Merajut
Masyarakat Pancasilais
Agus Maimun ; Sekretaris
Karang Taruna Jawa Timur;
Anggota Fraksi PAN DPRD Jawa Timur
|
JAWA POS, 01 Juni 2015
KEHIDUPAN berbangsa dan bernegara akhir-akhir
ini sedang dilanda krisis multidimensi. Dalam aspek politik, sistem demokrasi
cenderung berlandasan liberalisme. Dalam aspek ekonomi mengikuti arus pasar
yang menuhankan laissez faire (pasar bebas). Dalam aspek budaya, perilaku
hedonistis atau kebarat-baratan semakin merajalela. Praktik-praktik yang
dijalankan tersebut –dalam bermasyarakat maupun dalam mengelola negara–
semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila.
Akibat salah kelola terhadap negara, tak heran
kekayaan sumber daya alam di Indonesia gagal difungsikan untuk
menyejahterakan rakyatnya. Kehadiran pemerintah seakan tak ada artinya. Di
masyarakat terjadi hal tak seimbang dan tak sederajat berupa hubungan
tuan-hamba, majikan-buruh, dan kaya-miskin.
Padahal, untuk menjadi bangsa adidaya, tidak
ada cara sela in membentuk masyarakat Pancasilais. Upaya untuk membentuk
individu atau manusia Pancasilais membutuhkan kerja keras. Karakter manusia
Indonesia sudah sangat rapuh. Mochtar Lubis dalam ceramahnya pada 6 April
1977 di Taman Ismail Marzuki mendeskripsikan manusia Indonesia dengan
ciri-ciri hipokrit alias munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal,
percaya takhayul, berwatak lemah, dan ciri lainnya seperti tidak hemat serta
pemalas.
Karakter manusia Indonesia yang demikian
tampaknya telah melahirkan masyarakat Indonesia yang takut pada bayangannya
sendiri, ilutif, dan inlander. Mereka memuja peradaban luar tanpa
menyinergikan dengan peradaban Nusantara. Mereka mentradisikan isme-isme luar
tanpa mengontekstualisasikannya dengan national
wisdom (kearifan nasional) atau local
wisdom (kearifan lokal atau daerah).
Jika karakter demikian masih dipertahankan,
bukan tidak mungkin bangsa Indonesia akan semakin bobrok. Upaya untuk
menjadikan bangsa Indonesia berdaulat secara politik, berkepribadian dalam
kebudayaan, dan mandiri secara ekonomi juga akan semakin berat.
Karena itu, karakter manusia Indonesia yang
dideskripsikan Mochtar Lubis harus diubah dengan karakter manusia Indonesia
yang Pancasilais. Cara mengubahnya dengan menabur pemikiran Pancasila dalam
setiap diri manusia Indonesia.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
sendiri merupakan cerminan dari bangsa yang diidamkan Soekarno yang
diutarakan dalam bentuk trisaktinya. Ini lantaran dalam Pancasila
terdeskripsikan secara tersirat identitas kebudayaan, politik, dan ekonomi
bangsa Indonesia.
Sila pertama hingga ketiga merupakan cerminan
keagamaan (teisme), kemanusiaan (humanisme), dan persatuan (nasionalisme).
Keagamaan yang berciri saling menghormati dan menjunjung tinggi pluralitas
agama. Kemanusiaan yang berlandasan hak dasar dari manusia berupa kemerdekaan
diri dan jiwa bagi setiap manusia. Dan persatuan yang saling mengikat satu
sama lain dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Sila pertama hingga ketiga
inilah yang merupakan identitas budaya Indonesia.
Adapun sila keempat merupakan panduan dalam
berdemokrasi. Demokrasi yang diinginkan adalah demokrasi Pancasila yang
berfondasi musyawarah; berciri pertarungan ide, visi, dan gagasan. Bukan
demokrasi liberal yang menyertakan uang (money
politics). Inilah sesungguhnya identitas bangsa Indonesia yang bisa menjadikannya
berdaulat secara politik.
Mengenai sila kelima, nilai sosialisme
terkandung di dalamnya. Bukan kepentingan pribadi, bukan kepentingan
kelompok, yang diprioritaskan. Melainkan kepentingan rakyat dan negara yang
diutamakan. Dengan begitu, bangsa Indonesia akan mandiri secara ekonomi.
Semua nilai yang terkandung di dalam Pancasila
tersebut tak bisa dipisahkan. Kelimanya saling terkait, saling tergantung
satu sama lain, dan harus ditradisikan secara bersamaan. Ibarat organ tubuh,
satu saja sakit dan tidak berfungsi, semuanya akan merasa kesakitan.
Mohammad Hatta (mantan wakil presiden RI) juga
pernah mengilustrasikan bahwa demokrasi politik tanpa diikuti demokrasi
ekonomi hanya akan jadi persoalan. Era reformasi yang menginginkan
keterbukaan dalam berpolitik gagal menyejahterakan publik. Bukannya
menyejahterakan publik, demokrasi politik justru terjebak pada demokrasi
liberal sehingga dalam aspek ekonomi juga terjadi liberalisme. Akibatnya,
lahir sekelompok elite yang menguasai sumber-sumber kekayaan negara.
Karena itu, sebagai
dasar negara dan merupakan warisan luhur dari founding father bangsa, hari kelahiran Pancasila 1 Juni ini dapat
dijadikan momentum untuk benar-benar menghidupkan katakata yang ada dalam
Pancasila sebagai tindakan nyata. Mengutip ungkapan filsuf Friedrich
Nietzsche (1844–1990), kunci keberhasilan bangsa ditentukan komitmen
menghidupkan dan menyalakan kata-kata menjadi kata kerja (tindakan nyata).
Tugas tersebut bukan hanya tugas pemerintah. Seluruh komponen bangsa harus
turut serta dalam mewujudkan masyarakat Pancasilais. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar