengutip teori besar dari intelektual Barat.

Padahal, beberapa teori besar karya intelektual asing itu berasal dari bangsa kita. Dengan keberagaman masyarakat kita, tentu banyak hal yang bisa dijadikan fondasi teoretis. Seperti Agama Jawa (Geertz, 1981), Nusa Jawa Silang Budaya (Lombard, 2000), Madura dalam Empat Zaman (De Jonge, 1986), dan Komunitas Terbayang (Anderson, 1983). Akhirnya, gagasan hebat intelektual Indonesia menjadi terasing dari kampusnya sendiri. Bahkan terasing dari bangsanya sendiri.

Pendidikan Melintas Bangsa

Menurut Zygmunt Bauman (1999), disebut kampus berkualitas apabila memiliki tiga modal utama. Pertama, rumah tangga harmonis. Artinya, tata kelola kampus mengutamakan kerja sama dan pelayanan prima. Rumah tangga kampus yang dikelola tangan besi hanya melahirkan kerajaan iblis (evil empire).

Kedua, partisipasi aktif di dalam kehidupan publik. Kampus bukanlah simbol menara gading. Kampus berdiri karena panggilan peradaban, kemanusiaan, dan pembebasan. Salah satu contohnya ada di Amerika Serikat (AS). Douglas Kellner (1992) mengatakan, terjadinya Perang Teluk adalah bukti sejarah krisis pendidikan tinggi di AS. Hal itu menunjukkan bahwa kaum intelektual di sana tak berdaya. Sehingga gerakan perdamaian dunia tak mampu menghentikan ”gila” perang elite politiknya.

Ketiga, integritas dan karakter kampus. Di tengah menguatnya gurita kapitalisme dan proyek neoliberalisme, tentu saja integritas kampus sering dipertanyakan. Sebab, sebagian besar kampus kita tak lagi malu mengomersialkan pendidikannya. Ada kesan yang kuat bahwa kampus berkualitas adalah kampus mahal. Sementara amanah konstitusi kita adalah menuntut proses pendidikan yang berkeadilan, berperikemanusiaan, dan berkebangsaan.

Jika masuknya kampus asing tak terbendung lagi, segala macam proses pendidikannya harus mengutamakan konstitusi kita. Jangan sampai bangsa kita menjadi kakitangan kepentingan asing belaka. Kedua pihak, baik kampus asing maupun kampus kita, harus berdiri setara. Sehingga praktik pendidikannya lebih mencerminkan kerja sama lintas bangsa. Dan bukan mencerminkan kerja sama melindas bangsa-bangsa. Lalu, tanyalah pada hatimu, kawan.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar