Senin, 08 Juni 2015

LHKPN dan Penyelenggara Negara

LHKPN dan Penyelenggara Negara

W Riawan Tjandra  ;   Pengajar Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KOMPAS, 08 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dan Pasal 2 PP No 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara merupakan kewajiban yang tak boleh dielakkan oleh setiap orang yang menduduki jabatan penyelenggara negara.

Sebagai suatu kewajiban jabatan, pelanggaran terhadap norma hukum itu dapat dikenai sanksi jabatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mulai dari sanksi etik bahkan sanksi pidana.

Dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tersebar berbagai kewajiban yang mutlak harus ditaati setiap aparatur sipil negara, mulai dari norma etik (ethical norm) sampai dengan norma hukum (legal norm) bagi setiap aparatur sipil negara terutama melekat kewajiban untuk memberikan kepeloporan bagi aparatur sipil negara yang memegang jabatan pimpinan tinggi.

Demikian pula dalam UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur dengan tegas bahwa setiap pejabat pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan tak boleh melanggar peraturan perundang-undangan sebagai norma hukum tertulis (written law) maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai norma hukum tak tertulis (unwritten law).

Mekanisme pelaporan

Sebagaimana diberitakan oleh banyak media massa termasuk Kompas, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso menyarankan agar mekanisme Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) diubah. Bukan lagi penyelenggara negara yang melaporkan, melainkan institusi penegak hukum yang menelusurinya (Kompas, 29/5/2015).

Bahkan, diberitakan pula di banyak media massa bahwa yang bersangkutan hingga kini juga tak kunjung menyerahkan LHKPN kepada KPK sebagaimana diperintahkan perundang-undangan bagi setiap penyelenggara negara tanpa kecuali.

Lahirnya UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN merupakan amanat reformasi 1998 yang kemudian ditetapkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Fondasi norma hukum yang mengatur kewajiban bagi setiap penyelenggara negara untuk menyerahkan LHKPN kepada KPK sebelum dan setelah menjabat diletakkan di atas beberapa prinsip pokok yang perlu diperhatikan penyelenggara negara.

Pertama, secara konstitusional, kewajiban untuk menyerahkan LHKPN bagi setiap penyelenggara negara merupakan norma hukum yang oleh konstitusi yang bermaksud membangun tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa, checks and balances dan demokrasi, dianggap penting secara konstitusional (constitutionally important).

Kedua, Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 yang dijadikan rujukan dalam pembentukan UU Nomor 28 Tahun 1999 selama ini merupakan intermediate factor bagi keefektifan penegakan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Maka, kewajiban menyerahkan LKHPN menjadi kunci untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perilaku jabatan dari setiap penyelenggara negara.

Penolakan menyerahkan LKHPN mestinya bisa menjadi indikasi bagi penegak hukum untuk meningkatkan pengawasan efektif, apalagi dalam UU Tipikor dianut asas pergeseran beban pembuktian (shifting burden of proof) yang mewajibkan bagi tersangka tipikor untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tipikor dalam persidangan (Pasal 37, 37A, 38 A-C UU Tipikor). Secara a contrario, dapat dikatakan bahwa justru melalui LHKPN yang diserahkan di awal dan akhir jabatan penyelenggara negara dapat menjadi pembuktian mengenai perilaku bersih bagi setiap penyelenggara negara baik sebelum, selama, maupun setelah menjabat sebagai penyelenggara negara agar tak perlu diterapkan UU Tipikor.

Buktikan bersih

Dengan kata lain, benarlah slogan yang menyatakan "Jika bersih, mengapa harus risi?" Ketiga, menolak mematuhi norma hukum dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 yang merupakan mandat dari Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 sama halnya dengan mencabut ruh reformasi 1998. Hal itu jika dibiarkan akan menjadi preseden buruk yang menyebabkan kian lemahnya upaya membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Keempat, penolakan oleh siapa pun penyelenggara negara untuk menyerahkan LHKPN selain secara hukum tetap dapat dikenai sanksi administratif berupa pemberhentian dari jabatan, sanksi etik, maupun sanksi pidana, juga dapat meruntuhkan kewibawaan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang berupaya membangun citra publik melalui revolusi mental sebagai fondasi dari Nawacita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar