Malu
Disebut Politisi
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN
SINDO, 14 Oktober 2017
“Sedang sarapan di Hotel Four
Points Medan tiba-tiba ada yang menyalami, ‘Wah, tokoh politisi kita,’
katanya. Entah mengapa saya malu disebut politisi.”
Itulah cuitan pagi pertama saya, Kamis (12/7/17) dua hari
lalu. Saat itu saya sedang berada di Medan, menginap di Hotel Four Points,
dan pada saat breakfast saya
didatangi banyak orang yang menyapa dan meminta berfoto. Nah di antara mereka
yang menyapa saya itu ada yang mengatakan, “Wah, tokoh politisi kita.”
Maka setelah masuk kekamar, saya share cuitan di atas ke akun Twitter saya. Karena untuk setiap
cuitan hanya dijatah dengan 140 huruf, penjelasannya saya jadikan cuitan
kedua: “Saya pernah jadi politisi dan
bangga sebagai politisi. Tapi entah mengapa, sekarang ini kalau disebut tokoh
politisi kok malu. Mungkin saya baper saja.”
Cuitan saya itu mendapat respons dari kawan baik saya yang
kini menjadi ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada yang bercuit, “Soekarno-Hatta pun politisi. Banyak
akademisi, aktivis, dan media merendahkannya. Pada hal banyak yang bertingkah
sebagai politisi.”
Cuitan Aidul seakan menegaskan pendapat saya bahwa menjadi
politisi tidaklah jelek dan tidak perlu merasa malu karena tokoh-tokoh besar
seperti Soekarno, Hatta, Sahrir yang dikenal sebagai pahlawan bangsa itu
adalah juga politisi. Sebenarnya dari dua cuitan saya pun sudah jelas bahwa
kita tidak perlu takut atau malu menjadi politisi.
Yang saya ungkapkan dalam cuitan itu adalah adanya rasa
malu bagi saya kalau disebut politisi sekarang dan dalam lingkup arti
tertentu seba gaimana dipahami oleh orang awam. Makanya saya menulis bahwa
dulu saya pernah men jadi politisi dan bangga men jadi politisi, tetapi
sekarang kalau disebut politisi terbawa perasaan (baper) dan malu.
Melalui kolom di koran ini saya juga pernah menulis bahwa
berpolitik itu adalah fitrah alias keniscayaan. Negara adalah organisasi
politik tertinggi yang dimiliki suatu bangsa sehingga setiap warganya
tentulah ikut kegiatan politik. Deliar Noer mengatakan bahwa apa pun sikap
warga negara terhadap kontes politik, mereka adalah berpolitik juga.
Mendukung tokoh atau kelompok politik tertentu adalah
berpolitik, beroposisi terhadap tokoh atau kelompok politik tertentu adalah
berpolitik, bahkan menyatakan netral dan tidak ikut mendukung atau pun
beroposisi adalah juga berpolitik. Mengapa? Karena setiap warga negara, yang
mendukung, menolak atau beroposisi dan bersikap tidak ikut-ikutan, tetaplah
akan terikat terhadap kebijakan atau keputusan yang diambil oleh pemenang
kontes politik.
Gus Dur pernah mengatakan bahwa ormas sosial keagamaan pun
sebenarnya melakukan kegiatan politik meskipun tidak melalui partai politik.
Jika politik diartikan sebagai policy atau kebijakan negara, ketika ormas
seperti NU dan Muhammadiyah menyatakan petisi tentang pajak, perjudian,
korupsi, perlindungan HAM, dan lain-lain, berati hal itu sudah merupakan
kegiatan politik alis upaya menilai dan meluruskan policy atau kebijakan
negara.
Dengan demikian politik tidak harus selalu diartikan
kotor. Sebab selain banyak orang yang berpolitik dengan baik, pada dasarnya
politik itu tidak bisa dihindari dan menjadi alat untuk menentukan arah
perjalanan negara.
Ketika meluncurkan buku biografinya, politisi senior dari
PDIP Sabam Sirait mengatakan bahwa politik itu suci karena ia merupakan
sarana paling efektif untuk membangun negara secara baik. Yang kotor itu,
kata Sabam, adalah sebagian dari pelaku-pelakunya. “Banyak, kok, politisi yang baik dan bisa dibanggakan,” sebutnya.
Kalau dari khazanah Islam, perlunya politik dalam arti
mengendalikan kekuasaan tersebut dikonfirmasi oleh Imam Al- Ghazali, penulis
kitab Al-Ihya al-Ulum al-Dien yang terkenal itu. Sang hujatul Islam
Al-Ghazali mengatakan bahwa memperjuangkan keluhuran ajaran agama dan
memiliki kekuasaan politik itu adalah saudara kembar (al dien wa al sulthaan taw’amaan).
Anda tidak akan bisa memperjuangkan keluhuran nilai-nilai
agama dengan baik jika tidak punya kekuasaan politik dan Anda akan sesat
serta zalim saat punya kekuasaan politik jika tidak dibimbing oleh
nilai-nilai luhur agama. Makna cuitan saya bahwa saya merasa (baper) malu
jika di sebut politisi, itu hanya terkait dengan situasi politik kita
sekarang dan dalam arti tertentu.
Dalam arti tertentu yang banyak dipahami oleh publik
sekarang ini politisi diidentikkan dengan tokoh-tokoh partai politik dan
anggota Dewan Perwakilan Perwakilan Rakyat (DPR). Itulah pengertian orang
awam tentang politisi. Sekarang ini banyak tokoh politik dan anggota DPR yang
terlibat atau bahkan menjadi biang korupsi meskipun sangat banyak juga yang
bersih.
Semua partai politik yang memiliki kursi atau wakil di DPR
periode sekarang ini sudah pernah punya wakil juga di penjara karena korupsi.
Kalau ada yang bertanya secara spontan, siapa nama dari parpol anu yang
korupsi, saya bisa menjawabnya dengan cepat. Masyarakat juga melihat bahwa
otak dan pelaku-pelaku korupsi didominasi politisi.
Nah, dalam konteks ini sajalah saya mengatakan “merasa
malu” jika disebut politisi. Konteks yang membawa saya baper (malu) itu pula
yang pernah dirasakan dan diekspresikan oleh Muhammad Abduh melalui ta’awwudz (doa mohon dihindarkan).
Abduh sang pembaru (mujadid) Islam itu ber-ta’awwudz, “Audzu billahi minas siyaasati was
siyaasiyyien (aku berlindung kepada
Allah dari bobroknya politik dan politisi).” Ta’awwudz yang umum
berbunyi, a udzu billahi minas
syaithaanir rajiem (aku berlindung
kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk). Jadi politik dan politisi
busuk itu disamakan dengan setan yang terkutuk. Itu menurut Muhammad Abduh,
lho. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar