Cicak
Sekecil Itu pun Dimusuhi
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN SINDO, 01 Juni 2015
Sebelum KPK lahir,
penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, boleh dikatakan sama sekali
tidak berjalan sebagaimana diharapkan seluruh rakyat Indonesia. Usaha
memberantas korupsi sudah ditempuh dengan berbagai cara. Lembaga-lembaga yang
diberi mandat memerangi korupsi dibentuk dengan niat yang sungguhsungguh dan
dipimpin tokoh-tokoh yang memiliki integritas moral yang tinggi, tapi
hasilnya sama sekali tak memuaskan.
Orang baik, orang
bersih, orang jujur tampil sebagai tokoh utama melawan korupsi, tapi mereka
boleh dikatakan tak berdaya. Mereka menjadi “panglima” dalam misi tersebut,
tetapi yang sebenarnya panglima bukan mereka, melainkan presiden. Tiap saat
ditemukan tindak pidana korupsi yang layak diberantas, para “panglima” itu
harus lapor dulu kepada presiden, menanti bagaimana tindakan presiden
selanjutnya. Tapi presiden tidak bertindak. Sang “panglima” tak diberi
kewenangan melakukan tindakan.
Jadi korupsi hanya
“ditemukan”, jumlah uang negara yang dikorup diketahui dengan pasti,
koruptornya sudah diperiksa dengan saksama oleh “panglima” tadi. Tindakan
selanjutnya tinggal memecatnya secara langsung dari jabatannya. Bila presiden
yang melakukannya, jelas pemecatan tak memiliki dampak hukum apa pun.
Presiden bisa membujuknya untuk mengundurkan diri dengan aman dan tak
dipermalukan, tapi uang hasil korupsinya segera dikembalikan kepada negara.
Aman sekali.
Jenderal Yusuf, orang
bersih dan tegas, setegas sifat-sifat etnisnya, etnis Bugis yang tak usah
diragukan, bila diberi kewenangan bertindak langsung oleh presiden, niscaya
semuanya beres. Tapi jenderal yang bersih dan tegas itu hanya diberi tugas
untuk turun ke lapangan dan melihat sendiri secara langsung bagaimana suatu
jenis korupsi dilakukan, tapi tak diberi tugas untuk mengambil tindakan.
Kabarnya jenderal itu
pernah geregetan dan marah kepada presiden, tapi presiden mengajaknya
tersenyum. Dan bubarlah tim pemberantasan korupsi. Tim basa basi yang tak
sepenuhnya bergerak dengan landasan politik dan moral yang jelas. Karena di
masyarakat orang mengeluh akan kejamnya korupsi, yang membuat yang kaya
bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin, maka dibentuklah lembaga
tadi biar suasana psikologis-politis di dalam masyarakat stabil dan
terkendali dengan baik. Di zaman itu apa yang disebut stabilitas itu bukan
hanya merupakan kata sifat, kata keadaan, melainkan juga kata kerja yang
suci, sesuci mantra-mantra yang memiliki kekuatan magis yang besar.
Koruptor dimanjakan
dengan sebaik-baiknya, semanjamanjanya. Tapi, kelahiran KPK di zaman ketika
presiden itu sudah tidak berkuasa, lain sekali. KPK lahir dengan ketulusan
politik. Landasan etisnya pun jelas: korupsi yang terlalu merajalela sudah
saatnya dihentikan. Rakyat sudah saatnya turut menikmati kekayaan negara.
Kesehatan gratis, pendidikan gratis, dan banyak pelayanan publik yang baik,
sudah waktunya dinikmati rakyat. Semua itu bisa dinikmati rakyat hanya jika
korupsi diberantas.
KPK memanggul mandat
itu. Presiden boleh gulung koming ketika orang-orang terdekatnya ditangkap
KPK dan dihukum dengan hukuman selayaknya. Tapi presiden tak punya kewenangan
apapun. KPK memegang kewenangan penuh untuk bertindak. Kita tahu tindakan KPK
atas suatu mandat suci, yang merupakan suara hati nurani rakyat Indonesia.
KPK sebagai lembaga tak memiliki kepentingan. Tokoh-tokoh KPK secara
perseorangan, apa kepentingan politiknya? Kalau mereka bekerja dengan baik,
dengan tegas tapi tulus dan jujur, untuk memperoleh kredit kinerja yang baik,
di mana letak salahnya? Apa dosa mereka bila timbul harapan agar kelak bisa
memangku jabatan lain sesudah masa kerjanya di KPK berlalu dengan mulus?
Jika
diingat dengan baik bahwa KPK lahir dari aspirasi seluruh rakyat Indonesia di
zaman reformasi dulu, tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali taat, patuh,
dan tunduk pada keputusan besar itu. Kita tahu keputusan itu sangat strategis
dilihat dari segi mana pun. Seluruh dunia mendukung kita. Bumi dan langit
membenarkan langkah kita. Para wali, para nabi, dan roh-roh suci yang selama
ini merasa kecewa, kini semua merasa lega. Jalan rohaniah dan politik telah
kita tempuh demi kebaikan seluruh rakyat Indonesia. Betapa mulianya kita.
Tapi
mengapa ada lembaga-lembaga, tokoh-tokoh, dan para petinggi lembaga
bersangkutan yang tak begitu berkenan di hati kepada KPK? Makin lama makin
terasa menjadi lebih jelas, lebih terang, bahwa mereka iri, dengki, dan penuh
sikap memusuhi KPK. Bukan iri dan dengki?
Mereka
jengkel dan marah secara terang-terangan karena KPK menangkap saudara mereka,
sahabat mereka, besan mereka atau petinggi mereka? KPK lalu disebut sok
kuasa, sok berani, dan sok ingin menjadi pahlawan? Juga dianggap superbodi
yang kelewat berkuasa?
KPK
memiliki tugas dan segenap kewenangan yang sudah digariskan secara resmi.
Tugas itu bukan mereka sendiri yang menentukan. Mereka hanya tinggal menjalankannya.
Dan hanya dalam bingkai kewenangan itu mereka bekerja. Hanya itu. Tidak ada
yang tampak berlebihan.
Bukankah
karena hanya terbatas seperti itu kewenangannya, maka lalu ada yang
menyebutnya sekadar seperti cicak di tembok? Cicak itu gambaran kelemahan dan
ukuran serbakecil dibandingkan hewan lain, misalnya buaya.
Mengapa
hanya cicak yang begitu kecil dan lemah pun dimusuhi dengan segenap
kedengkian? Mengapa makin lama cara memusuhinya makin sistematis dan mengarah
pada niat untuk meniadakannya?
Usaha
melemahkan, menuju semangat meniadakan KPK, tak bisa dibiarkan begitu saja.
Ini lembaga yang kita miliki bersama. Ini milik negara, milik rakyat, dan
milik seluruh bangsa. Juga milik mereka yang memusuhinya dengan kedengkian
tadi.
Cicak
kecil itu berkembang sesudah dibentuk dan dilahirkan dari aspirasi seluruh
rakyat Indonesia. Mereka yang memusuhi cicak kecil itu berarti memusuhi
seluruh rakyat. Musuh sang cicak jelas musuh rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar