Sekolah
Kehidupan
Juwono Sudarsono ; Juwono Sudarsono Mendikbud 1998-1999
|
KOMPAS, 10 Juni 2015
Jelang pertengahan November
1998, di tengah hiruk-pikuk semboyan "Reformasi Total"
di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, saya dipanggil Presiden
Abdurrahman Wahid di suatu kediaman di Jalan Irian, Jakarta Pusat.
Kami membahas lingkup dan materi kurikulum sekolah dasar sampai
dengan perguruan tinggi. Karena kami yakin materi dan cara pengajaran cepat
atau lambat harus diubah, Gus Dur-sapaan akrab Abdurrahman
Wahid-mengingatkan agar reformasi pendidikan di telaah secara cermat karena perubahan sistem pendidikan perlu
waktu. Minimal 1-2 tahun untuk menyusun konsep, 2-3 tahun memasyarakatkan, dan setelah lima
tahun mulai dilaksanakan pada setiap jenjang
pendidikan. Saya paham tentang hal ini meski merasakan betapa sulit
memasyarakatkan reformasi yang didorong para
tokoh politik yang mendesak
agar reformasi dimulai "sekarang juga".
Apalagi reformasi yang mendesak
merombak kurikulum, mulai dari
perubahan "Bahasa Orde Baru" ke arah "Bahasa Orde Reformasi". Saya
teringat pada pemeo "ganti menteri" dan "ganti kurikulum"
pada tahun 1960-an dan 1970-an. Dari zaman Menteri Pendidikan dan
Pengajaran Priyono sampai Mendikbud
Nugroho Notosusanto,
Saya pikir sekarang saya bakal kena batunya. Setelah belajar di Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia Bagian Publisistik (sekarang
Departemen Ilmu Komunikasi Massa FISIP), saya mulai berhadapan dengan orang
pintar, para ahli dari berbagai institut keguruan dan ilmu pendidikan seluruh
Indonesia yang ingin menyumbang pikiran tentang apa lingkup dan isi kurikulum
yang "baik dan benar".
Beruntung saya dibantu Dr Satryo Soemantri Brodjonegoro (Direktur
Pembinaan Sarana Akademik) dan Dr
Anhar Gonggong (Direktur Nilai Sejarah dan Tradisional) di Depdikbud. Saya dikawal Letnan Jenderal
Sofian Effendi, Sekjen Depdikbud yang
kebetulan bos saya di Lemhannas 1996-1998. Saya pikir, karena saya dibantu
teknolog asal Jawa (yang ayahnya, Prof Soemantri Brodjonegoro, pernah menjadi
Rektor UI), oleh sejarawan Bugis-Makassar, dan oleh
prajurit Kopassus asal Bireuen,
Aceh. Agak lengkaplah, saya dibantu
orang yang melambangkan rakyat yang mewakili sebagian besar Indonesia
barat dan timur.
Gus Dur berseloroh, "Mas
Ju jadi apanya 'Mafia Berkeley'?" Julukan Mafia Berkeley
disandangkan kepada sebagian tokoh
ekonomi dan administrasi publik
yang langsung atau tidak langsung
membantu Prof Widjojo Nitisastro
selama 20 tahun lebih (1966-2000).
"Saya
hanya kroco bidang politik internasional, Gus, pernah belajar dengan
beberapa teman dosen asal Aceh sampai
ujung timur di Manado dan Kupang."
"Wah,
politik. Kalau begitu Mas Ju jadi tukang tembak (hit-man)," kata Gus Dur, mengingatkan
saya pada film The Untouchables yang diperankan Kevin Costner, Sean Connery, dan Robert De Niro sebagai Al
Capone, tokoh mafia Chicago tahun 1929-1930.
"Begini," kata Dur, "Saya ini
ditanyain tentang itu lho, sekolah ruko yang menjamur di mana-mana, termasuk
di daerah saya di Ciganjur. Itu namanya sekolah-sekolahan, enggak jelas
alamatnya, enggak jelas izinnya. Itu namanya sekolah enggak keruan."
"Saya
ingat kata-kata Satryo Soemantri Brodjonegoro, kira-kira ada 747 perguruan
tinggi swasta di daerah Jabotabek," kata
saya ke Gus Dur. Ia yang langsung berseloroh: "747? Angka dari mana
tuh, kok mirip banget dengan
pesawat Boeing 747?"
"Tahu
enggak Mas," sambung Gus Dur, "saya
ini sudah lama mimpin UCLA, University Ciganjur Lenteng Agung, enggak
kalah terkenal dengan sekolah UC Berkeley atau UC Los Angeles. Saya drop out dari Universitas Baghdad dan
cuma mahasiswa pendengar di Al-Azhar, Kairo. Tetapi, saya mahasiswa Sekolah Kehidupan, saya melihat-lihat
mengalami kehidupan nyata di
lapangan."
Saya mengangguk diam dan berkata dalam hati, Gus Dur memang
sarjana yang sujana, simple dan
rendah hati. Orang Jawa bilang dia itu tidak gumunan, tidak mudah kagetan,
tidak mentang-mentang. Gelar apa pun,
akademik, adat, gelar keagamaan, tidak ada artinya kalau dia tidak menghargai
dirinya sendiri dengan berkaca pada pahit getirnya tantangan hidup
sehari-hari.
Saya teringat ucapan Bung Karno pada awal 1960-an ketika membuka
Hari Sarjana UI di Kampus Salemba 4, Jakarta Pusat.
Mengutip pidato Bung Karno ketika memperkenalkan pemimpin Vietnam Ho Chi Minh, saya berkata
dalam hati, "Paman Ho tak tamat
sekolah tinggi, tetapi berhasil mengocar-ngacirkan pemerintah kolonial
Perancis sehingga tahun 1954 Perancis
takluk di Dien Bien Phu dan mundur dari Indo-China.”
Gus Dur adalah sosok genius yang tak perlu mengejar gelar
akademik, apalagi dari sekolahan pojok jalan atau ruko murahan yang
bertebaran di mana-mana. Tetapi, Gur
Dur seperti juga Ho Chi Minh yang pernah magang sebagai koki
di hotel di Place Vendome, Paris, adalah orang yang percaya diri pada
garis tangan. Siapa tahu yang mengelola ruko sekolah-sekolahan itu
berhasil karena ada tangan Tuhan yang
membantunya keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Siapa tahu ijazah palsu
yang dipersoalkan itu kelak membantu orang menjadi otodidak, yang karena rasa
percaya dirinya besar sehingga tak
memerlukan gelar: sah atau tidak! Atau, seperti kata Gus Dur, "Enggak usah repot-repot nertibkan
(sekolah di) ruko-ruko itu. Lama-lama
capai juga mereka ngurusin ijazah
dengan segala tetek bengek cap, laminating dan figura."
Benar juga. Butuh tenaga dan biaya sangat banyak untuk
menertibkan sekolah tak keruan itu. Biarkan sekolah tadi layu tak berkembang.
Biarkan orang mencari rezeki atau rugi sendiri kalau tidak ada peminat yang
memercayai iklan yang dipasang di mana-mana dengan biaya semurah atau semahal
apa pun. Biarkan ijazah palsu diedarkan sampai orang kapok.
Sekolah Kehidupan hanya perlu pelita hidup dalam hati kita
masing-masing. Itulah ijazah yang
sebenarnya kita selalu mencari, dari pengalaman hidup Ho Chi Minh, Gus Dur,
dan ratusan tokoh tak bergelar akademik di seluruh pelosok Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar