Selasa, 08 Maret 2016

Waktu

Waktu

Samuel Mulia ;   Penulis Kolom “PARODI’ Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 06 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

“Apa kabar? Sudah lama enggak jumpa. Sehat, kan?” Demikian kira-kira pesan yang saya terima dari seorang dokter di suatu Selasa pagi yang berhujan. Awalnya saya berpikir ia akan memberi tahu satu berita penting yang mungkin akan membuat saya deg-degan. Ternyata, pak dokter, demikian saya memanggilnya, hanya ingin menanyakan keadaan saya saja.

Egois dan basa-basi

Tetapi, selang beberapa menit, suara nurani saya bersuara. Kapan kamu terakhir menanyakan kabar pak dokter? Suara yang datang dari nurani itu acap kali membuat jantung tak hanya deg-degan, tetapi juga nyaris lepas.

Saya tak pernah menyediakan waktu khusus hanya untuk menanyakan kabar ataupun keadaan si pak dokter. Biasanya, saya hanya menyematkan kalimat apa kabar sebagai kalimat pembuka sebelum saya menanyakan nasihatnya tentang penyakit yang sedang saya alami. Sebuah kalimat penuh basa-basi.

Setelah saya mendapatkan apa yang saya inginkan, maka ada kalimat penutup sebagai sebuah ungkapan terima kasih. Itu pun sebuah ungkapan basa-basi. Jadi, saya memulai dengan basa-basi dan mengakhiri dengan basa-basi. Saya ini pada dasarnya egois dan suka basa-basi.

Pada 25 Desember lalu, ketika orang merayakan hari Natal bersama yang dicintai, saya berada dalam kesendirian di rumah. Tak ada acara ataupun kegiatan yang saya lakukan. Kira-kira pukul 9 pagi, seorang teman yang tak merayakan Natal mengirimkan pesan. ”Mas, yuk, aku ajak kamu makan siang sama pacarku. Kamu enggak ke mana-mana, kan?”

Kebaikan hati teman saya dan pacarnya itu sudah lama saya lupakan, sampai pada suatu pagi berhujan itu, saya diingatkan kembali tentang kebaikan mereka di tengah kegulanaan saya pada hari Natal. Jadi, pada Selasa pagi berhujan itu, saya diteriaki oleh nurani dua kali untuk dua kasus. Anda bisa membayangkan bukan, kalau teriaknya sudah sumbang dan keras pula.

Gara-gara teriakan keras dan sumbang itu, saya bermaksud mengajukan pertanyaan kepada Anda sekalian. Saya mohon maaf sekiranya dua pertanyaan berikut ini terdengar sumbang. Pertama. Kapan terakhir Anda meluangkan waktu khusus, hanya untuk menanyakan kabar seseorang atau beberapa orang yang jarang Anda jumpai atau malah sama sekali tak pernah dijumpai?

Kedua. Kalau Anda pernah melakukan aktivitas kebaikan itu, apakah Anda melakukannya seperti saya, hanya membutuhkan sesuatu dari mereka yang jarang atau tak pernah berniat Anda jumpai? Apakah Anda melakukan sebuah kebaikan yang penuh basa-basi?

Dua menit saja

Buat saya, salah satu yang paling berharga di dunia itu adalah memiliki waktu. Karena merasa berharga, maka saya menghabiskannya nyaris untuk diri sendiri. Sayakeblinger dengan yang berharga itu, kemudian menjadi tidak peka pada kebutuhan orang lain karena asyik memenuhi kebutuhan diri sendiri.

Salah satu sahabat saya tinggal di ”Pulau Dewata”. Di tengah kesibukannya sebagai seorang public relations, ia menyediakan waktu di akhir pekan untuk belajar bahasa isyarat karena ia bermaksud membantu mereka yang tunarungu. Selain itu, ia juga menyediakan waktu sebagai seorang relawan dan bertindak sebagai fasilitator untuk menolong proses kesembuhan bagi korban pelanggaran hak asasi di daerah konflik.

Pada Selasa pagi berhujan itu, setelah dinyanyikan lagu sumbang yang kencang dan menyetrum, saya jadi berpikir. Kebaikan yang ditunjukkan mereka bukan dalam bentuk menanyakan apa kabar, mengajak makan siang, atau menjadi sukarelawan buat yang tak mendengar dan yang dizalimi.

Kebaikan mereka buat saya ada dalam bentuk menyisihkan waktu untuk orang lain yang bukan teman, yang bukan keluarga, dan yang bukan darah daging sendiri, di tengah sejuta kerepotan hidup yang juga mereka alami.

Waktu yang berharga itu tidak dihabiskan untuk mencari kekayaan tiada henti, bergosip, berjudi, berselingkuh, eksis di sosial media, jalan-jalan ke mal dari pagi hingga petang, dan menghabiskan waktu mencari cara untuk menjatuhkan orang.

Mereka mendepositokan waktu untuk kebahagiaan orang lain. Karena sejujurnya di hari saya merasa kesepian yang sangat, ajakan untuk makan siang di hari Natal itu seperti sebuah pelipur lara.

Bayangkan, kalau saja saya ini bisa menyediakan waktu dua menit saja, satu minggu dua kali saja, untuk dua orang saja, maka Anda bisa menolong saya untuk menghitung, berapa kali dalam setahun saya bisa membuat orang lain tidak lara, tidak merasa kesepian, merasa dihargai, bisa curhat dan bisa naik kelas?

Bukankah saya juga merasa bersukacita dan dihargai ketika ada yang menyisihkan waktu yang berharga dalam bentuk mengirim pesan sesederhana apa kabar, misalnya? Nah, kalau demikian adanya, bukankah dapat dibayangkan orang lain mengalami perasaan yang sama kalau saya mau menyisihkan waktu untuk mereka?

Menyisihkan waktu untuk orang lain itu sebuah pembelajaran bahwa kebahagiaan itu ternyata bisa diwujudkan karena memberi dan bukan semata-mata karena menyimpan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar