Berduka
Setelah Keguguran
Agustine Dwiputri ; Penulis kolom “Konsultasi Psikologi”
Kompas Minggu
|
KOMPAS, 07 Juni 2015
Adik saya perempuan, beberapa bulan yang lalu, mengalami
keguguran atas kehamilan anak ketiganya. Dua anak sebelumnya laki-laki. Usia
kehamilan waktu itu hampir 7 bulan. Suaminya yang sangat mendambakan anak
perempuan terlihat sangat terpukul ketika jabang bayi mereka yang sudah
diketahui perempuan meninggal di dalam kandungan.
Adik saya demikian pula, tampaknya mereka sampai sekarang masih
terus bersedih, sampai ia yang tadinya bekerja di sebuah perusahaan
mengundurkan diri. Ia merasa ketika hamil terlalu lelah bekerja sehingga
tidak dapat menjaga kandungannya.
Katanya, ia ingin menenangkan diri sambil mengurus dua anak
lainnya yang sudah duduk di bangku sekolah. Untung suaminya menerima meski
penghasilan mereka pasti jadi berkurang. Apakah keadaan adik saya wajar?
Bukankah ia masih bisa hamil lagi? Terima kasih.
W di Jg
Ibu W yang sangat
peduli.
Sebenarnya persentase
terjadinya keguguran dari seluruh kehamilan yang ada di sekitar kita cukup
besar. Namun, biasanya hanya sedikit perhatian tercurah pada kedukaan yang
dirasakan orangtuanya, kurang ada dukungan sosial bagi ibu yang mengalami
keguguran.
Hal ini mungkin dikarenakan
orang lain tidak paham dan tak dapat ikut mengembangkan kenangan untuk
berbagi dalam proses berkabung orangtua yang kehilangan bayinya. Calon bayi
tidak terlihat nyata oleh orang lain, membuat mereka lebih sulit memastikan
adanya rasa kehilangan dari orangtua.
Berbeda halnya dengan
kondisi orangtua yang kehilangan anak kecil atau anak remajanya, suami yang
ditinggal meninggal istrinya, dan sebagainya. Mereka telah punya pengalaman
hidup bersama untuk beberapa tahun atau dalam waktu yang lebih panjang.
Makna kehamilan
Menurut Therese Rando,
PhD (1988) besarnya kedukaan yang dirasakan orangtua sebenarnya tidak
berhubungan dengan panjangnya masa kehamilan, tetapi lebih berkaitan dengan
arti dari calon bayi, kebutuhan, perasaan, dan harapan dari orangtua pada
sang anak yang akan lahir. Pada kasus di atas, ayah dan ibu sama-sama
mendambakan kelahiran seorang anak perempuan, ada makna tertentu mempunyai
anak perempuan, ada harapan dan nilai khusus pada calon anak. Meski usia
kehamilan lebih muda sekalipun, bila lahirnya seorang anak nanti memberi arti
penting bagi keberadaan mereka menjadi orangtua, pasti akan besar rasa
kedukaan yang dialami.
Kedukaan atas keguguran
Lebih lanjut Rando
mengatakan bahwa kedukaan ibu dan kesedihan ayah sering berbeda, yang
mencerminkan adanya perbedaan dalam hal besarnya dan jenis keterlibatan
masing-masing dengan janin di dalam kandungan. Ibu cenderung membentuk ikatan
dengan anak yang belum lahir secara lebih cepat karena ibu yang mengandung
dan merasa anak berkembang di dalam rahimnya.
Namun, banyak pula
ayah yang telah terlibat dengan gambaran sang janin sejak awal kehamilan
sehingga punya ikatan batin yang kuat. Ini juga terjadi pada ipar Ibu W
sehingga sangat wajar jika dia sangat terpukul atas keguguran yang dialami
istrinya. Bagi kedua orangtua, keterlibatan dan kelekatan psikologis pada
janin meningkat seiring berjalannya waktu, terjadinya perubahan pada tubuh,
serta berbagai gerakan janin yang dapat dirasakan.
Dengan demikian adalah
normal bila orangtua mengalami semua gejala berduka setelah terjadinya
keguguran. Seberapa beratnya rasa berkabung bergantung pada kapan hal itu
terjadi dan apa perasaan orangtua tentang hal itu. Selain itu, orangtua
mungkin juga mengalami perasaan tidak berharga, gagal, dan berkekurangan yang
mendalam. Terutama jika seorang calon ibu merasa khawatir akan
ketidakmampuannya untuk menghasilkan anak yang sehat. Ia mungkin akan merasa
cemas terutama jika belum atau tidak memiliki anak-anak lain.
Rasa bersalah biasa
terjadi, terutama bagi perempuan, karena mereka merasa bertanggung jawab atas
terjadinya keguguran. Banyak pasangan secara keliru menghubungkan keguguran
pada sesuatu yang telah mereka lakukan, misalnya karena melakukan hubungan
seksual berlebihan atau telah terlalu berat bekerja.
Untuk alasan ini,
orangtua perlu mencoba mendapatkan informasi yang faktual dari ahli medis
tentang kemungkinan penyebab keguguran. Jika perasaan ambivalen (konfliktual)
tentang memiliki anak belum terselesaikan, adik Ibu mungkin perlu bantuan konselor
untuk mengatasi rasa bersalahnya. Sebab, rasa kehilangan yang belum
terselesaikan dapat mengarah pada kedukaan yang patologis. Penting bagi
seseorang untuk berbagi tentang bayangan, pikiran, perasaan, dan harapan
tentang anak yang belum lahir agar dapat secara efektif menyelesaikan proses
berkabung. Untuk jangka waktu kurang dari satu tahun seperti yang mereka
alami, tampaknya masa berdukanya masih dalam batas wajar.
Meminimalisasi perasaan negatif
Banyak konselor
berpandangan adalah penting bagi para orangtua untuk melihat langsung hasil
dari keguguran, yaitu janin yang telah keluar dari rahim. Hal ini akan
membantu orangtua untuk memperkuat kenyataan dan memulai proses berduka.
Mudah-mudahan adik Ibu diberi kesempatan untuk melakukan hal ini meskipun dia
juga tidak perlu merasa bersalah jika memang tidak ingin melihatnya.
Beberapa orangtua
diberi hasil foto USG dari janin mereka. Bila kita melihat sendiri bentuk dan
kenyataan bahwa janin kita memang tidak layak untuk melanjutkan kehidupannya,
mungkin lebih mudah bagi kita untuk melepas dan tidak terus meratapinya tanpa
kejelasan seperti apa faktanya janin kita itu. Kemudian memakamkan sesuai
ritual, memberikan nama bagi janin juga akan sangat membantu pemulihan rasa
berkabung. Itu sebabnya mengapa sangat penting memiliki berbagai konfirmasi
mengenai apa yang telah hilang dari orangtua.
Reaksi mengenang
kembali peristiwa keguguran sering dilakukan oleh kebanyakan orangtua.
Orangtua mungkin memiliki berbagai pikiran tentang apa yang anak akan atau bisa
lakukan pada saat ini bila ia masih tetap hidup. Memperingati waktu ketika
anak akan lahir dapat meningkatkan kedukaan untuk sesaat. Dalam batas-batas
tertentu, hal ini masih cukup normal dan dapat terus berlanjut sampai
beberapa tahun.
Semoga membantu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar