Memulai Lagi Reformasi Kepolisian
Adrianus Meliala ; Kriminolog FISIP UI;
Komisioner pada Komisi Kepolisian
Nasional
|
KOMPAS, 13 Juni 2015
Hari-hari ini
menghangat lagi perdebatan tentang perlunya kepolisian direformasi (kembali).
Hal ini terkait dengan langkah kepolisian menyidik mantan penyidiknya
sendiri, Novel Baswedan.
Publik tak percaya
bahwa langkah itu adalah langkah hukum, yang perlu segera dilakukan menjelang
kedaluwarsanya laporan polisi yang dibuat masyarakat tentang kasus itu.
Sebaliknya, kuat persepsi bahwa itu adalah langkah Polri untuk, lagi-lagi,
menyerang Komisi Pemberantasan Korupsi melalui proses hukum yang secara
populer disebut dengan "kriminalisasi."
Menarik bahwa
masyarakat seperti mengabaikan begitu banyak permasalahan yang dihadapi
kepolisian, plus berbagai kesalahan kepolisian saat bertugas, dan
"memilih" kasus Novel guna dijadikan pengungkit bagi perlunya
reformasi. Menurut penulis, itu membuktikan masih kuatnya persepsi bahwa KPK
adalah lembaga superbody yang tak bisa salah dan tak bisa disentuh hukum
sekalipun.
Terlepas dari
proporsional atau tidaknya tuntutan itu, penulis menganggap selalu bermanfaat
untuk sesekali mengangkat isu reformasi dalam kepolisian. Ini seiring
anggapan penulis bahwa kepolisian mulai terbiasa dalam iramanya sendiri,
business as usual. Hampir tidak ada lagi personel kepolisian yang kini masih
bicara reformasi, sebagaimana menjadi substansi gerakan Reformasi 17 tahun
lalu.
Tiga cara
Terdapat tiga cara
pandang melihat reformasi dalam suatu organisasi seperti kepolisian. Pertama,
dengan pendekatan kontinum atau sekuensial. Perubahan dalam organisasi dibagi
tahap demi tahap dan dilihat dari waktu ke waktu. Ada kemungkinan terjadi
perubahan ke arah yang lebih baik, ada kemungkinan pula sebaliknya.
Kedua, pendekatan
komprehensif. Walau hanya melihat dalam kurun waktu singkat (biasa disebut
moment opname), namun obyek dikaji secara menyeluruh. Berbagai tugas pokok
dan fungsi dipertimbangkan, demikian pula asupan sumber daya berikut berbagai
variabel yang sering kali menjadi pengganggu eksternal kepolisian. Melalui
metode ini, konklusi yang dicapai kiranya lebih adil dan berimbang.
Ketiga, pendekatan
snapshot. Seperti halnya dunia fotografi, maka sebagian kecil dari suatu
obyek besar diabadikan dan dihadirkan seolah-olah obyek yang utuh. Dengan
metode zoom (di mana sosok obyek
seolah dibesarkan) dan metode cropping (di mana bagian tak penting menyangkut
obyek dapat dipotong), maka terjadi suatu penonjolan yang tak proporsional
dari suatu hal. Hal ini pada waktu bersamaan menenggelamkan berbagai hal di
seputar obyek itu.
Kiranya, yang terjadi
di seputar tuntutan reformasi kepolisian hari-hari ini pada dasarnya
berangkat dari pendekatan snapshot ini. Sebaliknya, jika dipergunakan
pendekatan kontinum atau pendekatan komprehensif, situasi kepolisian dewasa
ini tidaklah sejelek yang dibayangkan. Banyak hal sebenarnya sudah berubah
menyangkut pelayanan kepolisian, jauh lebih baik dibandingkan waktu yang
lalu.
Reformasi pada
dasarnya adalah konsep pergerakan, yang dalam konteks Indonesia, berangkat
dari apa yang dicetuskan Amien Rais saat terjadi gerakan massa yang
menggulingkan pemerintahan Soeharto tahun 1998. Pelepasan Polri dari ABRI
adalah salah satu tuntutan yang digulirkan massa ketika itu melalui Lima
Tuntutan Reformasi.
Begitu Polri berhasil
keluar dari ABRI, berdasarkan TAP MPR Nomor 6 dan 7 Tahun 2000, Polri pula
yang kemudian menjadi lembaga negara pertama yang menangkap isu reformasi
guna melakukan perubahan dalam dirinya. Ada tiga hal yang kemudian menjadi
agenda reformasi kepolisian, yakni perubahan menyangkut aspek struktural,
aspek kultural, dan aspek instrumental.
Menarik jika mengamati
kecepatan Polri mengklaim bahwa perubahan terkait aspek struktural dan
instrumental sudah selesai tahun 2002-an. Aspek struktural, konon ditandai
dengan keluarnya Polri dari ABRI dan ditempatkannya Polri di bawah Presiden.
Polri tampaknya amat gembira dengan situasi itu dan melihatnya sebagai
struktur yang sudah final. Sementara, menyangkut aspek instrumental, juga
dengan cepat dicapai melalui penghapusan hal-hal yang berbau militer dari
berbagai peraturan, petunjuk teknis bahkan juga dari buku pelajaran para
calon polisi. Bisa dikatakan, perubahan pada dua aspek itulah yang banyak
menyumbang perbaikan Polri jika reformasi dilihat secara kontinum ataupun
secara komprehensif.
Adapun aspek kultural,
hingga kini tak satu orang pun di lingkungan Polri mengakui aspek ini sudah
berhasil diubah. Dengan kata lain, kultur Polri masih begitu-begitu saja:
feodal dan patrimonial. Ketidakberhasilan mengubah kultur ini sebenarnya bisa
dimengerti sebagai berikut: Reformasi di Polri praktis dijalankan oleh orang
dalam. Maka, cukup wajar apabila orang dalam itu hanya mereformasi hal-hal
yang tak menyenangkan bagi dirinya (dalam hal ini banyak mencakup aspek
struktural dan instrumental). Sementara hal yang menyenangkan (sebagaimana
terdapat dalam aspek kultural), dibiarkan saja. Itulah kelemahan pola self
driven-reform atau reformasi yang digerakkan sendiri.
Reformasi teknokratis
Pada 2005, setelah
kepolisian mengeluarkan dokumen yang dikenal luas dengan nama Grand Strategy Polri 2005-2025, maka
praktis reformasi kepolisian sebagai sebuah gerakan berhenti. Selanjutnya
digantikan dengan suatu pola baru, yang oleh penulis disebut reformasi
teknokratis. Grand Strategy dimulai
dari tahapan trust building,
disusul tahapan kedua partnership
building, dan diakhiri dengan tahap akhir strive for excellence. Sebagai reformasi teknokratis, Grand Strategy sepenuhnya mengandalkan
pendekatan khas negara, yakni berubah, namun dalam koridor tata laksana
kelembagaan, tata aturan dan kewenangan, SDM dan anggaran.
Sebagai turunan dari Grand Strategy, terdapat rencana
strategis lima tahunan dan dirinci lagi menjadi kegiatan tahunan yang, sekali
lagi, sepenuhnya mengikuti pola perencanaan, pola penganggaran dan pembiayaan
negara.
Sebagai reformasi
teknokratis, perubahan bukan lagi sesuatu yang berangkat dari passion atau
getaran hati dari orang-orang yang menginginkan terjadinya suatu situasi yang
lebih baik. Melainkan, berangkat dari telah digunakannya sejumlah dana negara
dan harus tercapainya kinerja sebagaimana direncanakan. Sesuai julukannya,
yakni Reformasi Birokrasi Polisi (RBP), yang terjadi pada era ini adalah
reformasi di tubuh birokrasi, yang berjalan seiring dengan kebijakan
pemerintah. Apabila ada yang menyimpang, maka sebagaimana telah dialami
beberapa petinggi Polri, label sebagai koruptor akan mereka sandang. Jadi,
amat salah jika dikatakan kepolisian tidak mereformasi diri. Yang berbeda
adalah, pasca 2005, reformasi lebih banyak berlangsung internal dan tidak
banyak hura-hura.
Namun, reformasi
teknokratis ini bukannya tanpa kelemahan. Seperti halnya birokrasi pada
umumnya yang sering kali mengidap penyakit "seolah-olah bekerja",
itu pula yang terjadi di kepolisian. Indikasi "ada yang berubah, padahal
tidak", gampang ditemui di beberapa satuan kerja. Apalagi setelah
kegiatan terkait RBP diberikan struktur tersendiri, dengan pengendali
berpangkat brigjen pula, maka passion reformasi sebagaimana terlihat 17 tahun
lalu tak terlihat lagi. Reformasi kini mirip kegiatan catat-mencatat rutin
dan mungkin bisa dipoles sana-sini.
Banyak sekali gaya
bekerja di lingkungan Polri yang tak berubah walau ilmu manajemen modern
telah bisa membantu. Banyak pula cara bekerja yang seharusnya sudah kian
mudah terkait keberadaan teknologi informasi, namun tetap dibuat sulit karena
satu dan lain hal. Apakah untuk mengubah itu semua tak terdapat item program
berikut sejumlah kegiatan yang didukung anggaran? Tentu saja ada. Namun, pada
akhir tahun anggaran, tetap saja tak ada yang berubah. Kalaupun ada, itu
lebih karena faktor pemimpin yang memiliki visi. Saat pemimpin berganti,
situasi berubah kembali.
Salah satu yang
disinyalir tak berubah adalah kegiatan penyidikan. Pola kerja yang terlalu
personal alias yang menempatkan penyidik sebagai dewa di mata tersangka, tak
kunjung berubah. Padahal, sudah banyak diakui, situasi itulah yang
menimbulkan mulai dari korupsi hingga kekerasan. Cara bekerja yang masih
manual di kalangan penyidik, juga menjadikan banyak hal bisa kedodoran. Ini
misalnya terlihat saat penyidik menangani kasus Novel. Jika kasus yang
memperoleh perhatian seperti ini saja penyidiknya kedodoran, bisa dibayangkan
apa yang terjadi pada 20.000-an kasus lainnya yang ditangani Polri per
tahunnya.
Menyadari itu, maka
menyuarakan kritik masyarakat kepada Polri agar berubah, tentu saja tetap
perlu dan baik adanya. Reformasi pada dasarnya soal kemauan diri sendiri
untuk berubah ke arah yang lebih baik. Misalnya, kemauan untuk tak berlindung
di balik formalisme hukum dan mengabaikan keadilan substansial. Atau, kemauan
memaksimalkan dampak dari program-program pembelian barang dan peralatan yang
mahal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar