Drama Pergantian Jabatan
Chappy Hakim ; KASAU Tahun 2002–2005
|
KORAN SINDO, 20 Juni 2015
Tanggal 9 Juni 2015
pimpinan DPR menerima surat yang menjelaskan bahwa Presiden Republik
Indonesia memilih Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Gatot
Nurmantyo sebagai calon tunggal pengganti Jenderal Moeldoko.
Surat tersebut
merupakan bab penutup dari rangkaian penjelasan yang disampaikan sebelumnya
oleh beberapa orang pejabat antara lain Menteri Sekkab Andi Wijayanto dan
Wapres Jusuf Kalla.
Penjelasan-penjelasan
tersebut pada hakikatnya mengemukakan penekanan yang kuat tentang hak
prerogatif Presiden dan penafsiran subjektif mengenai tidak atau ada
ketentuan yang mengharuskan bahwa jabatan panglima TNI itu “harus”
bergiliran.
Dari penjelasan para
pejabat itu, sebenarnya sudah jelas apa makna yang terkandung di dalamnya
yaitu bahwa panglima TNI bukan atau tidak akan berasal dari Angkatan Udara.
Pandangan orang awam yang lugu, karena TNI itu adalah AD, AL dan AU,
pemikiran logis dan masuk akal, panglima TNI adalah sama dan sebangun yaitu
AD, AL, dan AU. Dengan demikian, setelah dijabat AD, logikanya adalah AU,
karena sebelumnya adalah dari AL.
Nah, untuk
memutarbalikkan logika dan pemikiran yang masuk akal itu memang diperlukan
penjelasan yang dapat “memaksa” orang maklum dan memahaminya. Tidak juga ada
yang salah dengan hal tersebut karena “politik” memang sulit untuk dapat
dipahami oleh akal sehat, pemikiran logis, dan lugu orang awam.
***
Sah dan biasa-biasa
juga tentunya mengenai hal tersebut karena politik orientasinya adalah semata
kekuasaan yang kalau perlu dapat saja mengabaikan logika dan bahkan etika.
Tetapi, ada hal yang sangat tidak mendidik dalam episode perjalanan proses
pergantian panglima TNI selama ini.
Seharusnya pada setiap
prosesi pergantian jabatan panglima TNI jangan sampai secara telanjang selalu
terbuka pada semua prajurit dan bahkan semua orang tentang terjadinya
“rebutan” jabatan yang sayup-sayup terdengar telah terjadi di balik layar.
Pernyataan kedua
pejabat itu telah mengantarnya ke atas permukaan, pernyataan yang
merefleksikan apa gerangan yang tengah terjadi. Sekali lagi, sangat tidak
mendidik. Bayangkan para prajurit yang dengan sukarela telah mempersembahkan
jiwa dan raganya untuk mengabdi negeri ini dan telah dituntut selalu berada
dalam lingkup yang penuh disiplin dengan mengembangkan jiwa ksatria dan sikap
patriotisme, kemudian melihat dengan terang benderang pada setiap pergantian
panglimanya, terjadi “perebutan” yang melibatkan pejabat-pejabat penting
negara. Sungguh sesuatu yang sangat kontradiktif yang secara sengaja atau
tidak telah terhidang secara terbuka di haribaan masyarakat luas.
Jabatan panglima TNI
telah telanjur “hanya” dilihat dari sisi kekuasaan lengkap dengan atribut
“privilese” yang mengikutinya belaka. Apabila “jabatan” dilihat juga dari
sisi tuntutan tanggung jawab dan tugas berat yang harus diemban,
dipastikan hal
tersebut akan menghilangkan selera untuk memperebutkannya seperti yang
terjadi pada banyak kasus pelanggaran HAM misalnya. Dengan demikian,
“giliran” atau harus “bergantian” akan menjadi satu keniscayaan karena bila
sudah terhubung dengan masalah tanggung jawab, kebanyakan orang lebih memilih
untuk menghindar, hal yang sangat manusiawi sekali.
***
Memperjuangkan
kesetaraan dan keadilan angkatan dalam konteks peningkatan esprit de corps TNI secara keseluruhan
tidaklah mudah. Dalam periode 2002 sampai 2005, panglima TNI bersama jajaran
kepala staf angkatan sudah cukup berhasil mengelola dengan baik (walau
kemudian ternyata tidak berlanjut) upaya ke arah itu. Jabatan bintang tiga
dibatasi hanya ada tiga (kasum, irjen TNI, dan sesko TNI) dan akan selalu
diisi berimbang dan merata darat, laut, udara, sesuai anatomi dari TNI
sendiri yang terdiri dari AD, AL, dan AU.
Pada era itulah pula
untuk pertama kali sepanjang sejarah negeri ini berdiri, AU diberi
kepercayaan memegang jabatan sekjen Dephan. Demikian pula untuk jabatan kasum
yang sudah puluhan tahun tidak pernah dijabat lagi oleh perwira AU.
Puncaknya, di bawah kepemimpinan Jenderal TNI Endriatono Soetarto, jajaran
pimpinan TNI berhasil meyakinkan Presiden SBY (keduanya dikenal sebagai
perwira AD yang memiliki visi) untuk memberikan kesempatan yang sama kepada
perwira AU yang merupakan bagian integral dari TNI menjabat sebagai panglima
TNI untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia.
Kesimpulannya,
kesetaraan dan keadilan dalam pengelolaan TNI sebagai sebuah Angkatan Perang
NKRI memang harus diperjuangkan bersama. Termasuk di dalamnya upaya untuk
menyebarluaskan melalui media, peristiwa Bawean yang dibantu oleh Saudara
Dudi Sudibyo dari salah satu harian nasional, agar seluruh rakyat Indonesia,
kemudian menyadari betapa negara kepulauan yang luas dan strategis ini sangat
memerlukan keberadaan sebuah kekuatan udara sebagai pengawal dirgantara Ibu
Pertiwi.
Demikian pula diskusi
yang intens dan tidak kenal lelah bersama Jenderal Endriartono dalam mencari
sosok yang tepat dan dapat diterima semua pihak untuk jabatan panglima TNI.
Pada akhirnya pemerintahan negeri ini berhasil untuk mendudukkan perwira AU
sebagai panglima TNI walau melalui proses yang tidak ringan termasuk fit and proper test di DPR yang
berlangsung lebih dari 12 jam. Proses yang tidak pernah dialami para calon
pejabat panglima TNI mana pun untuk panjang waktu yang memecahkan rekor itu.
Bahasa lugas dan jujur
yang berlandas Sumpah Prajurit dan Sapta Marga memang sangat mudah untuk
dimengerti dan dipaami. Keputusan sudah keluar, sebuah keputusan yang
pastinya berlandas pada kepentingan politik. Bila sudah memasuki ranah
politik, kata dan kalimat yang jelas pun dapat dengan mudah di
”goreng-goreng” untuk kemudian menimbulkan salah pengertian yang fatal.
Politik telah membuat
semua menjadi sulit dimengerti walau diberi embel-embel hak prerogatif
Presiden dan penilaian subjektif tentang tidak ada ketentuan yang
mengharuskan bergiliran atau bergantian. Politik memang kerap berada jauh
dari blantika etika dan sikap ksatria, apalagi masalah patriotisme.
Machiavelli berkata orientasi politik adalah kekuasaan, titik. Apa pun yang
terjadi, begitu keputusan sudah keluar, memang tidak tersedia pilihan bagi
prajurit sejati selain “siap laksanakan”. Panglima TNI dijabat oleh AD kembali.
Selamat dan semoga sukses selalu.
***
Tulisan ini jauh dari
sekadar upaya membela salah satu angkatan, tetapi lebih kepada membela
kepentingan TNI secara luas sebagai garda terdepan penjaga kedaulatan dan
kehormatan negara tercinta. Menjaga TNI agar terlepas dari kepentingan
pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan dan bahkan tidak jelas diketahui
hendak mengarah ke mana.
NKRI, sebagai sebuah
negara kepulauan terbesar di dunia dan terletak pada posisi yang sangat
strategis, sudah harus mulai melihat kenyataan sejarah. Negeri ini selama
ratusan tahun dan bahkan ribuan tahun lalu telah menjadi sapi perah kekuatan
asing yang dapat dengan mudah menduduki Nusantara, terutama sebagai akibat
dari wilayah Nusantara yang sampai sekarang tidak pernah memiliki kekuatan
armada laut yang mumpuni.
Peter Carey mengatakan
bahwa bangsa yang tidak mampu memetik pelajaran dari sejarahnya, dia akan
menjadi bangsa yang tidak tahu dari mana mereka berasal dan hendak ke mana
mereka akan pergi. Sistem pertahanan negara RI sebagai negara kepulauan sudah
harus didesain ulang sebanding dengan era perang modern yang harus menghadap
keluar dan terdiri dari kekuatan wilayah perairan yang memadai.
Angin segar telah
bertiup dari era pemerintahan baru dengan slogan terkenal “Poros Maritim
Dunia”. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat atas ide cemerlang itu, kemajuan
teknologi yang begitu cepat dan masif telah membuat kekuatan poros maritim
tanpa berjalan paralel dengan membangun air superiority dan air supremacy
pasti akan sia-sia belaka. David Ben Gurion menggaris bawahi, pada 1948 bahwa
“The high quality of Life, reach
culture, spiritual, economic and political independence are impossible
without Aerial Control”.
Keutuhan sebuah
Angkatan Perang dari satu negara kepulauan seperti Indonesia ini seyogianya
harus dapat terjaga. Harus terjaga steril dari kepentingan
perorangan-golongan dan atau kelompok tertentu. Apabila tidak, kita semua
akan terjerumus pada posisi yang disebut oleh Bung Karno sebagai bangsa kuli
dan atau kulinya bangsa-bangsa. Lebih dari itu, dalam dekade mendatang, perhatian
kepada geostrategi dan geopolitik dalam disain sistem pertahanan sebuah
negara sudah tidak cukup lagi. Aeropolitik dan Aerostrategi sudah muncul
sebagai aspek yang akan sangat menentukan dalam merumuskan strategi jangka
panjang yang penuh dengan tantangan ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar