Bung
Karno, Pancasila, dan Zaman Kita
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik
Universitas Nasional, Jakarta
|
KORAN SINDO, 04 Juni 2015
Tanggal 1 Juni pada
masa kini dikenang sebagai hari ketika konsep tentang Pancasila lahir. Hal
ini merujuk pada Pidato Bung Karno (BK) pada tanggal yang sama tahun 1945.
Hal itu kemudian menjadi embrio Pancasila yang kita kenal dewasa ini. Dalam
konteks inilah, Pancasila tidak dapat dilepaskan dari dinamika pemikiran
politik BK.
Pemikiran politik BK
itu rupa-rupa. Apabila kita baca ulang kumpulan tulisannya di buku Di Bawah
Bendera Revolusi, dialektika pemikiran BK tak lepas dari pergumulan ide-ide
besar dunia pada masa itu. Tetapi, dalam konteks Indonesia sebagai bangsa
yang berjuang untuk lepas dari penjajahan atau kolonialisme dan imperialisme,
BK pun menggariskan sikap antineokolonialisme dan neo-imperialisme. Melalui
konsep Trisakti yakni berdaulat dalam politik, berdikari secara ekonomi, dan
berkepribadian dalam kebudayaan, BK menegaskan Indonesia harus mandiri. Dalam
konteks inilah, kemandirian itu terkait erat dengan Pancasila.
Pancasila merupakan
butir-butir penting yang digali dari kearifan khasanah bangsa. Dari situlah
diharapkan filsafat Indonesia sebagai sesuatu yang mendasari kemandirian
bangsa terbentuk. Dari Pancasilalah lantas muncul gambaran tentang ideal
manusia Indonesia. Ia ialah yang menjiwai setiap butir Pancasila, sebagai
manusia yang berketuhanan, berperikemanusiaan, mengedepankan persatuan,
bermusyawarah dan demokrasi, dan yang senantiasa berikhtiar untuk mewujudkan
keadilan sosial. Itulah karakter-karakter dasar manusia Indonesia apabila
dikaitkan dengan konteks ”revolusi mental” yang belakangan ini populer.
Karakter demikian
memang segera berjumpa dengan paradoks. Hal demikian dapat disimak dari
otokritik Mochtar Lubis pada akhir 1970-an. Kita menjumpai ihwal negatif
dalam praktiknya, ketika manusia Indonesia justru banyak yang sekadar
mempertegas sikap oportunis, korup, malas, tidak produktif, tidak mandiri,
hingga sikap yang suka mengedepankan egoisme, bahkan komunalisme. Hal itu
menandakan bahwa masalah mentalitas manusia Indonesia memang masih belum
tuntas. Itulah yang ingin diperbaiki dalam ”revolusi mental” yang
diselaraskan dengan apa yang oleh BK disebut ”character and nation building”.
Semua itu memerlukan
proses, di mana ia pun dipengaruhi oleh kebijakan para pemimpin, setidaknya
kalanganelite bangsa. Para pemimpin pada masa kini punya peluang untuk
mengembangkan model kepemimpinan yang merupakan resultan dari ragam model
kepemimpinan pendiri bangsa ditambah dengan ragam khasanah kepemimpinan
bangsa pascakemerdekaan. Kearifan pemimpin bangsa masa lalu penting untuk direaktualisasikan
pada zaman kita. Memang, mereka pernah bertentangan secara ideologis pada
masanya, tetapi di luar itu kita bisa menangkap perkembangan mentalitas
kepemimpinan mereka pada masa lalu.
Tapi, Pancasila tidak
hanya terkait ikhtiar untuk memberi gambaran manusia Indonesia yang ideal.
Pancasila juga terkait sistem ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan.
Pancasila juga dihadapkan pada pusaran gagasan-gagasan besar dunia. Maka,
dalam hal ini Pancasila merupakan hal yang lazim dikaitkan dengan eksistensi
dan survivalitas bangsa Indonesia itu sendiri. Kesanggupan kita sebagai
bangsa berikut tantangan yang dihadapinya di tengah-tengah perkembangan
global sangat mudah dikaitkan dengan Pancasila. Maksudnya, apabila Pancasila
dijadikan dasar untuk menilai segala aspek kebijakan bangsa, ia pun memberi
ruang yang luas bagi kita. Persoalannya, justru hal tersebut jarang
dilakukan. Rasionalitas pengelolaan bangsa seringkali tidak dikaitkan dengan
Pancasila, padahal Pancasila juga memberikan dasar-dasar rasionalitas
pengelolaan bangsa.
Apabila
dikaitkan dengan konteks kemandirian, anti neokolonialisme dan anti
neoimperialisme sebagaimana yang disampaikan BK, Pancasila pun bisa menjadi
alat ukur, sejauh mana bangsa ini bergerak meluncur. Semakin mandirikah? Atau,
sebaliknya, tanpa sadar telah dan tengah berada dalam kubangan bentuk-bentuk
kolonialisme dan imperialisme baru yang mengerdilkan kepentingan nasional?
Apakah kita sebagai bangsa sudah benar-benar merdeka, ataukah sesungguhnya
masih terjajah?
Maka,
refleksi tentang keterjajahan pada masa merdeka, bahkan masa pembangunan
hingga zaman kita, bagaimanapun telah mengalami perluasan. Ia membentang dari
level individu, masyarakat, dan bangsa. Penjajahnya, bukan semata-mata orang
asing yang menghisap kekayaan ekonomi Nusantara, tetapi juga bisa dari diri
sendiri dan orang kita sendiri, atau meminjam kata Buya Ahmad Syafii Maarif,
”Londo ireng”. Lagi-lagi, ini kembali ke masalah mentalitas. Ada yang
berpendapat bahwa sebaik apa pun sistemnya, manakala mentalitasnya buruk dan
serakah, sistem akan rusak dan semua akan terpuruk. Solusinya adalah sistem
harus diperbaiki. Namun, bukankah perbaikan sistem tidak dapat dilakukan
manakala yang mendominasi ialah manusia-manusia yang bermasalah dengan
mentalitasnya?
Gambaran
peradaban Indonesia bisa direkonstruksi dari Pancasila. Gambaran itu sudah
merupakan gabungan dari rekonstruksi manusia Indonesia pun pilihan-pilihan
kebijakan yang memungkinkan bangsa ini eksis dan bertahan. Bergerak sebagai
bangsa modern, pada masa depan gagasan-gagasan penting Pancasila semakin
kompleks dihadapkan pada kompleksitas tantangan untuk dapat merealitas.
Tantangan utamanya terkait dengan ihwal disiplin berbangsa. Bangsa berawal dari
konsep dasar tentang hidup bersatu dalam perbedaan. Karena itu, unsur
terpokoknya adalah toleransi dalam keharmonisan.
Masalah
persatuan bangsa dengan demikian yang utama. BK termasuk tokoh yang sangat
menekankan hal ini kendati persatuan saja tidak cukup sebagai modal membangun
bangsa. Yang menjadi andalan tetaplah sumber daya manusia yang berpihak
kepada kepentingan nasional. Mereka harus sinergis dalam mempertahankan
proyek kebangsaan kita yang masih penuh dengan keterbatasan ini. Untuk
menjadi bangsa yang mandiri sebagaimana dicita-citakan BK dan sudah menjadi
cita-cita bersama kita, kita harus terus mengumpulkan energi dan
memanfaatkannya dalam arena kontestasi antarbangsa di zaman terbuka dewasa
ini. Sehingga, konteks nasionalisme zaman kita sudah harus beranjak dari
urusanurusan persatuan nasional, ke persaingan antarbangsa, di mana Indonesia
mampu menunjukkan kekuatan daya saingnya yang tinggi.
Daya
saing bangsa perlu terus ditingkatkan, justru diawali dengan
pembenahan-pembenahan ke dalam, baik dari segi mentalitas maupun sistem kita
dalam berbangsa. Ini merupakan sesuatu yang lazim di level retorika, dan harus
diakui susah pada praktiknya. Namun, sekali lagi, pemimpin-pemimpin Indonesia
di setiap tingkatan punya peluang untuk mengubah keadaan, menguatkan budaya
demokrasi, produktivitas di tengah kebersamaan, dan kegotong-royongan
nasional yang baik.
Pada
zaman kita pemikiran-pemikiran BK tentang kemandirian bangsa, pun ”character and nation building”, masih
sangat relevan. Semua itu terkait Pancasila, yang tak saja diposisikan
sebagai perekat persatuan nasional, tetapi juga sumber inspirasi kemajuan
bangsa. Pancasila pada zaman kita perlu terus disosialisasikan, setidaknya
sebagai suatu pijakan etika dasar manusia Indonesia dalam berbangsa. Dengan
demikian, manusia Indonesia, meminjam Taufiq Ismail, akan malu manakala
perbuatannya tidak mencerminkan etika Pancasila. Pun para pengambil kebijakan
akan merasa berdosa manakala mengabaikan pertimbangan nilainilai dasar
Pancasila. WallahuaWallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar