Imam
Jokowi
Zuhairi Misrawi ; Intelektual Muda Nahdlatul Ulama;
Analis Pemikiran dan
Politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
|
DETIKNEWS,
01 Februari
2018
Dalam seminggu terakhir, foto Presiden
Jokowi menjadi imam salat di Afghanistan viral di sejumlah laman media
sosial. Banyak yang memberi apresiasi, kagum, dan bangga. Tapi ada juga yang
nyinyir, khususnya dari lawan-lawan politik. Tidak masalah, karena demokrasi
memberi ruang seluas-luasnya bagi mereka yang ingin nyinyir.
Saya sendiri mencermati foto tersebut
mempunyai makna simbolik yang sangat luar biasa. Sebab dalam tradisi Islam,
biasanya yang menjadi imam salat adalah tuan rumah. Namun tuan rumah justru
mempersilakan Presiden Jokowi jadi imam salat bagi Presiden Ashraf Ghani,
sejumlah kabinet, dan para ulama Afghanistan. Tentu peristiwa tersebut bukan
hal yang biasa. Setidak-tidaknya sebagai penghargaan dan penghormatan
terhadap Presiden Jokowi.
Presiden Ghani sangat mengapresiasi
keberanian Presiden Jokowi tidak membatalkan kunjungan ke Afghanistan,
meskipun dalam seminggu terakhir diguncang bom bunuh diri. Dalam beberapa
tahun terakhir, Afghanistan dalam kondisi sangat tidak aman, karena Taliban
setiap saat melancarkan serangan mematikan terhadap pemerintahan yang sah.
Serangan Taliban yang paling mutakhir ditujukan ke akademi militer
Afghanistan.
Namun, sekali lagi, Presiden Jokowi
bergeming dengan ulah Taliban. Ia bersikukuh ingin mempererat kembali hubungan
Indonesia-Afghanistan yang sudah dirintis oleh Bung Karno pada tahun 1961
dalam kunjungan kenegaraan pertama ke Afghanistan. Setelah 61 tahun, Presiden
Jokowi melakukan kunjungan kenegaraan untuk merajut kembali hubungan antardua
negara.
Kembali kepada Presiden Jokowi menjadi
imam salat di Afghanistan, menurut saya, peristiwa tersebut harus dimaknai
secara lebih luas perihal kepemimpinan Indonesia di dunia internasional.
Ketika Presiden Ghani meminta Presiden Jokowi menjadi imam salat itu bisa dimaknai
secara luas bagi peran-peran Indonesia di berbagai belahan dunia. Pemimpin
negara lain sudah mengakui kepemimpinan Presiden Jokowi.
Saya sendiri mencatat ada empat
peristiwa penting yang dapat membuktikan peran kepemimpinan Jokowi di dunia,
yang telah membuat kagum para pemimpin dunia. Pertama, komitmen Presiden
Jokowi terhadap perdamaian Afghanistan. Negara ini dilanda konflik dan
ancaman terorisme yang sangat akut. Selama ini pendekatan yang digunakan
untuk menyelesaikan konflik di Afghanistan selalu menggunakan pendekatan
militer (hard power). Tidak ada inisiatif untuk menggunakan pendekatan lunak
(soft power) yang mengedepankan dialog dan rekonsiliasi.
Dalam beberapa tahun terakhir,
Indonesia memfasilitasi dialog dan rekonsiliasi di antara faksi-faksi yang
bertikai di Afghanistan. Bahkan konon faksi-faksi yang bertikai tersebut
tidak bisa duduk bersama dan berdialog di Afghanistan, tapi justru bisa
dipertemukan di Indonesia.
Presiden Ghani sangat tertarik dengan
cara Indonesia membangun kesadaran pentingnya kebhinekaan dan gotong-royong
dalam membangun negeri. Ada banyak agama, suku, dan bahasa di negeri ini,
tetapi dapat dipersatukan untuk membangun negeri. Kabar keberhasilan
Indonesia dalam mempersatukan kebhinekaan itu telah mengetuk hati Presiden
Ghani untuk belajar cara membangun hidup damai di tengah keragaman.
Nah, kunjungan Presiden Jokowi ke
Afghanistan di tengah ancaman keamanan yang tidak kondusif itu sebagai bukti
komitmen Indonesia untuk mendorong perdamaian di Afghanistan. Kita tidak
boleh kalah dan mengalah terhadap ekstremisme. Kita harus suarakan akal sehat
dan perdamaian ke seantero dunia, sesuai amanat pembukaan konstitusi kita.
Kedua, komitmen Presiden Jokowi
terhadap kemerdekaan Palestina. Presiden Jokowi menjadikan kemerdekaan
Palestina sebagai prioritas dalam politik luar negeri RI. Hal tersebut
tercermin dalam kunjungan terakhir ke Pakistan. Presiden Jokowi secara khusus
membincangkan kemerdekaan Palestina dengan Presiden Pakistan.
Sikap Presiden Jokowi perihal Palestina
sangat jelas, yaitu merdeka dan berdaulat, serta solusi dua negara yang hidup
berdampingan secara damai. Presiden Jokowi aktif menggalang kekuatan dengan
negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), negara-negara
Asia-Afrika dan negara-negara Barat untuk membela hak Palestina merdeka dan
berdaulat. Indonesia juga membuka konsulat kehormatan di Ramallah.
Dalam forum darurat OKI di Istanbul,
Presiden Jokowi membuat decak kagum para pemimpin negara anggota OKI, karena
sikap yang diambil Indonesia dalam merespons kebijakan Trump soal pemindahan
ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem sangat jelas dan tidak abu-abu.
Presiden Jokowi mengajak seluruh pemimpin dunia Islam untuk menyelesaikan
masalah Palestina secara komprehensif, tidak parsial.
Ketiga, komitmen Presiden Jokowi untuk
membantu Rohingya. Di sela-sela kunjungan kenegaraan ke Bangladesh, Presiden
Jokowi juga mengunjungi para pengungsi Rohingya di Cox' Bazar untuk memantau
kondisi pengungsi dan bantuan kemanusiaan yang sudah disalurkan kepada
mereka. Lagi-lagi, Presiden Jokowi merupakan pemimpin dunia yang pertama kali
mengunjungi para pengungsi Rohingya.
Komitmen Presiden Jokowi dalam membantu
Rohingya bukan hanya isapan jempol, melainkan komitmen yang lahir dari hati
yang paling dalam dengan melakukan jalur diplomasi dengan pemerintah Myanmar
dan Bangladesh, serta memprioritaskan masalah bantuan kemanusiaan semaksimal
mungkin, dibantu oleh Tim Laziz NU dan Laziz Muhammadiyah.
Keempat, komitmen Presiden Jokowi dalam
mewujudkan perdamaian antara Iran-Saudi. Konflik di Timur-Tengah pada
dasarnya berpijak pada pertarungan dua kekuatan besar antara Iran dan Arab
Saudi. Selama ini Israel dan Amerika Serikat selalu membenturkan kedua negara
tersebut, sehingga agenda Pelestina dilupakan oleh dunia Islam. Maka dalam
beberapa dekade terakhir kita melihatkan hubungan yang cenderung memanas
antara Iran dan Arab Saudi.
Ketika hubungan antara Arab Saudi dan
Iran memanas pasca-hukuman mati Syaikh Neymar dan tragedi Mina, Presiden
Jokowi mengambil jalan yang tidak biasa, yaitu mendorong agar Iran dan Arab
Saudi kembali ke meja dialog dan tidak terperangkap dalam konflik secara
terbuka.
Syaikh Ali Taskhiri, tokoh ulama di
Iran sangat mengapresiasi langkah yang diambil oleh Presiden Jokowi, karena
yang dibutuhkan oleh dunia Islam adalah persatuan, bukan perpecahan. Tidak
ada pemimpin dunia yang mempunyai pemikiran dalam menyelesaikan masalah pelik
Timur-Tengah dengan mengajak Iran dan Arab Saudi untuk menanggalkan konflik,
sembari mencari jalan dialog seperti yang sudah dilakukan oleh Presiden
Jokowi.
Beberapa langkah besar yang diambil
Presiden Jokowi di atas membuktikan, bahwa ia layak menjadi "imam",
karena langkah yang diambil bukan langkah biasa, melainkan langkah luar
biasa. Salah satunya adalah penghargaan dari Presiden Ghani yang meminta
Presiden Jokowi untuk menjadi imam salat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar