Rabu, 02 Maret 2016

Transisi Agraria dan RUU Pertanahan

Transisi Agraria dan RUU Pertanahan

Galih Andreanto ;   Departemen Kajian dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
                                                       KOMPAS, 02 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kinerja para legislator untuk mempercepat proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Pertanahan patut diapresiasi. Namun, selain kecepatan, kebutuhan akan kecermatan dan ketelitian dibutuhkan dalam pembahasan RUU ini.

Pada 11 Februari 2016, Rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR menyetujui draf RUU untuk dibahas di rapat paripurna. Isi draf RUU yang beredar di rapat Baleg sebagai bahan terkini pengambilan pendapat mini fraksi-fraksi dapat memberi petunjuk bagi masyarakat membaca arah transisi agraria nasional yang hendak diwujudkan.

Semangat untuk memosisikan RUU Pertanahan sebagai penerjemahan atau pelengkap UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA 1960) menjadi kemajuan bagi perkembangan dinamika kebijakan agraria di Tanah Air. Posisi RUU Pertanahan sebagai lex specialis dari UUPA 1960 memupus keraguan para pegiat agraria dan serikat-serikat petani yang mulanya mencurigai kelahiran UU Pertanahan akan menggantikan UUPA 1960. Para pegiat agraria selama ini meyakini bahwa UUPA 1960 adalah benteng konstitusi yang kokoh bagi pelaksanaan reforma agraria sejati yang selama ini dinanti-nanti.

Kemajuan lainnya adalah upaya harmonisasi dan sinkronisasi peraturan sektoral yang menginduk pada UUPA sebagai implementasi TAP MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. UU Pertanahan menjadi simpul bagi upaya sinkronisasi berbagai regulasi sektoral yang selama ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan UUPA 1960. Titik maju yang tak kalah pokok adalah mengenai Hak Menguasai Negara yang dimaknai sebagai kewenangan untuk membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola dan mengawasi dan bukan untuk memiliki tanah. Hal ini sehaluan dengan Pasal 2 ayat 2 serta Penjelasan Pasal 44 dan 45 UUPA 1960.

RUU Pertanahan menempati produk legislasi amat strategis. Regulasi ini hendaknya mengatur seluruh bidang tanah atau daratan di Republik Indonesia, baik yang sudah ada haknya maupun yang belum, baik dalam kawasan hutan maupun non-kawasan hutan serta kawasan budidaya ataupun non-budidaya. Namun, dalam bab pendaftaran tanah, kawasan hutan dan non-hutan luput dari sasaran.

Urgensi kelahiran UU ini dimaksudkan untuk meniadakan ketimpangan penguasaan tanah yang selama ini melahirkan ketidakadilan penguasaan tanah, konflik agraria, hingga kepastian hukum dan investasi di lapangan agraria dan tentu saja berkaitan dengan ketersediaan pangan domestik. UU Pertanahan juga akan melahirkan sistem hukum pertanahan yang membentuk wajah administrasi pertanahan yang hendak dibentuk. Wajar jika UU ini dibahas dengan ketelitian tingkat tinggi.

Penataan ulang struktur penguasaan tanah

Dalam RUU Pertanahan, reforma agraria diatur dalam bab tersendiri, yaitu bab V, pasal 41 sampai 50. Patut dicermati dalam bab ini adalah tanah hanya sebagai salah satu obyek reforma agraria karena agraria secara hakiki tidak dimaknai hanya sebatas mengenai tanah, tetapi juga mencakup seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya-seperti termaktub dalam UUPA 1960. Jadi, jika hendak menghindari kerancuan istilah, lebih tepat jika bab V dinamakan "Distribusi Tanah" atau "Redistribusi Tanah".

Penataan ulang struktur penguasaan tanah akan memengaruhi sistem ekonomi yang berlaku berdasarkan penguasaan alat produksi berupa tanah. UU ini harus memastikan secara hukum terjadi keadilan sosial dan ekonomi yang diterima oleh kelompok marjinal, seperti petani, buruh tani, dan petani gurem berbasis pada penguasaan tanah. Kelompok marjinal terebut mestinya sebagai penerima manfaat dari redistribusi tanah. Artinya, UU ini tak mempersempit penerima obyek distribusi tanah yang hanya individual semata, tetapi harus mencakup organisasi petani, badan usaha petani, dan koperasi sebagai badan usaha kolektif.

UU ini harus menjamin rekonsentrasi mengarah pada laju yang benar, yaitu dari segelintir orang yang menguasai banyak luasan areal ke arah petani tak bertanah, yang menguasai tanah sedikit dan atau buruh tani, bukan melaju ke arah sebaliknya.  Maka, soal pembatasan maksimum-minimum kepemilikan HGU swasta harus diatur ukurannya agar berdasar pada perbedaan kepadatan penduduk, luasan wilayah, termasuk ketimpangan agraria yang terjadi di tiap provinsi. Jangan semua dianggap sama rata. Yang tak kalah penting, dalam RUU Pertanahan tak disebutkan jangka waktu HGU berlaku. Pengaturan mengenai dimensi waktu HGU adalah untuk mencegah monopoli dan eksploitasi berlebihan terhadap sumber-sumber agraria.

Obyek reforma agraria harus menyasar tanah-tanah kelebihan maksimum, termasuk terhadap monopoli penguasaan hutan.  Data obyek tanah bagi redistribusi tanah didapat dari hasil pendaftaran tanah. Melalui pendaftaran tanah akan teridentifikasi dengan valid, mana obyek reform dan subyek reform yang tepat. Maka, seluruh wilayah daratan harus menjadi cakupan obyek pendaftaran tanah dalam RUU ini.

Kehadiran pengadilan pertanahan senapas dengan identifikasi ketimpangan struktur penguasaan tanah. Dari pendaftaran tanah akan lahir pihak-pihak yang tak menerima tanahnya diambil alih oleh negara, maka masalah ini akan ditempatkan di pengadilan pertanahan. Pengadilan pertanahan hendaknya tidak terpaku sebatas asas teknis, yuridis formal semata. Aspek-aspek tersebut selama ini justru melemahkan petani tak bertanah, petani gurem, petani buruh, dan petani yang mengklaim kembali dan mengokupasi lahan.

Demokratisasi

Jika negara beritikad kuat menjalankan lebih dari sekadar redistribusi tanah atau menjalankan reforma agraria, banyak aspek kompleks yang mesti diatur dalam regulasi khusus tersendiri di luar UU Pertanahan. Reforma agraria yang sejati dimaksudkan untuk membongkar krisis agraria yang akut. Pengaturan relasi yang mesti diatur oleh negara, antara lain, relasi penguasaan dan relasi hubungan ekonomis antara penguasa sumber agraria dengan buruh dan antarkelas sosial yang beraktivitas di atasnya. Kompleksitas kelembagaan yang selama ini berwenang di lapangan agraria mendorong reforma agraria secara khusus diatur dalam regulasi lain. Kompleksitas khusus reforma agraria meliputi obyek reforma agraria dalam kawasan hutan, problem ekologis, krisis pedesaan, proses produksi dan penciptaan nilai lebih dari penghidupan sumber agraria, dan distribusi pembagian pemanfaatan dan pengusahaannya, hingga diferensiasi kelas pedesaan, penatagunaan sumber agraria, optimalisasi pengusahaan sumber agraria, dan penguatan badan usaha.

Reforma agraria sejati yang dinantikan adalah terjadinya demokratisasi dalam relasi produksi, distribusi, dan konsumsi yang ditata oleh negara. Terjadi distribusi yang adil dari keuntungan ekonomi dan politik dari penguasaan sumber agraria sehingga tatanan masyarakat yang adil dan makmur itu mewujud nyata. Reforma agraria juga akan menjawab relasi antarsektor terkait dengan lembaga yang berwenang atas pengaturan tanah dan relasi di atasnya atau dalam artian lintas kementerian/lembaga. Topik-topik bahasan lintas sektor yang kompleks inilah yang membuat reforma agraria mesti dipimpin langsung oleh presiden.

Jenis reforma agraria akan menentukan transisi agraria dan berimplikasi pada kelas masyarakat yang akan terwujud. Jika DPR dan pemerintah bersikukuh menempatkan semata-mata individu sebagai subyek reform, maka akan tetap mempertahankan pertanian skala kecil atau badan usaha skala kecil karena faktor luasan lahan, tenaga kerja, dan produktivitas. Transisi agraria adalah peralihan di dalam proses transformasi agraria atau proses peralihan dalam proses perubahan sosial ekonomi suatu tatanan masyarakat. Relasi produksi di atas obyek reforma agraria yang berbasis petani kecil, penyakapan dan industri kecil mengarahkan kepada sistem masyarakat prakapitalis.

Asumsi dasar problem produktivitas pertanian kita adalah banyak pertanian skala kecil yang mandek dengan banyak tenaga kerja sehingga produktivitas lahan mesti ditingkatkan ketimbang produktivitas tenaga kerja. Faktanya adalah petani tidak mampu mengejar percepatan pertumbuhan kebutuhan ekonomi jadi cenderung melepas tanah. Pembagian tanah skala kecil akan membuat petani tidak mampu bertarung bebas.

Faktor penentu keberhasilan yang tak kalah penting adalah pada fase pasca program distribusi tanah perlu dipikirkan secara serius kegiatan ekonomi di atas lahan yang dibagikan. Unit produksi menentukan masyarakat seperti apa yang akan dibentuk. Koperasi sebagai unit produksi sekaligus ruang pembesaran unit produksi yang kolektif, modern, dan bernapas gotong royong adalah pilihan rasional kebutuhan industrialisasi pertanian. Jika yang dikehendaki pemerintah adalah pembentukan ketersediaan pasar tanah, maka sudah tepat program sertifikasi dan komodifikasi tanah dijalankan dalam program distribusi tanah oleh pemerintah.

Keadilan sosial dan kemanusiaan hendaknya menjadi bintang penunjuk arah bagi seluruh lapisan bangsa, khususnya bagi legislator sebagai perumus UU Pertanahan. Model pelaksanaan reforma agraria yang akan dijalankan akan memengaruhi relasi sosio-ekonomi di atas lapangan agraria. Semoga relasi sosio-ekonomis itu sejalan dengan pembentukan tatanan masyarakat yang adil dan makmur melalui pengaturan relasi yang menjamin adanya keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar