Sekolah
NU
Asmadji As Muchtar ; Wakil
Rektor III Unsiq Wonosobo, Jawa Tengah
|
KOMPAS, 03 Juni 2015
“Masukkan saja di
sekolah NU!" kata seorang kiai Nahdlatul Ulama. Hal itu ia kemukakan
ketika sejumlah tetangganya meminta saran tentang memilih sekolah untuk anak
mereka agar beradab dan tidak terpengaruh radikalisme atau paham NIIS yang
jadi momok dunia.
Yang disebut sekolah
NU adalah madrasah diniyah (madin) yang dibuka siang, sore, dan malam di
lingkungan masjid dan mushala. Kalau anak sudah telanjur masuk sekolah negeri
atau sekolah lain pada pagi hingga siang, mereka bisa masuk madin yang buka
sore atau malam.
Saran tersebut memang
bukan isapan jempol belaka. Madin mengajarkan pendidikan budi pekerti atau
adab, yang esensinya untuk menghargai kehidupan dan memuliakan kematian.
Terbukti, sejauh ini belum ada murid atau alumni madin yang terlibat gerakan
radikalisme atau terorisme yang lazimnya menghalalkan kekerasan atau
membantai sesama (tidak menghargai kehidupan dan tidak memuliakan kematian)
atas nama agama dan Tuhan.
Kalau madin
mengajarkan jihad, yang dimaksud adalah jihad humanisasi (upaya memuliakan
kehidupan dan kematian dengan menyejahterakan bangsa dalam arti
seluas-luasnya) dan bukan jihad
dehumanisasi (melecehkan kehidupan dan kematian dengan cara membunuh agar
terbunuh dengan harapan bisa menjadi syuhada).
Menghargai kehidupan
Dengan kata lain,
anak-anak yang belajar di madin tidak akan tega melakukan kekerasan atas nama
agama dan Tuhan. Jangankan membantai sesama, kalau ada sesama yang wafat saja
akan ditahlilkan dan didoakan berkali-kali agar sejahtera di alam baka,
sedangkan terhadap semua keluarga yang ditinggalkan didoakan selalu tabah dan
sabar.
Begitulah, generasi
yang tumbuh di lingkungan NU adalah manusia yang sangat menghargai kehidupan
dan memuliakan kematian. Menghargai kehidupan berarti berperilaku sopan
santun dan tidak akan tega menyakiti atau membunuh sesama. Sementara
memuliakan kematian berarti berusaha membantu sesama yang sekarat hingga
wafat agar khusnul khotimah dengan tradisi tahlilan dan yasinan.
Tradisi tahlilan dan
yasinan di lingkungan warga NU yang berlangsung di rumah duka atau di atas
pusara, yang berlangsung hingga hari keseribu dan kemudian dilanjutkan dengan
peringatan tahunan dengan sebutan "khoul", merupakan formula ampuh
untuk membendung gerakan radikalisme atas nama apa pun yang identik dengan
kekerasan hingga pembantaian terhadap sesama yang dianggap sesat.
Bagi warga NU, justru
jika ada warga yang dianggap sesat, mereka itu perlu dituntun ketika masih
hidup hingga setelah wafat dengan sebaik-baiknya. Ketika masih hidup mereka
akan dituntun dengan pengajian-pengajian dan setelah wafat akan dituntun dan
dibantu dengan tahlilan dan yasinan.
Boleh saja orang lain
menganggap tradisi tersebut adalah bidah. Akan tetapi, bagi warga NU tradisi
itu adalah bid'ah khasanah (hal
baru yang baik). Sementara bagi tokoh-tokoh NU, mereka justru sering bangga
dianggap ahli bidah karena bidahnya adalah bid'ah khasanah. Misalnya, di sejumlah tempat, Gus Mus sering
berseloroh di depan warga NU dalam acara-acara pengajian umum. "Katanya kita ini ahli bidah,
ha-ha-ha." Lantas semuanya ikut tertawa riang.
Semakin populer
Untuk masa kini dan
mendatang, madin yang mengajarkan tradisi tahlilan dan yasinan yang anti
radikalisme semakin populer. Bukan saja di wilayah pedesaan, melainkan juga
di wilayah perkotaan. Hal ini logis karena banyak orangtua yang berharap
anak-anaknya bisa tumbuh jadi manusia yang menghargai kehidupan dan
memuliakan kematian alias tidak terlibat radikalisme.
Yang menarik, tradisi
tahlilan dan yasinan, dengan label istigasah, sejak ada ujian nasional juga
makin populer di sekolah-sekolah negeri yang notabene bukan madin. Misalnya,
semakin banyak sekolah negeri yang menggelar acara istigasah yang diwarnai
tahlilan dan yasinan menjelang ujian nasional dengan harapan agar semua murid
lulus dengan nilai tinggi.
Bahkan, semua makam
leluhur seperti makam Walisongo dan makam ulama NU semakin ramai dikunjungi
peziarah yang terdiri atas anak-anak sekolah untuk mengisi liburan sehingga
semakin memopulerkan tradisi tahlilan dan yasinan. Hal ini tentu
menggembirakan semua pihak yang berharap radikalisme tidak berkembang di
negeri ini karena semakin populer tradisi tahlilan dan yasinan akan identik
dengan semakin tercampaknya embrio radikalisme.
Begitu pula di
kampung-kampung, semakin banyak ibu dan bapak yang menggelar acara pertemuan
rutin dengan label jamiyah tahlilan dan yasinan dengan biaya swadaya dan suka
rela, yang tujuannya untuk menghargai kehidupan dan memuliakan kematian.
Dalam hal ini, hidup damai terkesan mengemuka dalam kesederhanaan yang
otomatis akan menangkal radikalisme.
Selain itu, tradisi
tahlilan dan yasinan juga terbukti mampu menghapus sikap dan perilaku egoisme
di lingkungan masyarakat luas. Selama di lingkungan perkampungan masih ada
tradisi jamiyah tahlilan dan yasinan, maka warganya akan relatif saling
mengenal dengan baik sehingga hubungan antartetangga sudah tidak asing
lagi. Hal ini sangat positif bagi
pembangunan bangsa agar semakin beradab dalam arti luas.
Kurang maju
Jika kini muncul
kecemasan bahwa generasi muda di negeri ini menjadi target perekrutan
kelompok radikal, respons termudah bagi orangtua adalah menyekolahkan
anak-anaknya di madin. Sementara itu, respons terpenting bagi pemerintah
adalah memberikan bantuan kepada semua madin agar lebih maju dalam arti luas.
Terkait hal ini, sekolah-sekolah negeri perlu juga mengajar muridnya
menghargai kehidupan dan memuliakan kematian.
Harus diakui, banyak
madin yang layak dianggap kurang maju. Misalnya, gaji guru madin yang jauh
lebih kecil dibandingkan gaji guru negeri yang bersertifikasi. Bahkan, masih
banyak guru madin yang tidak menerima gaji dan tunjangan. Oleh karena itu,
kesenjangan penghasilan guru seharusnya segera diperhatikan pemerintah. Dalam
hal ini, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran memadai untuk meningkatkan
kualitas pendidikan di madin agar semakin maju atau sejajar dengan sekolah
negeri.
Keterlaluan
jika pemerintah sampai membiarkan madin bercitra kurang maju, mengingat
kontribusinya terhadap deradikalisme sudah jelas-jelas tak terbantahkan.
Sementara deradikalisme sama dengan upaya menjaga integritas dan integrasi
bangsa sesuai spirit mempertahankan keutuhan NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar