Pancasila
dan Agama-Agama
Imam Shamsi Ali ; Presiden Nusantara Foundation
|
REPUBLIKA,
09 Oktober
2017
Saat ini salah satu hal yang
menjadi perbincangan hangat adalah Pancasila dan agama-agama di Indonesia,
khususnya berkaitan dengan sila pertama dan konsep keesaan Tuhan di
masing-masing agama. Pemicunya adalah tanggapan Eggy Sujana dalam sebuah
sidang tentang RUU Ormas yang memang menjadi polemik panas di kalangan para
aktifis.
Eggy Sujana dalam tanggapannya
terhadap argumentasi pemerintah yang akan melarang ormas yang bertentangan
dengan Pancasila menyatakan bahwa jika ormas dilarang karena bertentangan
dengan pancasila lalu bagaimana dengan organisasi-organisasi keagamaan selain
Islam yang menurutnya tidak sejalan atau tepatnya bertentangan dengan sila
pertama Pancasila? Apakah pemerintah akan membubarkan oeganisasi-organisasi
agama yang memiliki konsep ketuhanan yang “dianggap” bertentangan dengan sila
Ketuhanan yang Maha Esa?
Perbincangan ini kemudian
menjadi semakin hangat di kalangan internal umat Islam ketika Imam Besar
masjid Istiqlal, Prof Dr Nazaruddin Umar, menyampaikan opini bahwa konsep
trinitas Kristen itu dapat dijelaskan dari pandangan tauhid Islam. Intinya,
kira-kira bahwa konsep ketuhanan umat lain itu sesungguhnya sejalan dengan
konsep ketuhanan Islam.
Polemik semakin menjadi-jadi
dengan opini ini. Apalagi, dalam posisi beliau sebagai Imam Besar masjid
Istiqlal dan juga rektor Lembaga Ilmu Alquran Jakarta. Pandangan demi
pandangan berseliweran dimana-mana. Ada yang dewasa, ada yang
kekanak-kanakan, ada yang rasional, dan banyak pula yang emosional. Bahkan
orang yang belum tentu pernah membaca buku-buku referensi Islam dengan pongah
mengatakan jika Imam Nazaruddin Umar ini kurang referensi.
Dua titik permasalahan
Saya melihat bahwa
masing-masing cenderung memahami pancasila berdasarkan penafsiran golongan
(agama) masing-masing. Saya melihatnya bahwa memang di situlah arah pemikiran
para pencetusnya, yang memang mayoritasnya adalah para kiai dan ulama.
Bersama-sama dengan Bung Karno mereka merumuskan Pancasila ini untuk dipahami
atau ditafsirkan berdasarkan arah keyakinan agama masing-masing.
Hal ini menjadi penting sebab
sejak awal pencetusannya bangsa Indonesia sudah hidup dalam keragaman yang
luar biasa. Baik secara agama, budaya maupun ras dan etnis. Bahkan, di luar
agama-agama formal yang diakui oleh negara, ada keyakinan-keyakinan yang
banyak dengan konsep teologis masing-masing.
Dan karenanya memang kurang tepat
untuk menyalahkan kelompok agama tertentu, atau tepatnya menuduhnya
bertentangan dengan Pancasila dengan memakai kacamata “penafsiran agama
kita”. Dalam pandangan Islam, sekali lagi dalam pandangan Islam, konsep
ketuhanan Kristiani dengan trinitas tidak sejalan dengan konsep keesaan Tuhan
(tauhid) dalam Islam. Sehingga, sudah pasti dalam pendangan umat Islam, hal
itu tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila. Tapi, sekali lagi, itu dalam
pandangan Islam.
Masalahnya, apakah kita umat
Islam punya otoritas tunggal dalam menafsirkan arti Ketuhanan yang Maha Esa
berdasarkan tauhid yang kita yakini? Atau biarkanlah kelompok-kelompok lain
menafsirkannya sesuai dengan pemahaman agama yang mereka yakini?
Hal lain yang juga menjadi
masalah adalah bahwa dalam memahami konsep keesaan Tuhan Islam mengajarkannya
dalam tiga aspek. Pertama adalah aspek ketuhanan itu sendiri yang lebih
dikenal dengan “tauhid rububiyah”. Kedua adalah aspek sifat atau karakter
Tuhan yang dikenal dengan “tauhid asma was-sifat”. Dan ketiga adalah aspek
penyembahan atau ibadah yang lazim dikenal dengan “tauhid ubudiyah atau
uluhiyah”.
Yang pasti adalah bahwa Islam
memang mengakui berdasarkan sejarah keyakinan orang-orang musyrik bahwa semua
manusia itu, apapun bentuk penyembahannya ternyata yakin kepada Tuhan yang
satu. “Wa lain sa-altahum man khalaqassamaqati wal-ardh..layaqukunna Allah”.
Bahwa orang-orang Musyrik Arab yang ketika menyembah ratusan patung-patung
sekalipun yakin bahwa secara rububiyah hanya ada satu Tuhan.
Permasalahannya kemudian
adalah, dan ini inti kesalahan dalam pandangan Islam, kalaupun mereka yakin
bahwa ada satu Tuhan, tapi mereka masih juga mengaitkan beberapa sifat
makhluk kepada Tuhan. Dan yang paling parah mereka mengambil
perantara-perantara-perantara antara diri mereka dan Tuhan yang (semestinya)
tunggal dalam penyembahan.
Maka, sebagai bangsa dengan
pancasila sebagai asas dalam bernegara, harusnya konsensus itu adalah
konsensus kebangsaan. Bukan konsensus keagamaan. Sebab sampai kapan pun
agama-agama tidak akan pernah disatukan dalam konsensus kemanusiaan. Akan ada
perbedaan-perbedaan, bahkan dalam prinsip sekalipun. Tapi, apakah dengan itu
anak-anak bangsa ini akan saling “meniadakan” (menihilkan)?
Di sinilah kemudian dalam
pandangan saya pentingnya mendudukan masalah pada tempatnya. Sebagai orang
Islam dengan segala perbedaan dengan teman-teman sebangsa dari agama dan
keyakinan lain, saya tidak perlu menuduhnya bertentangan dengan pancasila.
Toh mereka bisa memahami arti ketuhanan yang maha esa itu berdasarkan agama
dan keyakinan mereka. Tapi di sisi lain maafkan kalau dalam pandangan kami
umat Islam konsep keyakinan anda itu berdasarkan “penafsiran ketuhanan agama”
kami tidak sesuai. Tapi itu kan dari sudut pandang agama kami.
Akhirnya dengan segala hormat
saya kepada guru saya, orang yang saya sangat hormati karena ilmu dan
akhlaqnya, saya menyatakan tidak setuju dengan penafsiran beliau tentang
trinitas itu. Saya berani mengatakan demikian karena saya sudah terlalu
sering berdialog langsung dengan teman-teman kristiani. Dan hingga detik ini
pun penafsiran seperti yang disampaikan oleh Prof Dr Naazaruddin Umar itu
hanya penafsiran pinggiran. Justeru mainstream Kristiani memang mengakui
adanya tiga tuhan yang masing-masing pada dirinya adalah berdiri sendiri dan
sempurna. Namun demikian, mereka tetap mengaku jika mereka percaya kepada
keesaan tuhan atau monoteisme.
Dan karenanya, sikap yang
terbaik sekaligus adil dan bijaksana adalah serahkanlah kepada masing-masing
pemeluk agama itu untuk menafsirkan pancasila sesuai dengan pemahaman agama
dan keyakinan masing-masing. Bahkan, pemerintah sesungguhnya tidak punya
otoritas untuk menafsirkan pancasila berdasarkan pemahaman atau penafsirannya
sendiri.
Dan ini juga bagi saya yang
harusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentapkan sebuah UU atau
aturan tentang ormas di negara ini. Selama ormas itu mengakui Pancasila
sebagai dasar dalam menjalankan kehidupan bernegara, terlepas dari pemahaman
dan penafsirannya, seharusnya dibiarkan bahkan didukung. Sebab, ketika
pemerintah cenderung memaksakan penafsirannya maka rentang akan terbentuk
“kediktatoran” dalam bernegara.
Akhirnya, mari kita membangun
wawasan dan karakter dalam berbangsa yang lebih dewasa, luwas dan bijaksana.
Bahwa keragaman adalah “berkah” dan karenanya harus dirangkul dan dihormati.
Tapi, semua kita harus memberikan jaminan bahwa keragaman itu juga jangan
sampai dibalik menjadi senjata untuk memporakporandakan Negara Kesatuan
Republik Indonesia kita tercinta. Insya Allah, Amin! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar