Kampus
Asing dan Kampus Terasing
Ardhie Raditya ; Dosen Pendidikan Kritis dan Kajian Budaya di
Departemen Sosiologi Unesa; Kandidat
Doktoral KBM UGM Yogyakarta
|
JAWA
POS, 01 Februari 2018
APABILA rencana Kementerian Ristek dan
Dikti (Kemenristekdikti) berjalan mulus, sejumlah kampus asing akan membuka
cabang di Indonesia. Universitas Cambridge hanyalah salah satu kampus ternama
yang tengah antre (Jawa Pos, 31/1). Masuknya kampus asing tersebut diharapkan
mampu mereproduksi mutu pendidikan tinggi kita. Apakah itu termasuk kabar
baik ataukah kabar buruk bagi dunia pendidikan kita?
Jika dibandingkan dengan negara-negara
di Asia, anggaran riset kita hingga kini masih tergolong rendah. Betapa
tidak, dana riset nasional kita berkisar 0,1 persen dari APBN atau belum
mencapai Rp 50 triliun. Indonesia harus mengejar ketertinggalannya dari
Malaysia (1,25%), Tiongkok (2,0%), Singapura (2,20%), Jepang (3,60%), dan
Korea Selatan (4,0%).
Plt Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Bambang Subiyanto pernah menyatakan bahwa satu kegiatan
riset idealnya membutuhkan dana minimal Rp 500 juta (Jawa Pos, 26/10/2017).
Itu sebatas publikasi. Belum termasuk keperluan dana riset yang lain-lain. Sementara
jumlah dosen di Indonesia 275.926 orang. Dengan anggaran riset Rp 23 triliun
(setara 0,1 persen dari APBN), setiap dosen hanya menerima sekitar Rp 83 juta
per tahun. Artinya, ratarata satu riset terbatas untuk dana teknis,
akomodasi, dan pengumpulan data serta referensi. Tak heran, menjadi dosen dan
peneliti di Indonesia tidak membuat mereka sejahtera.
Di sisi lain, pendidikan mereka
didominasi para dosen yang bergelar S-2 (180.970 orang). Bergelar S-1
sebanyak 38.792 orang. Sedangkan dosen bergelar doktor (S-3) berjumlah di
bawahnya, 35.008 orang. Dari jumlah itu, diperkirakan 20 persen saja yang
menerima bantuan beasiswa saat menjalani studi. Saat studi tanpa beasiswa,
seusai studi mereka cenderung berpikir realistis: bagaimana caranya balik
modal.
Di sisi lain, kucuran dana riset di
kampus terkesan berfungsi bagibagi kue pendidikan. Sosiolog UGM Heru Nugroho
menyebut orangorang itu sebagai dosen proyek. Meminjam istilah Gus Dur,
mereka adalah para intelektual ”tukang”. Layaknya ”tukang”, tugas yang mereka
jalankan tak lebih dari kerja-kerja teknis sesuai pesanan.
Efek tragisnya, bangsa ini rentan
dijangkiti virus kolonialisasi penge- tahuan. Said (1999) mengatakan bahwa di
negeri bekas jajahan, ilmu pengetahuan hanya kepanjangan tangan Barat. Cohn
(1996) mempertegas bahwa modalitas investigatif sering disematkan dalam ilmu
pengetahuan. Modalitas investigatif itu berupa karya tulis, gagasan, dan
hasil budaya yang menonjolkan kehebatan bangsa asing. Sehingga, saat menulis
karya akademik, ada rasa bangga berlebihan jika mengutip teori besar dari
intelektual Barat.
Padahal, beberapa teori besar karya
intelektual asing itu berasal dari bangsa kita. Dengan keberagaman masyarakat
kita, tentu banyak hal yang bisa dijadikan fondasi teoretis. Seperti Agama
Jawa (Geertz, 1981), Nusa Jawa Silang Budaya (Lombard, 2000), Madura dalam
Empat Zaman (De Jonge, 1986), dan Komunitas Terbayang (Anderson, 1983).
Akhirnya, gagasan hebat intelektual Indonesia menjadi terasing dari kampusnya
sendiri. Bahkan terasing dari bangsanya sendiri.
Pendidikan Melintas Bangsa
Menurut Zygmunt Bauman (1999), disebut
kampus berkualitas apabila memiliki tiga modal utama. Pertama, rumah tangga
harmonis. Artinya, tata kelola kampus mengutamakan kerja sama dan pelayanan
prima. Rumah tangga kampus yang dikelola tangan besi hanya melahirkan
kerajaan iblis (evil empire).
Kedua, partisipasi aktif di dalam
kehidupan publik. Kampus bukanlah simbol menara gading. Kampus berdiri karena
panggilan peradaban, kemanusiaan, dan pembebasan. Salah satu contohnya ada di
Amerika Serikat (AS). Douglas Kellner (1992) mengatakan, terjadinya Perang
Teluk adalah bukti sejarah krisis pendidikan tinggi di AS. Hal itu
menunjukkan bahwa kaum intelektual di sana tak berdaya. Sehingga gerakan
perdamaian dunia tak mampu menghentikan ”gila” perang elite politiknya.
Ketiga, integritas dan karakter kampus.
Di tengah menguatnya gurita kapitalisme dan proyek neoliberalisme, tentu saja
integritas kampus sering dipertanyakan. Sebab, sebagian besar kampus kita tak
lagi malu mengomersialkan pendidikannya. Ada kesan yang kuat bahwa kampus
berkualitas adalah kampus mahal. Sementara amanah konstitusi kita adalah
menuntut proses pendidikan yang berkeadilan, berperikemanusiaan, dan
berkebangsaan.
Jika masuknya kampus asing tak
terbendung lagi, segala macam proses pendidikannya harus mengutamakan
konstitusi kita. Jangan sampai bangsa kita menjadi kakitangan kepentingan
asing belaka. Kedua pihak, baik kampus asing maupun kampus kita, harus
berdiri setara. Sehingga praktik pendidikannya lebih mencerminkan kerja sama
lintas bangsa. Dan bukan mencerminkan kerja sama melindas bangsa-bangsa.
Lalu, tanyalah pada hatimu, kawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar