Laporan Diskusi Kompas-NU (2)
Islam, Demokrasi, dan Jalan
Tengah
|
KOMPAS, 16 Juni 2015
Islam berkembang pesat
di Indonesia karena pengaruh para ulama sufi yang tidak memiliki kepentingan
duniawi seperti politik, kekuasaan, dan kedudukan. Kehadiran kaum sufi yang
menyebarkan Islam secara damai ini menjadi cikal bakal lahirnya ummatan
washatan sebagai kelompok mayoritas Islam di Indonesia.
Dalam pemikiran Islam
kontemporer, konsep ummatan washatan sering disejajarkan atau diidentikkan
dengan Islam washatiyyah, atau Islam yang berada di tengah, tidak berada
dalam kutub ekstrem dalam pemahaman dan pengamalannya.
Aktualisasi ummatan
washatan yang sudah dimulai sejak penyebaran Islam di Indonesia pada akhir
abad ke-12 ini menemukan aspek pentingnya, antara lain, dalam bentuk negara
Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Para pendiri bangsa yang
berasal dari kalangan nasionalis dan Islam bersepakat menjadikan Indonesia
bukan negara sekuler, sekaligus juga bukan negara agama.
Di tingkat hidup
kemasyarakatan, ummatan washatan terwujud dalam berbagai organisasi massa
(ormas) Islam, yang umumnya berdiri sejak sebelum kemerdekaan RI, misalnya
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Ormas ini mengambil jalan tengah, bukan
hanya dalam pemahaman dan praksis keagamaannya, melainkan juga dalam sikap
sosial, budaya, dan politik.
Pilar
Kehadiran ormas
seperti NU makin berperan penting dalam kehidupan bangsa Indonesia karena
ormas itu tak hanya bergerak di bidang dakwah atau pendidikan pesantren,
tetapi juga menjadi bagian dari gerakan masyarakat sipil.
Sebagai bagian dari
gerakan masyarakat sipil, dalam kehidupan sehari-hari, ormas-ormas itu
berperan penting sebagai jembatan mediasi antara negara dan rakyat. Ormas
tersebut juga berperan penting dalam menjaga kohesi sosial, terutama saat
terjadi kekacauan politik. Sejumlah penelitian menunjukkan,
pemikiran-pemikiran yang disebarluaskan oleh ormas-ormas tersebut mampu
mencegah umat mengalami disorientasi dan bertindak anarkistis.
Ormas ini juga
berperan dalam memberikan kepemimpinan alternatif saat terjadi kekacauan
politik. Hal ini, misalnya, terlihat dalam kemunculan Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) sebagai Presiden RI pada tahun 1999. Saat itu, tak ada yang berani
melawan Gus Dur ketika dia, misalnya, memerintahkan militer kembali ke barak.
Ini karena di belakang Gus Dur ada puluhan juta nahdliyin.
Fenomena ini tak
terjadi di negara lain seperti Mesir. Tiadanya kekuatan penengah atau
penyeimbang membuat konflik rawan muncul di negara itu. Di Mesir memang ada
gerakan masyarakat sipil, tetapi dalam bentuk asosiasi profesional seperti
asosiasi guru dan dokter yang tak terlibat dalam urusan sosial politik.
Mereka hanya tertarik kepada masalah seperti kenaikan upah.
Hal yang lebih
istimewa, ormas seperti NU dan Muhammadiyah memiliki komitmen yang penuh
kepada Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika,
dan UUD 1945. Rais Aam Syuriah PBNU tahun 1984-1991 (alm) KH Achmad Shiddiq
bahkan pernah menyatakan, Pancasila merupakan bentuk final perjuangan Islam
di Indonesia.
Penguatan
Sejarah menunjukkan,
Islam di Indonesia juga berperan aktif dalam penegakan demokrasi. Suksesnya
penyelenggaraan Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014 menjadi bukti
kompatibilitas Islam dan demokrasi. Hal ini karena kaum Muslim menjadi
partisipan aktif dalam proses politik demokrasi tersebut.
Pelaksanaan demokrasi
di Indonesia tak bermusuhan dengan agama karena sila pertama Pancasila adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, pada saat yang sama, Indonesia bukan negara
agama.
Kondisi ini membuat
Vali Nasr, Guru Besar Program Pasca Sarjana Perguruan Tinggi Angkatan Laut
Amerika, menuturkan, Islam RI menjadi model yang sangat baik untuk melihat
hubungan Islam dan demokrasi. Tantangan umat Islam Indonesia saat ini adalah
memberikan kontribusi kepada penguatan demokrasi secara global.
Di tengah menjawab
tantangan tersebut, saat ini, memang ada sekelompok orang yang mencoba
menularkan paham radikal atau ekstrem di Indonesia, yang berbeda dengan wajah
Islam di Indonesia saat ini yang dikenal damai, toleran, dan moderat.
Ada keyakinan bahwa
Indonesia bukan tanah subur bagi radikalisme. Hal ini disebabkan mayoritas
masyarakat Indonesia menyukai Islam yang "berbunga-bunga". Ini
terlihat dari kebiasaan masyarakat yang kerap menggelar syukuran dengan
mengundang kerabat dan warga sekitar untuk berdoa dan makan bersama untuk
acara-acara seperti sunatan anak, perkawinan, kelulusan sekolah anak, serta
berdoa saat peringatan kematian anggota keluarga.
Meski demikian,
kewaspadaan tetap diperlukan. Penguatan wajah Islam Indonesia perlu terus
dilakukan. Kehadiran dan peran serta ormas seperti NU tetap dinanti dan
dibutuhkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar