Melawan
Komunikasi Bisu
Benni Setiawan ; Dosen ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Sosial
dan P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta; Peneliti Maarif Institute for Culture and
Humanity
|
JAWA
POS, 03
April 2017
KEKERASAN di lumbung pendidikan kembali terjadi. KWN, 15,
siswa SMA Taruna Nusantara Magelang, ditemukan tidak bernyawa di Barak G 17
Kamar 2-B, 31 Maret 2017. Hasil penyelidikan sementara, KWN mengalami luka
tusuk di beberapa bagian tubuh. Sangat mungkin dia mendapat tikaman senjata tajam,
semacam pisau.
Sebelumnya, kabar duka juga datang dari Jogjakarta. Aksi
klithih di Jogjakarta memakan korban. Seorang siswa sekolah menengah pertama
(SMP) IBF, 17, mengembuskan nyawa terakhir di Jalan Kenari, Minggu (12/3).
Kematian IBF seakan menambah daftar panjang korban klithih
di Jogjakarta. Sebelumnya AWA, 16, siswa sekolah menengah atas (SMA) di
Jogjakarta juga menjadi korban aksi brutal itu.
Jogjakarta juga pernah menjadi sorotan karena kematian
mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII). Kematian mahasiswa dalam
pendidikan dasar Mapala Unisi itu menyeret sejumlah nama senior dan alumnus
UII. Bahkan, rektor UII pun ikut bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Dia meletakkan jabatan sebagai pertanggungjawaban moral sebagai seorang pemimpin.
Apa yang terjadi saat ini seakan terus mencoreng marwah
pendidikan. Marwah pendidikan tercoreng oleh aksi anti kemanusiaan. Padahal,
napas pendidikan adalah rasa saling menghormati, cinta damai, dan humanis.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana menyudahi masalah ini?
Komunikasi Bisu Meminjam istilah Hannah Arendt (filsuf
Jerman keturunan Yahudi), kekerasan adalah bentuk komunikasi bisu. Sebuah
bentuk ketidakmampuan seseorang dalam mengungkapkan sebuah ide dan gagasan
dalam dirinya. Seseorang dalam model komunikasi itu hanya dapat melampiaskan
segala sesuatu dengan kekesalan. Kekesalan paling mudah adalah melakukan
umpatan kasar dan kekerasan fisik.
Komunikasi bisu hanya dilakukan orang-orang yang tidak
mampu memahami dirinya. Dalam konsep filsafat, misalnya, seseorang yang belum
selesai dengan dirinya hanya akan terus menebar ancaman bagi orang lain. Hal
itu karena mereka akan membawa aura negatif dan permusuhan dalam menjalin
persahabatan dengan banyak orang. Orang-orang seperti itu harus menemukan
dirinya, baru kemudian dapat terlepas dari belenggu itu.
Lebih lanjut, seseorang yang terjerat dalam komunikasi
bisu menjadikan diri sebagai budak amarah. dia memandang sesuatu hanya dapat
diselesaikan dengan amarah. Amarahlah yang memuaskan dirinya. Dalam benaknya,
melalui hal itu, segala sesuatu dapat selesai.
Potret tersebut hanya terdapat pada seseorang yang tak
berpendidikan.
Seseorang yang berpendidikan selayaknya mampu menampilkan
sikap dan sifat yang semeleh, andap ashor, dan tepa selira (mampu menghargai
orang lain). Orang yang berpendidikan selayaknya menjiwai diri sebagai insan
mulia. Mereka yang selalu haus akan ilmu pengetahuan menganggap orang lain
sebagai guru dan semua tempat adalah sekolah. Sebagaimana petuah bijak Ki
Hajar Dewantara.
Namun, spirit dan nalar itu tampaknya hilang dalam rahim
pendidikan nasional. Pelaku – klithih, atas nama senioritas, pendisiplinan,
latihan fisik, dan seterusnya– kekerasan telah kehilangan kesejatian sebagai
seorang manusia merdeka. Mereka telah terkungkung oleh nafsu buas layaknya
hewan –dan mungkin lebih rendah dari itu– dalam proses penghargaan dan sikap
kepada orang lain.
Komunikasi Profetik Karena itu, humanisasi menjadi kata
kunci dalam proses ini. Tanpa pemanusiaan dan penghormatan terhadap
perbedaan, bakat, minat, dan potensi yang dimiliki, ruang pendidikan hanya
akan menjadi ”arena gulat bebas”. Ruang pendidikan yang mulia berubah menjadi
sesuatu yang menakutkan dan jauh dari keadaban.
Pendidik (guru/dosen dan juga masyarakat) perlu melawan
komunikasi bisu dengan ”komunikasi profetik”. Yaitu, potret hubungan antar
sesama yang mendasarkan pada rasa saling menghargai. Tidak ada yang dominan
dalam proses hidup. Seseorang pasti mempunyai keterbatasan dan kelebihan
sendiri. Karena itu, ruang belajar perlu dikelola dengan menghargai
keragaman. Dengan demikian, yang muncul adalah proses pendidikan yang
bersumber dari potensi yang ada, bukan dominan pada pendidik.
Komunikasi profetik juga mendasarkan pada sikap dan
hubungan yang sama antara ucapan dan tindakan. Komunikasi yang tidak sekadar
didasarkan pada gerak bibir semata. Namun, pada proses jiwa sosial yang
melebur dari kehidupan penuh penghormatan dan harmoni.
Saat pendidikan telah mewujud seperti itu, komunikasi bisu
akan sirna dengan sendirinya. Sebab, ia telah terkalahkan oleh proses
pemanusiaan. Sebuah sikap dan maqam luhur dalam proses pendidikan.
Pada akhirnya, semoga kematian KWN, AWA, dan IBF
mengakhiri peristiwa buruk kekerasan di rahim pendidikan. Perlu rekayasa agar
kejadian serupa tidak terulang, yaitu dengan menebarkan sikap humanis dalam
pendidikan. Melalui itu, kekerasan akan lumpuh. Pasalnya, setiap orang
menghargai keberadaan orang lain dan memahami peran serta posisi masingmasing
dalam membangun peradaban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar