Topeng
Bernama Ijazah
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 05 Juni 2015
Memakai topeng tutup
muka itu punya nilai estetika dan hiburan ketika dilakukan dalam panggung
pertunjukan semisal wayang atau sinetron. Tapi ketika topeng itu tidak sesuai
dengan ukuran muka, akan cepat melelahkan bagi yang mengenakannya.
Kalau dalam tindakan
kriminal, topeng dipakai untuk menutupi dan menyembunyikan wajah aslinya
untuk mengelabui orang lain. Makanya para penjahat sering mengenakan topeng,
misalnya para perampok. Sekarang ini ada fenomena topenggaya baru bernama ijazah
dan titel kesarjanaan.
Pada awalnya titel
sarjana itu sebagai bukti dan indikasi bahwa seseorang telah berhasil
menguasai disiplin keilmuan tertentu sehingga dipercaya memiliki kompetensi
atau keahlian tertentu yang berbasis keilmuan. Lalu yang bersangkutan berhak
menyandang titel kesarjanaan, misalnya saja doktor.
Pada dekade 1970-an,
siapa pun yang berhasil jadi sarjana akan sangat mudah mendapatkan pekerjaan,
khususnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Perlu ditekankan sekali lagi
bahwa ijazah dan titel sarjana adalah sekadar tanda bahwa seseorang telah
menamatkan studi. Yang bernilai autentik itu bukan tandanya berupa selembar
ijazah atau titel yang disandangnya, melainkan kualitas orangnya.
Ketika ada orang
terobsesi dengan ijazah dan titel sarjana yang terpisah dari kualitas
keilmuannya, yang demikian itu tak ubahnya seseorang mengenakan topeng.
Fungsinya mungkin saja untuk mengelabui orang lain sebagai kedok untuk
menutupi wajah aslinya yang ingin disembunyikan atau sengaja memerankan diri
sebagai badut.
Sejak masih mahasiswa
di tahun 1980-an saya sudah mendengar cerita adanya jual beli penyusunan
skripsi di beberapa kota. Tapi waktu itu belum meluas dan terang-terangan
seperti yang terjadi hari-hari ini. Maraknya ijazah palsu masih serumpun
dengan plagiat, mencontek waktu ujian, memalsukan tanda tangan daftar hadir
kuliah, membeli jasa untuk menyusun skripsi, tesis, dan disertasi.
Kesemuanya itu masih
senapas dengan korupsi, menipu orang lain, serta merendahkan martabat
dirinya. Lebih jauh lagi mereka itu telah merusak dunia pendidikan dan
keilmuan. Lebih menyakitkan lagi diberitakan bahwa yang juga menyandang titel
dan memiliki ijazah palsu adalah pejabat negara. Mereka jadi badutbadut yang
menjijikkan dan telah menipu orang lain.
Bahkan juga anggota
keluarganya. Bisakah pemerintah memberantasnya? Jawabnya tentu bisa. Tapi
saya pesimistis mengenai siapa, dengan cara apa, dan berapa lama bisa
diberantas. Alasan saya sederhana saja. Saat ini, sudah ada KPK saja korupsi
masih marak. Kayu gelondongan berkubik-kubik bisa diselundupkan. Dana APBN
ditilap. Dibandingkan dengan semua itu, jual beli jasa agar seseorang
mendapatkan ijazah sarjana tanpa jerih payah menghadiri kuliah dan menulis
skripsi jauh lebih mudah.
Syaratnya,
mengorbankan integritas dan menyediakan uang suap. Wajah dunia pendidikan
memang mengenaskan. Perburuan bocoran soal ujian masih juga terjadi. Ada lagi
manipulasi angka rapor para siswa untuk mendongkrak agar sebuah sekolah dicitrakan
bagus kualitas pembelajarannya. Jangan tanya kualitas dan pemerataan guru
bagus.
Saat ini masih banyak
wilayah yang sangat tertinggal dan sekarang masyarakat disuguhi berita
beredarnya ijazah palsu yang sesungguhnya sudah lama berlangsung. Ketika
ijazah tadi dijadikan modal masuk PNS ataupun promosi jabatan, bisa
dibayangkan betapa rapuh dan busuk tubuh birokrasi kita.
Banyaknya
jumlah penduduk dan universitas ternyata belum sanggup bersaing dengan
bangsa-bangsa lain dalam pengembangan dan inovasi sains dan teknologi modern.
Yang justru heboh adalah pertikaian politik dan ijazah palsu. Memalukan dan
menyedihkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar