Sepak
Bola dan Tata Kelola Dunia
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 03 Juni 2015
Kita menghadapi ragam
persoalan internasional yang serius dalam beberapa bulan terakhir, mulai dari
masalah hukuman mati terpidana narkoba, hukuman mati terhadap para TKI hingga
masalah Rohingya.
Dalam seminggu ini
kita juga mengalami masalah internasional yang ringan-ringan tapi berat,
yaitu dihukumnya PSSI dari pergaulan sepak bola internasional hingga batas
waktu yang tidak ditentukan.
FIFA sebagai induk
organisasi sepak bola menganggap bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan
intervensi dalam dunia PSSI dan tindakan itu sangat haram dalam statute FIFA.
Segala macam dalih yang disampaikan Kementerian Pemuda dan Olahraga tidak
membuat FIFA berubah pikiran. Sanksi akhirnya tetap dijatuhkan pada 29 Mei
yang lalu.
Apa yang menarik dari
persoalan sepak bola ini adalah sejumlah pendapat yang tidak menyadari bahwa
dunia saat ini tidak lagi diatur sepenuhnya oleh sebuah kedaulatan negara,
tetapi juga diatur aktor-aktor non-negara (non-state actors), termasuk dalam hal ini FIFA sebagai induk
organisasi sepak bola internasional.
Dalam bahasa politik
luar negeri, FIFA adalah perwujudan dari yang disebut dengan kedaulatan baru
(new sovereignty).
Kedaulatan baru adalah
fenomena yang semakin kuat setelah usainya Perang Dunia II dan Perang Dingin.
Kedaulatan baru ini paling kental terasa kehadirannya dalam wilayah hak asasi
manusia (HAM) dan demokrasi.
Chayes dan Chayes
(1998, 27) menekankan bahwa dalam kedaulatan baru, kedaulatan tidak lagi
semata soal kebebasan negara untuk bertindak secara independen sesuai dengan
kepentingan nasionalnya, tetapi bertindak sebagai bagian dari keanggotaan
dalam rezim (internasional) yang dianggap lebih bermakna. Persisnya mereka
mengatakan “sovereignty no longer
consists in the freedom of states to act independently, in their perceived
self-interest, but in membership ... in regimes that make up the substance of
international life”.
Di dalam kedua wilayah
tersebut, kita merasakan kehadirannya paling jelas pada masa Orde Baru, yakni
ketika organisasi internasional dan beberapa negara Barat menyoroti dan
menekan Pemerintah Indonesia untuk menuntaskan kasuskasus pelanggaran HAM
yang dilakukan pemerintahan Orde Baru mulai dari masalah buruh hingga kasus
penghilangan paksa.
Tekanan terakhir yang
kita terima adalah permintaan untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman
seumur hidup bagi terpidana narkoba berdasarkan Konvensi Hak Sipil dan
Politik di mana Indonesia telah setuju untuk menandatanganinya. Tekanan itu
menjadi relevan untuk dipertimbangkan ketika Indonesia, khususnya organisasi
buruh migran, menggunakan bahasa HAM yang sama ketika menekan negara yang
ingin menghukum mati buruh migran yang melakukan pelanggaran hukum di negera
penerima.
Menguatnya kedaulatan
baru berangkat dari asumsi dan fakta bahwa dunia sudah terlalu rumit dan
kompleks untuk hanya dapat diatur oleh negara per negara. Contoh adalah
industri sepak bola.
Industri sepak bola
tidak hanya mengatur 22 pemain di lapangan hijau ditambah dengan tiga wasit
yang mengawasi dan mengatur jalannya pertandingan.
Di
belakang layar industri tersebut berdiri ribuan pabrik besar hingga kecil
yang mencakup jutaan pekerja. Bola atau sepatu yang digunakan para pemain di
Liga Inggris kemungkinan diproduksi oleh buruh-buruh pabrik di Cikokol
Tangerang yang mengimpor bahan baku murah dari China dengan pabrik yang
menggunakan sistem dari India dan desainnya dibuat di Manchester, sementara
kantor pusatnya berada di Jerman atau Amerika Serikat.
Rangkaian
produksi tersebut berjalan pada sistem hukum dan demokrasi yang berbeda dan
sayangnya banyak industri yang memetik keuntungan dengan menanamkan investasi
ke negara dengan sistem hukum yang lemah dan koruptif. Oleh sebab itu
diperlukan sebuah tata kelola baru yang menjamin bahwa keuntungan yang
dipetik oleh perusahaan berasal dari kompetisi yang sehat di mana indikator
utamanya adalah penghormatan terhadap HAM dan demokrasi.
Tata
kelola bertindak seperti sebuah negara yang memiliki sistem yudisial dan
eksekutif untuk mengatasi perselisihan dan menjalankan organisasi. Dengan
kata lain, tata kelola ini adalah rezim internasional yang mengatur sebuah
wilayah politik ekonomi sektor-sektor tertentu.
Ciri
paling penting dari tata kelola baru ini adalah sifatnya yang sukarela tanpa
paksaan. Tidak ada yang memaksa Indonesia untuk bergabung dengan FIFA, tetapi
apabila sudah bergabung, industri sepak bola harus patuh dengan peraturan FIFA.
Sama seperti tidak ada yang memaksa Indonesia untuk menjadi penandatangan
Konvensi Hak Sipil dan Politik, tetapi ketika sudah menandatanganinya,
Indonesia harus patuh dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh konvensi
tersebut.
Ada
beberapa asosiasi sepak bola lain yang berdiri di luar FIFA seperti Confederation of Independent Football
Associations (CONIFA) atau New
Federations Board. Dalam HAM banyak pula negara yang tidak
menandatanganinya.
Dalam
konteks kedaulatan baru tersebut, kita perlu menempatkan solusi sepak bola
dan masalah politik internasional lainnya secara tepat dan proporsional.
Masalah
sepak bola dan masalah HAM bukan barang yang berbeda dalam konteks kedaulatan
baru tersebut. Negara perlu memiliki dasar-dasar argumentasi yang kuat tentang
untung dan ruginya bagi Indonesia untuk ikut atau tidak ikut dalam dinamika
politik kedaulatan baru tersebut.
Salah
satu tantangan utama di sini adalah bahwa rezim tata kelola tersebut tidak
sempurna. Seperti dalam kasus FIFA, praktik korupsi sudah puluhan tahun
dibicarakan dan diinvestigasi, tetapi tidak berhasil dibawa ke tingkat
pengadilan karena dianggap masuk dalam wilayah internal organisasi dan bukan
masalah publik.
Dalam
rezim tata kelola HAM juga demikian. Beberapa negara yang mendorong HAM
bertindak keras kepada negaranegara yang lebih lemah posisi politiknya,
tetapi tidak kepada negara yang memiliki posisi tawar kuat.
Apa
pun keputusannya, dengan perkembangan di atas, pemerintah dan masyarakat
patut konsisten dengan pilihan terdahulu untuk membersihkan sistem tata
kelola pemerintahan ke segala lini dan memperbaiki sistem rekrutmen dalam
politik kita. Kita tidak dapat menyerahkan perbaikan demokrasi, pemerintahan
yang bersih, dan HAM kepada negara lain.
Kasus
PSSI adalah momentum untuk perubahan tidak hanya di ranah industri sepak
bola, tetapi juga di ranah yang lain.
Perbaikan
ini hendaknya dilaksanakan paralel dengan upaya kita untuk tetap kritis
memperbaiki sistem tata kelola dunia yang ada, baik di FIFA, dewan HAM, PBB
maupun rezim tata kelola lainnya.
Kita
juga perlu ingat bahwa kita hanya dapat memperbaiki sistem politik dan tata
kelola dunia menjadi lebih adil apabila kita juga melakukannya di dalam
sistem politik dan demokrasi kita sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar