Tolikara
Menguji Kita
Ilham Khoiri ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
29 Juli 2015
Hingga kini, insiden kekerasan dan intoleransi di
Tolikara, Papua, saat Idul Fitri, Jumat, 17 Juli, masih terasa mengagetkan.
Pada setiap kasus semacam ini, kita diuji: sejauh mana kita sungguh-sungguh
mengatasi gesekan berlatar belakang perbedaan agama dan keyakinan itu, lantas
mengacu kembali kepada kesepakatan bersama sebagai bangsa Indonesia.
Kita semua tentu prihatin dengan kasus Tolikara, dan masih
menyimpan rasa penasaran. Bagaimana kekerasan itu bisa meletup saat kaum
Muslim sedang menjalankan shalat Idul Fitri setelah sebulan penuh berpuasa
selama Ramadhan? Kenapa massa tiba-tiba menyerang kaum Muslim yang sedang
beribadah, bahkan kemudian membakar kios yang lantas merembet ke masjid
setempat? Bukankah selama ini masyarakat di wilayah itu hidup secara damai.
Penjelasan secara gamblang masih membutuhkan investigasi
mendalam oleh lembaga-lembaga yang berwenang, terutama kepolisian dan Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Namun, ada beberapa keterangan awal
yang bisa dijadikan informasi sementara.
Kepolisian Negara RI, sebagaimana disampaikan Kepala Polri
Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, di Jakarta, Kamis (23/7), mengungkapkan,
peristiwa bermula dari surat edaran yang dikeluarkan Dewan Pekerja Wilayah
Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikara, Papua. Surat itu melarang umat
Islam di daerah itu untuk melaksanakan shalat Idul Fitri. Alasannya, bahwa
saat bersamaan tengah digelar seminar internasional dan Kebaktian Kebangunan
Rohani (KKR) remaja GIDI, 13 sampai 19 Juli.
Sebenarnya Kepala Polres Tolikara dan Bupati Tolikara
Usman Wanimbo telah mendesak agar surat itu dicabut. Namun, saat jemaah
Muslim sedang shalat Idul Fitri, Jumat pagi, massa berdatangan dan meminta
jemaah untuk menghentikan kegiatannya. Kepala polres dan polisi berusaha
menahan massa, tetapi kondisi memanas. Polisi menembakkan peluru ke atas
untuk memperingatkan massa. Namun, massa sulit dikendalikan.
Jemaah Muslim bubar. Ada 12 korban terkena tembakan, dan
satu orang meninggal. Beberapa orang lantas membakar kios yang kemudian
merembet ke masjid. Hingga kini, kepolisian tengah bekerja untuk mengusut
kasus ini.
Usut secara adil
Kita semua berharap, kepolisian bekerja profesional. Buka
kasus Tolikara sesuai fakta yang ada. Jangan ditutup-tutupi, apalagi
dikaburkan. Siapa pun yang bersalah, harus ditindak tegas, adil, dan cermat.
Komnas HAM juga diharapkan segera menuntaskan
investigasinya dan memaparkan hasilnya kepada publik. Hal ini diperlukan agar
masyarakat mengetahui duduk perkara secara jelas, tidak diombang-ambing oleh
isu, apalagi jika isu itu sengaja disebarkan secara tidak benar.
Sembari menunggu proses penyidikan kepolisian dan
investigasi Komnas HAM, kita perlu mendorong agar semua pemangku kepentingan
di Tolikara meneruskan dialog, meresolusi konflik, dan rekonsiliasi. Langkah
itu telah dijalani tak lama setelah insiden meletup. Kita patut apresiasi hal
tersebut.
Bagaimana dengan publik di luar Tolikara? Kita semua,
bangsa Indonesia, ikut mendorong pengusutan hukum dan proses perdamaian.
Setiap elemen bangsa perlu menekankan kesadaran, bahwa bangsa Indonesia
terdiri dari masyarakat yang majemuk dalam suku, agama, ras, budaya, dan
golongan. Ini fitrah atau anugerah yang harus kita terima. Berdasarkan
keberagaman itu, kita perlu membangun kehidupan yang saling menghargai di
tengah perbedaan.
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, adalah filosofi,
dasar, dan konsitusi yang hendaknya terus kita acu dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Konsitusi kita menjamin kebebasan setiap warga negara untuk
memeluk agama dan keyakinan, serta beribadah sesuai agama dan keyakinannya
itu. Negara beserta semua aparatnya dituntut untuk hadir dan menegakkan
konstitusi itu. Jangan biarkan ada kelompok-kelompok, dari manapun asal
kelompok itu, yang hanya ingin hidup sendiri seraya menafikan kelompok lain
yang berbeda.
Sekali lagi, kita semua menginginkan agar kasus Tolikara
dapat ditangani secara lokal sesuai fakta di lapangan. Jangan diperluas, apalagi
dibiarkan menjadi isu liar yang memicu sentimen konflik agama di
wilayah-wilayah lain di Nusantara.
Ingat, bangsa Indonesia ini lahir dari keberagaman, dan
tetap akan hidup, jika kita mampu menjaga toleransi di tengah keberagaman
itu. Kasus Tolikara, dan kasus-kasus lain serupa, adalah ujian bagi kita,
sejauh mana kita mampu menjaga kesepakatan untuk hidup bersama sebagai
bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar