Reformasi
Jaminan Sosial ASN
Eko Prasojo ; Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi (FIA)
Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 09 Juni 2015
Reformasi kepegawaian
negara telah diletakkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara (ASN). Berbagai perubahan secara menyeluruh telah diatur untuk
menghasilkan pegawai ASN yang profesional, berintegritas, dan melayani
masyarakat. Salah satu perubahan pokok yang diletakkan dalam UU No 5 Tahun
2014 adalah memperbaiki sistem penggajian dan sistem jaminan sosial pegawai
ASN.
Sebagai salah satu
pilar reformasi kepegawaian negara, perbaikan jaminan sosial pegawai ASN akan
memainkan peranan yang penting untuk mendukung profesionalisme birokrasi.
Tulisan ini akan mengupas pemikiran dasar reformasi jaminan sosial ASN dan
dalam kaitannya dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Faktor Pemacu Produktivitas
Ada banyak faktor yang
memengaruhi profesionalisme pegawai aparatur sipil negara (baik PNS maupun
pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja/PPPK). Berbagai faktor ini saling
berkelindan dan berkait. Seringkali dikatakan bahwa faktor penyebab rendahnya
profesionalisme PNS adalah rendahnya gaji sehingga para pegawai berusaha
untuk mendapatkan penghasilan tambahan melalui pekerjaan yang dilakukannya.
Kondisi ini tidak saja
menyebabkan rendahnya produktivitas, tetapi juga kerusakan moral para
sebagian PNS untuk melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Belum lagi
jaminan sosial hari tua seperti dana pensiun yang sangat kecil dan jaminan
kesehatan yang sangat rendah diakui menjadi salah satu sumber penyebab
rendahnya profesionalisme PNS.
Meskipun gaji dan jaminan
sosial bukan merupakan satu satunya faktor dalam membentuk profesionalisme
PNS, ini dapat disebut sebagai faktor pemacu (enabler factor) dalam reformasi aparatur sipil negara secara
keseluruhan. Tentu saja faktor-faktor lain seperti perbaikan proses seleksi
CPNS, promosi jabatan yang kompetitif, penerapan manajemen kinerja individu,
dan sistem pengembangan pegawai menjadi kunci keberhasilan reformasi ASN.
Faktanya, gaji dan
jaminan sosial ASN selama ini masih belum mendapatkan perhatian yang baik oleh
pemerintah, bahkan seringkali dianggap semata-mata akan membebani keuangan
negara. UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN menempatkan pegawai ASN (PNS dan PPPK)
sebagai aset negara, bukan sebagai beban negara.
Ada sejumlah perubahan
dasar yang dianut dalam UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN dalam kaitannya dengan
sistem penggajian dan jaminan sosial pegawai ASN. Pertama, gaji pegawai ASN
akan diberikan berdasarkan pada beban kerja, risiko pekerjaan, tanggung jawab
jabatan, dan capaian kinerja yang disepakati.
Sistem ini sejatinya
merombak total sistem penggajian PNS dalam Peraturan Gaji Pegawai Negeri
Sipil (PGPS) yang berbasis kepada kepangkatan, masa kerja, dan eselonisasi
jabatan. PGPS dalam praktiknya tidak memacu produktivitas PNS karena tidak
berdasarkan pada bobot jabatan maupun kinerja yang dicapai oleh PNS.
Bahkan PGPS seringkali
menimbulkan kecemburuan baik secara horizontal antarsatu jabatan dalam level
yang sama maupun secara vertikal antarlevel jabatan yang berbeda. Sistem yang
baru akan menciptakan keadilan internal dan mendorong keadilan eksternal.
Kedua, jaminan sosial
ASN akan diberikan untuk mencapai dua tujuan utama yaitu menjamin
produktivitas pegawai ASN semasa aktif menjabat dan menjalankan tugas
pelayanan, pembangunan, dan pemerintahan; tetapi juga sebagai hak,
penghargaan, dan perlindungan jaminan penghasilan pada saat tidak lagi
menjadi pegawai ASN atau sudah pensiun.
Dalam praktik selama
ini, para PNS seringkali mengalami kegamangan dan kekhawatiran menjelang
batas usia pensiun (BUP) karena rendahnya jaminan sosial yang akan diperoleh
setelah pensiun.
Hal ini menyebabkan
perilaku menyimpang, berupa praktik praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
dalam rangka mempersiapkan sendiri jaminan hari tuanya. Karena itulah, UU No
5 Tahun 2014 tentang ASN memberikan beberapa Jaminan Sosial bagi PNS maupun
PPPK dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja.
SJSN untuk ASN
Dalam UU No 5 Tahun
2014 tentang ASN disebutkan bahwa PNS mendapatkan jaminan sosial berupa
Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK),
Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Kesehatan (Jamkes).
Jaminan yang sama juga
akan diberikan kepada Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, kecuali
Jaminan Pensiun karena akan diatur dan dikelola sesuai dengan UU No 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Persoalan yang harus
didiskusikan pemangku kepentingan terkait dengan Jaminan Sosial untuk
Aparatur Sipil Negara adalah apakah jaminan ini akan diatur dan dilaksanakan
secara tersendiri atau apakah akan secara penuh mengikuti ketentuan dalam UU
No 40 Tahun 2014 tentang SJSN dan dilaksanakan oleh Badan Pengelolaan Jaminan
Sosial (BPJS) menurut UU No 24 Tahun 2011.
Persoalan ini menjadi
salah satu materi penting dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Jaminan Sosial ASN yang saat ini sedang dibahas. Sebagaititiktolakpembahasan
tentunya adalah norma dasar yang ada di dalam tiga UU dimaksud. Sebagai
anggota tim yang ikut membahas UU No 5 Tahun 2014, penulis memiliki beberapa
catatan tentang Jaminan Sosial bagi ASN sebagaimana diatur dalam Pasal 91
(4), Pasal 92 (6), dan Pasal 106.
Meskipun Jaminan
Sosial untuk ASN akan diberikan dalam rangka melaksanakan Sistem Jaminan
Sosial Nasional, pengaturan detilnya akan diatur tersendiri dalam Peraturan
Pemerintah mengenai Sistem Jaminan Sosial ASN. Ada beberapa pertimbangan
filosofis, yuridis, dan sosiologis yang melatarbelakangi pengaturan
tersendiri Jaminan Sosial bagi ASN.
Secara filosofis,
pegawai ASN (PNS dan PPPK) adalah pejabat publik yang memiliki kewenangan
untuk mengatur dan melaksanakan tujuan konstitusional. Dengan kewenangan
publik yang dimilikinya, pegawai ASN memberikan pelayanan publik dan atas
dasar itu juga memiliki privilese publik. Secara filosofis nature of job pegawai ASN juga berbeda
dengan profesi pekerjaan lainnya.
Di dalam pekerjaan ASN
terkandung tanggung jawab jabatan dan risiko jabatan yang harus ditanggungnya
kelak. Sedangkansecara sosiologis, sejarah institusi pengelolaan jaminan
sosial ASN di Indonesia akan diatur dan dikelola secara terpisah dengan
Jaminan Sosial bagi swasta dan masyarakat pada umumnya. Dalam praktik
internasional, pengaturan dan pengelolaan jaminan sosial pegawai negeri di
banyak negara memang terdapat dua corak.
Pertama, negara-negara
yang memisahkan pengaturan dan pengelolaan Jaminan Sosial untuk masyarakat
umum dan Jaminan Sosial untuk ASN (seperti Jerman, Australia, Belgia,
Finlandia, dan Korea); dan kedua, kelompok negara-negara yang menyatukan
pengaturan dan pengelolaan Jaminan Sosial untuk masyarakat umum dan Jaminan
Sosial pegawai untuk ASN (seperti Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Spanyol,
dan Inggris).
Kedua corak ini tentu
memiliki akar sejarah, mandat konstitusi, persoalan dasar, sistem hukum dan
sistem sosial yang berbeda-beda. Negara seperti Jerman misalnya memiliki
sejarah sosialisme yang berakar dan birokrasi yang mapan atas dasar
rechtsstaat (negara hukum); perkembangan jaminan sosial yang kuat, sehingga
memisahkan jaminan sosial pegawai negeri dengan swasta dan masyarakat umum.
Sistem jaminan sosial sudah lama terbentuk dan mapan.
Sedangkan Amerika
Serikat memiliki tradisi liberalisme yang kuat dan paham individualisme
sehingga memiliki argumentasi yang kuat untuk menggabungkan pengaturan dan
pengelolaan jaminan sosial pegawai negeri dengan masyarakat dan swasta.
Beberapa negara memisahkan atau menggabungkan jaminan sosial untuk pegawai
negeri dan masyarakat umum hanya berdasarkan alasan kepraktisan dalam
pengelolaannya.
Bagaimana untuk
Indonesia? Penulis sendiri cenderung untuk memberikan beberapa dasar
pemikiran sebagai berikut: Pertama, sejarah birokrasi di Indonesia lebih
mengikuti tradisi Eropa kontinental dengan pendekatan rechsstaat. Kedua,
harus diakui bahwa sistem di sektor publik dan sektor swasta di Indonesia
masih belum memiliki level kemajuan yang sama.
Ketiga, pada
prinsipnya pengelolaan APBN/APBP tidaklah serta-merta dengan mudah
digabungkan dengan swasta. Keempat, pengabdian dan dedikasi para pegawai ASN
yang menjalankan tugas dan kewenangan publik perlu juga mendapatkan
perhatian.
Meski demikian, tentu
argumentasi yang lain juga bisa memberikan legitimasi atas pilihan
pemerintah. Pemerintah juga bisa memilih untuk memisahkan atau menggabungkan
sistem jaminan sosial pegawai ASN dan masyarakat umum atas dasar kepraktisan
dalam pelaksanaannya dengan melihat sejarah institusi pengelolaan sistem
jaminan sosial untuk PNS. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar