Kamis, 04 Juni 2015

Sepak Bola dan Tata Kelola Dunia

Sepak Bola dan Tata Kelola Dunia

Dinna Wisnu  ;   Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
KORAN SINDO, 03 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Kita menghadapi ragam persoalan internasional yang serius dalam beberapa bulan terakhir, mulai dari masalah hukuman mati terpidana narkoba, hukuman mati terhadap para TKI hingga masalah Rohingya.

Dalam seminggu ini kita juga mengalami masalah internasional yang ringan-ringan tapi berat, yaitu dihukumnya PSSI dari pergaulan sepak bola internasional hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

FIFA sebagai induk organisasi sepak bola menganggap bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan intervensi dalam dunia PSSI dan tindakan itu sangat haram dalam statute FIFA. Segala macam dalih yang disampaikan Kementerian Pemuda dan Olahraga tidak membuat FIFA berubah pikiran. Sanksi akhirnya tetap dijatuhkan pada 29 Mei yang lalu.

Apa yang menarik dari persoalan sepak bola ini adalah sejumlah pendapat yang tidak menyadari bahwa dunia saat ini tidak lagi diatur sepenuhnya oleh sebuah kedaulatan negara, tetapi juga diatur aktor-aktor non-negara (non-state actors), termasuk dalam hal ini FIFA sebagai induk organisasi sepak bola internasional.
Dalam bahasa politik luar negeri, FIFA adalah perwujudan dari yang disebut dengan kedaulatan baru (new sovereignty).

Kedaulatan baru adalah fenomena yang semakin kuat setelah usainya Perang Dunia II dan Perang Dingin. Kedaulatan baru ini paling kental terasa kehadirannya dalam wilayah hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi.

Chayes dan Chayes (1998, 27) menekankan bahwa dalam kedaulatan baru, kedaulatan tidak lagi semata soal kebebasan negara untuk bertindak secara independen sesuai dengan kepentingan nasionalnya, tetapi bertindak sebagai bagian dari keanggotaan dalam rezim (internasional) yang dianggap lebih bermakna. Persisnya mereka mengatakan “sovereignty no longer consists in the freedom of states to act independently, in their perceived self-interest, but in membership ... in regimes that make up the substance of international life”.

Di dalam kedua wilayah tersebut, kita merasakan kehadirannya paling jelas pada masa Orde Baru, yakni ketika organisasi internasional dan beberapa negara Barat menyoroti dan menekan Pemerintah Indonesia untuk menuntaskan kasuskasus pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintahan Orde Baru mulai dari masalah buruh hingga kasus penghilangan paksa.

Tekanan terakhir yang kita terima adalah permintaan untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup bagi terpidana narkoba berdasarkan Konvensi Hak Sipil dan Politik di mana Indonesia telah setuju untuk menandatanganinya. Tekanan itu menjadi relevan untuk dipertimbangkan ketika Indonesia, khususnya organisasi buruh migran, menggunakan bahasa HAM yang sama ketika menekan negara yang ingin menghukum mati buruh migran yang melakukan pelanggaran hukum di negera penerima.

Menguatnya kedaulatan baru berangkat dari asumsi dan fakta bahwa dunia sudah terlalu rumit dan kompleks untuk hanya dapat diatur oleh negara per negara. Contoh adalah industri sepak bola.

Industri sepak bola tidak hanya mengatur 22 pemain di lapangan hijau ditambah dengan tiga wasit yang mengawasi dan mengatur jalannya pertandingan.

Di belakang layar industri tersebut berdiri ribuan pabrik besar hingga kecil yang mencakup jutaan pekerja. Bola atau sepatu yang digunakan para pemain di Liga Inggris kemungkinan diproduksi oleh buruh-buruh pabrik di Cikokol Tangerang yang mengimpor bahan baku murah dari China dengan pabrik yang menggunakan sistem dari India dan desainnya dibuat di Manchester, sementara kantor pusatnya berada di Jerman atau Amerika Serikat.

Rangkaian produksi tersebut berjalan pada sistem hukum dan demokrasi yang berbeda dan sayangnya banyak industri yang memetik keuntungan dengan menanamkan investasi ke negara dengan sistem hukum yang lemah dan koruptif. Oleh sebab itu diperlukan sebuah tata kelola baru yang menjamin bahwa keuntungan yang dipetik oleh perusahaan berasal dari kompetisi yang sehat di mana indikator utamanya adalah penghormatan terhadap HAM dan demokrasi.

Tata kelola bertindak seperti sebuah negara yang memiliki sistem yudisial dan eksekutif untuk mengatasi perselisihan dan menjalankan organisasi. Dengan kata lain, tata kelola ini adalah rezim internasional yang mengatur sebuah wilayah politik ekonomi sektor-sektor tertentu.

Ciri paling penting dari tata kelola baru ini adalah sifatnya yang sukarela tanpa paksaan. Tidak ada yang memaksa Indonesia untuk bergabung dengan FIFA, tetapi apabila sudah bergabung, industri sepak bola harus patuh dengan peraturan FIFA. Sama seperti tidak ada yang memaksa Indonesia untuk menjadi penandatangan Konvensi Hak Sipil dan Politik, tetapi ketika sudah menandatanganinya, Indonesia harus patuh dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh konvensi tersebut.

Ada beberapa asosiasi sepak bola lain yang berdiri di luar FIFA seperti Confederation of Independent Football Associations (CONIFA) atau New Federations Board. Dalam HAM banyak pula negara yang tidak menandatanganinya.

Dalam konteks kedaulatan baru tersebut, kita perlu menempatkan solusi sepak bola dan masalah politik internasional lainnya secara tepat dan proporsional.
Masalah sepak bola dan masalah HAM bukan barang yang berbeda dalam konteks kedaulatan baru tersebut. Negara perlu memiliki dasar-dasar argumentasi yang kuat tentang untung dan ruginya bagi Indonesia untuk ikut atau tidak ikut dalam dinamika politik kedaulatan baru tersebut.

Salah satu tantangan utama di sini adalah bahwa rezim tata kelola tersebut tidak sempurna. Seperti dalam kasus FIFA, praktik korupsi sudah puluhan tahun dibicarakan dan diinvestigasi, tetapi tidak berhasil dibawa ke tingkat pengadilan karena dianggap masuk dalam wilayah internal organisasi dan bukan masalah publik.

Dalam rezim tata kelola HAM juga demikian. Beberapa negara yang mendorong HAM bertindak keras kepada negaranegara yang lebih lemah posisi politiknya, tetapi tidak kepada negara yang memiliki posisi tawar kuat.

Apa pun keputusannya, dengan perkembangan di atas, pemerintah dan masyarakat patut konsisten dengan pilihan terdahulu untuk membersihkan sistem tata kelola pemerintahan ke segala lini dan memperbaiki sistem rekrutmen dalam politik kita. Kita tidak dapat menyerahkan perbaikan demokrasi, pemerintahan yang bersih, dan HAM kepada negara lain.

Kasus PSSI adalah momentum untuk perubahan tidak hanya di ranah industri sepak bola, tetapi juga di ranah yang lain.

Perbaikan ini hendaknya dilaksanakan paralel dengan upaya kita untuk tetap kritis memperbaiki sistem tata kelola dunia yang ada, baik di FIFA, dewan HAM, PBB maupun rezim tata kelola lainnya.

Kita juga perlu ingat bahwa kita hanya dapat memperbaiki sistem politik dan tata kelola dunia menjadi lebih adil apabila kita juga melakukannya di dalam sistem politik dan demokrasi kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar