Nasib Manusia Perahu Rohingya
Inayatullah Hasyim ; Dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda,
Bogor
|
KORAN TEMPO, 15 Juni 2015
Jika Anda berada di
tengah lautan, berlayar tanpa tujuan yang jelas, tidak ada makanan, air,
obat-obatan, dan selimut yang memadai, apa yang akan Anda lakukan ketika
anak-anak Anda yang bepergian bersama Anda menangis, kelaparan, dan mati
perlahan-lahan? Itulah fakta dari "manusia perahu" Rohingya
hari-hari ini. Mereka "terdampar" di laut selama berbulan-bulan. Dan
ketika kapal mereka mendekati wilayah perairan Thailand, Malaysia, dan
Indonesia, bangsa-bangsa "beradab" di ketiga negara ASEAN itu
menolak menerima mereka.
Sulit untuk
membayangkan, di tengah-tengah gelombang menderu, ribuan anak-anak menjerit
meminta bantuan dan tidak ada yang bisa (atau peduli) mendengar. Perahu
mereka mulai retak, dan negara-negara "beradab" menolak membawa
mereka ke darat. Beberapa orang di perahu itu mencoba mengundi nasib mereka
dengan melompat ke laut, tapi laut tentu tidak cukup ramah bagi orang-orang
yang tak pandai berenang.
Itulah yang terjadi
pada ribuan orang Rohingya pengungsi. Menurut data dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa, ada 120 ribu orang Rohingya yang melarikan diri dari kampung
halaman mereka. Umumnya mereka berlayar dengan perahu darurat melalui Laut
Andaman, India, untuk mencari suaka di negara yang bersedia menerima mereka.
Untuk beberapa waktu, Australia adalah tujuan terbaik. Tapi sejumlah kapal
yang mereka tumpangi akhirnya berlayar tanpa arah.
Orang-orang Rohingya
adalah kelompok etnis Indo-Arya yang hidup di Rakhine Utara (Arakan). Menurut
para ahli sejarah, mereka adalah penduduk asli di Negara Bagian Rakhine,
sedangkan sejarawan lain mengklaim bahwa mereka bermigrasi ke Myanmar dari
Bengal, terutama selama masa pemerintahan kolonial Inggris, dilanjutkan
setelah kemerdekaan Burma pada 1948 dan perang pembebasan Bangladesh pada
1971.
Setelah perang
Anglo-Burma pada 1826, Inggris menganeksasi Arakan dan mendorong migrasi
besar-besaran Bengal untuk bekerja sebagai buruh tani. Sampai tahun 1869,
populasi muslim diperkirakan baru 5 persen dari populasi Arakan, meskipun
perkiraan untuk tahun sebelumnya memberikan angka yang lebih tinggi. Sensus
Inggris berturut-turut pada 1872 dan pada 1911 mencatat kenaikan populasi
muslim dari 58.255 menjadi 178.647 di distrik Akyab.
Pada 1982, pemerintah
Jenderal Ne Win dari Myanmar memberlakukan Undang-Undang Kewarganegaraan yang
menegasikan hak-hak kewarganegaraan Rohingya. Sejak 1990-an, masyarakat
muslim di Arakan disebut dengan istilah "Rohingya" untuk membedakan
mereka dari suku mayoritas Myanmar.
Pada 2013, sekitar 735
ribu orang Rohingya tinggal di Myanmar. Mereka tinggal terutama di kota-kota
Rakhine Utara, di mana mereka membentuk 80-98 persen dari populasi. Media
internasional dan organisasi hak asasi manusia menilai Rohingya sebagai salah
satu minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Untuk memahami dan
membantu mengatasi masalah ini, pemerintah Indonesia dapat memainkan peran
dalam tiga pendekatan.
Pertama, menyelamatkan
nyawa orang Rohingya pada prioritas pertama. Sejauh ini, kami senang untuk
mencatat bahwa pemerintah Jokowi telah menerima mereka "mendarat"
di Aceh.
Kedua, kita mengakui
bahwa keminoritasan Rohingya terjadi pada dua sisi: agama dan suku. Sedihnya,
mereka menghadapi rezim diktator militer di negara mereka. Dan, ketika rezim
diktator mulai membuka pintu, antara lain melalui upaya Wakil Presiden Jusuf
Kalla yang mengunjungi Myanmar beberapa tahun yang lalu, masyarakat
internasional harus bekerja saling membantu untuk menekan pemerintah junta
supaya mengenali hak-hak sipil Rohingya. Usulan Profesor Yusril Ihza Mahendra
agar pemerintah Indonesia mengambil inisiatif menyelenggarakan konferensi
internasional tentang Rohingya sungguh menarik.
Awalnya, kita berharap
bahwa Aung San Suu Kyi, peraih hadiah Nobel Perdamaian, dapat menjadi
jembatan untuk pengakuan masyarakat Rohingya. Namun Suu Kyi terjebak dalam
politik praktis. Dia menghitung "untung-rugi" untuk mengakomodasi
Rohingya dalam agenda politiknya.
Sekarang harapan kita
berada di bahu Presiden Jokowi dalam membantu menyelesaikan masalah
kemanusiaan Rohingya. Sebagai sesama anggota ASEAN, Indonesia dapat
"menekan" junta militer di Myanmar untuk mengakui hak-hak sipil
Rohingya. Saya percaya, para jenderal di pemerintah Myanmar akan mendengarkan
suara pemerintah Indonesia. Antara lain dengan bersegera menyelenggarakan
konferensi internasional.
Ketiga, pemerintah
Indonesia dapat memberi "pelajaran" kepada pemerintah Myanmar. Kita
berharap Myanmar membuka mata untuk menerima kenyataan bahwa Rohingya adalah
bagian dari warga negara mereka, dan segera mencabut undang-undang yang
dikeluarkan Jenderal Ne Win tersebut.
Untuk menutup tulisan
ini, kita berharap bahwa ASEAN mampu menghentikan budaya manusia perahu
seperti ini. ASEAN wajib menyadarkan Myanmar bahwa dunia sudah sangat global,
dan junta-militer Myanmar masih berpikir sebagai etnis tunggal di negaranya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar