Minggu, 21 Juni 2015

Peran Politik Ormas Islam

Peran Politik Ormas Islam

Masdar Hilmy  ;   Akademisi dan Wakil Direktur Pascasarjana
UIN Sunan Ampel, Surabaya
KOMPAS, 20 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua organisasi massa Islam moderat di Indonesia, hendak bermuktamar Agustus mendatang. Sekalipun kedua ormas itu dikenal sebagai gerakan masyarakat sipil yang memfokuskan diri pada pemberdayaan umat, bukan berarti keduanya tak memainkan peran politik sama sekali.

Memang, peran politik yang dimainkan keduanya bukan dalam pengertian low politics (politik praktis-kekuasaan), melainkan high politics (politik kebangsaan, kemasyarakatan, dan kemanusiaan).

Formula peran politik semacam ini mengakibatkan kedua ormas tersebut menjaga jarak dari politik keseharian karena telanjur dianggap wilayah kotor, dekil, dan korup. Sementara itu, wilayah high politics dianggap lebih mulia, agung, dan terhormat. Dengan formula tersebut, ormas terkesan hendak "cuci tangan" dari segala bentuk kebobrokan dan kekumuhan wilayah low politics. Pendek kata, ormas seakan tidak mau ambil bagian dalam upaya memperbaiki kondisi politik bangsa dan membiarkannya memperbaiki dirinya sendiri.

Kegagalan ormas

Upaya "membersihkan" kumuhnya realitas politik kita bukan tidak pernah sama sekali dilakukan kedua ormas itu. Bahkan, Nahdlatul Ulama (NU) pernah terjun dalam gelanggang politik praktis sebagai parpol pada 1952 dan berhasil masuk tiga besar pada Pemilu 1955-setelah PNI dan Masyumi.

Meski demikian, keterlibatan NU belum berhasil membuat kondisi politik praktis lebih baik hingga NU bergabung dengan partai-partai Islam lain pada 1973 ketika Presiden Soeharto melakukan fusi partai-partai Islam ke dalam PPP.

Pasca penggabungan, nasib NU bahkan lebih tragis lagi. Di tubuh PPP sendiri, NU merasa selalu menjadi korban politisasi. Gus Dur sering menggambarkan NU sebagai "pendorong" mobil mogok; begitu mobilnya berjalan, NU pun ditinggalkan. Kondisi semacam ini mendorong para kiai membawa NU kembali ke khitahnya pada Muktamar Ke-27 NU di Situbondo pada 1984. Khitah NU menghendaki netralitas kaum Nahdliyin dalam politik praktis. Sekalipun kontroversial, gerakan kembali ke khitah terbukti ampuh mengembalikan elan vital NU sebagai gerakan masyarakat sipil yang disegani.

Ketika rezim Orde Baru runtuh pada 1998, energi NU dan Muhammadiyah untuk berpartisipasi dalam memperbaiki kondisi politik bangsa menemukan momentumnya. Sekalipun tidak terjun secara langsung, keduanya terlibat dalam pembentukan parpol yang didukung oleh keduanya; PKB oleh NU dan PAN oleh Muhammadiyah.

Hingga kini, kedua parpol tersebut telah malang melintang dalam belantika perpolitikan nasional. Namun, kontribusi positif keduanya dalam memperbaiki, mencerahkan, dan mencerdaskan nalar politik kita masih jauh panggang dari api.

Harus diakui, kiprah NU dan Muhammadiyah memang lebih banyak berada di luar domain politik praktis. Hampir tidak ada domain yang lepas dari sepak terjang keduanya; sosial-pendidikan, ekonomi dan budaya. Prestasi dan kontribusi keduanya pun tak perlu diragukan lagi. Menjamurnya pesantren, lembaga pendidikan, amal usaha dan zakat, hingga unit-unit advokasi dan bantuan hukum adalah bukti empiris kerja-kerja pemberdayaan umat oleh keduanya. Belum lagi jika kita melihat indikator kuantitatif lain: membeludaknya pendaftar jemaah haji dan umrah, meningkatnya pemakai busana muslim, banyaknya masjid baru, meningkatnya transaksi ekonomi syariah, dan semacamnya.

Di luar "cerita sukses" keduanya di bidang tersebut di atas, rasanya masih ada yang tersisa: domain politik praktis. Kesuksesan NU dan Muhammadiyah dalam mencerahkan entitas politik yang kotor, dekil, dan korup itu tentu saja akan melengkapi "cerita sukses" keduanya di bidang-bidang di atas. Dalam konteks ini, rasanya tidak berlebihan jika kita berharap kedua ormas tersebut melakukan langkah nyata demi perbaikan dan pencerahan jagat politik kita di saat parpol-parpol yang ada tidak bisa diharapkan.

Tuntutan terhadap keterlibatan, partisipasi, dan intervensi kedua ormas itu dalam membenahi dan memperbaiki realitas politik kita sudah sedemikian kuat. Jika kita melihat realitas politik kita, siapa pun akan merasa prihatin dengan akutnya degradasi moral para politisi dan parpol kita saat ini. Pertama, parpol dan politisi kita menjadi semakin pragmatis, hedonis, dan kapitalis. Korupsi mewabah, tidak hanya menjangkiti kaum elite-terdidik, tetapi juga kaum papa dan rakyat jelata.

Kedua, sejumlah parpol yang mengklaim sebagai partai agamais ternyata tidak lebih agamais ketimbang parpol "sekuler": sama-sama korup. Bahkan, banyak kader parpol agamais terseret derasnya arus korupsi politik yang berlangsung secara masif. Parpol semacam ini sejatinya telah mengkhianati kepercayaan publik yang sempat mekar di awal-awal kiprah mereka di panggung politik nasional.

Ketiga, konflik dan perpecahan yang melanda sejumlah parpol kita mengindikasikan ketidakmampuan mereka melakukan manajemen dan resolusi konflik secara elegan, dewasa, dan bermartabat. Konflik dan perpecahan memang sering kali bermula dari hal-hal kecil. Namun, jika mereka tidak memiliki cetak biru manajemen dan resolusi konflik yang baik, hal-hal kecil sering kali membuncah menjadi konflik dan perpecahan.

Harapan terkembang

Harapan perbaikan kondisi politik sempat mengembang ketika NU dan Muhammadiyah mendeklarasikan komitmen bersama untuk melakukan jihad melawan korupsi pada awal dekade 2000-an. Keduanya bahkan telah memformalkan jalinan kerja sama dalam gerakan antikorupsi tahun 2013 melalui penerapan pilot project reformasi internal NU dan Muhammadiyah untuk implementasi sistem akuntabilitas dan transparansi dalam organisasi dan badan otonom di bawah naungan masing-masing. Namun, setelah itu, gaungnya tak terdengar lagi.

Oleh karena itu, ada baiknya NU dan Muhammadiyah mempertimbangkan kembali strategi jaga jarak dengan politik praktis sekaligus menafsirkan ulang makna khitah perjuangan keduanya. Memang keterlibatan ormas Islam tak harus dimaknai sebagai "terjun bebas" ke gelanggang politik praktis. Selain itu, keterlibatan keduanya juga bukanlah sebentuk proyek islamisasi terselubung (disguised islamization) melalui politisasi simbol-simbol keagamaan atau fenomena syariahisasi seperti kasus perda syariah di beberapa daerah.

Bentuk-bentuk intervensi politik yang mungkin dapat direkomendasikan melalui dua muktamar mendatang adalah 1) perumusan kaidah-kaidah tata negara yang sejalan prinsip good and clean governance modern; 2) menyiapkan kader-kader muda sebelum mereka memasuki gelanggang politik-kekuasaan sebagai aktivis parpol, anggota parlemen ataupun lembaga kenegaraan melalui program pelatihan berjenjang dan terstruktur; 3) melakukan advokasi dan pendampingan terhadap semua lapisan masyarakat tentang pola hidup yang sesuai nilai keadaban publik, tertib sipil, dan masyarakat madani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar