Revolusi Spiritual
Jakob Sumardjo ; Budayawan
|
KOMPAS,
29 Oktober 2015
Manusia adalah tindakannya. Perbuatan manusialah yang mengubah
diri dan lingkungan hidupnya, bukan kata-kata dan pikirannya.
Keinginan dan pemikiran tak mengubah kehidupan, kecuali Anda
mewujudkannya dalam tindakan. Anda mungkin menguasai pengetahuan filosofis,
normatif, historis mengenai apa yang baik dan tidak baik. Namun, selama Anda
pendam dalam kepala saja, tak akan ada perubahan, kecuali Anda bertindak dengan
mengajarkannya pada orang lain. Lebih bagus lagi diterjemahkan dalam tingkah
laku.
Lebih baik tahu sedikit mengenai apa yang baik dan tidak baik,
tetapi Anda jalankan pada setiap kegiatan. Perbuatan itulah kata-kata Anda,
ajaran Anda.
Dengan demikian, pikiran dan kata-kata bukan hal utama. Yang
utama justru keinginan, niat, dan tekad yang diwujudkan dalam tindakan.
Masyarakat Jawa menamakannya niat, ilmu, dan laku, sedangkan Sunda
menyebutnya tekad, ucap, lampah. Masyarakat kuno kita menyebutnya hedap, sabda,
bayu: will, mind, power. Itulah tripartit mental manusia.
Bahwa mental semacam itu ada pada manusia, sebenarnya
berkualitas spiritual. Ajaran kuno dalam kitab Sunda, Sewaka Darma,
menyebutkan bahwa tripartit tekad-ucap-lampah itu adalah Sang Hyang Hidup itu
sendiri. Kitab ini menggambarkannya seperti ini: kalau tidak ada penonton,
kalau tidak ada dalang, panggung sunyi sepi ibarat raga tanpa jiwa; lebih
tidak berharga lagi kalau ditinggalkan tekad, ucap, lampah; sama saja
ditinggalkan oleh Sang Hyang Hidup.
Gejala hidup yang utama adalah gerak. Orang Jawa mengatakannya
sebagai wong mati ora obah (orang mati tidak bergerak). Tetapi, Leonardo da
Vinci menimpali bahwa tanpa tenaga (energi) tidak ada gerak. "Dengan
demikian, tenaga adalah esensi spiritual," kata seniman Renaisans yang
serba bisa ini.
Mengacu pada omongan- omongan ini, maka perbuatan manusia
mengandung hakikat spiritual. Dari gerak perbuatanlah manusia diketahui nilai
spiritualnya. Apakah perbuatan itu digerakkan niatnya yang baik atau tidak
baik. Niat baik memproduk perbuatan baik. Meski demikian, niat yang baik
tidak selalu menghasilkan perbuatan baik, kalau pikiran dilibatkan.
Dalam folklor Si Kabayan dikisahkan Si Kabayan sedang dicukur
oleh tukang cukur onder de boom (di
bawah pohon, tukang cukur murah). Si tukang cukur berniat baik, yakni
menghibur langganan dengan bercerita selama mencukur. Ceritanya tentang
matinya Gatotkaca dalam Baratayuda. Kabayan jengkel karena niatnya dicukur
secara cepat dan tak suka dengar cerita. Kata Kabayan: pendekan (ceritanya).
Tetapi, si tukang cukur menangkap maksud itu sebagai: pendekan (potongan
rambutnya). Ketika terakhir kalinya Kabayan membentak: pendekan!!, jawab
tukang cukur: dipendekkan apanya lagi, Kabayan, ini sudah gundul!
Pikiran, kata-kata, bisa menyesatkan. Itu sebabnya, dalam
ruang-ruang pengadilan sering terjadi tragedi: orang tak berbuat salah
dihukum berat, sedangkan yang berbuat jahat malah bebas. Pengadilan adalah
perang kata-kata, adu pikiran, sehingga yang berniat baik justru dikalahkan
oleh yang berniat jahat.
Begitu pula dalam kehidupan politik, terjadi perang kata-kata,
perang argumentasi, yang boleh jadi bertolak dari niat tidak baik.
Keputusannya pun kelak tentu saja tak baik. Pengacara yang baik itu yang bagaimana?
Yang selalu memenangi perkara atau yang niatnya baik membela keadilan? Apakah
niat Anda mewakili rakyat ingin membela kepentingan orang banyak atau karena
gajinya seratus kali lipat gaji PNS? Tidak ada yang menjawab, karena
jawabannya ada di lubuk hati nurani Anda. Spiritual Anda.
Revolusi mental atau revolusi hati nurani? Berbahagialah mereka
yang berkeinginan baik. Di tengah zaman yang materialistik dan hedonistik
ini, keinginan manusia terpusat pada kekayaan dan kenikmatan. Karena negara
tak kunjung mampu mewujudkan kemakmuran rakyatnya sejak kemerdekaan 70 tahun
lampau, maka cara apa saja (pikiran) dapat ditempuh. Cara paling mudah
menduduki jabatan-jabatan negara. Negaralah yang menguasai kekayaan bangsa.
Untuk itulah seruan perlu revolusi mental dan revolusi spiritual
ditujukan. Rakyat tidak perlu revolusi lagi karena hati nurani rakyat itu di
mana pun baik adanya. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Mereka yang mau
menduduki jabatan-jabatan penting negara, atau mereka yang mendapat gaji dari
negara, harus merevolusi mental dan spiritualnya. Yang bisa mengubah secara
total dan radikal mental dan spiritualnya tak lain adalah diri mereka
sendiri.
Sejarah Kekaisaran Tiongkok, sejak dinasti Han sampai Manchu,
menunjukkan: birokrasi pemerintahan yang korup akan menimbulkan pemberontakan
yang didukung rakyat. Rakyat hilang kesabaran menyaksikan tingkah laku
penyelewengan, pemerasan, penyalahgunaan, dan manipulasi birokrasi negara
yang hanya memakmurkan para pejabatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar