Berbeda
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 18 Juni 2015
Setiap menjelang
Ramadan, sebagian masyarakat kita selalu gelisah. Mereka bertanya-tanya,
akankah awal puasa dimulai pada hari dan tanggal yang sama atau berbeda?
Lalu, apakah Lebarannya juga akan jatuh pada hari yang sama atau berbeda
lagi?
Kegelisahan itu–sebagian
menganggapnya mengganggu, sebagian lainnya tidak peduli–bukan hanya milik
masyarakat, tetapi terlebih lagi milik pemerintah. Untuk itulah setiap
menjelang Ramadan, pemerintah selalu memimpin sidang guna menetapkan kapan
tanggal dimulainya puasa. Begitu pula menjelang Lebaran, pemerintah akan
kembali memimpin sidang untuk menetapkan kapan berakhirnya masa puasa.
Kalau klop, seperti
awal puasa pada tahun 2015, semua lega. Bagaimana kalau tidak klop? Pada
akhirnya juga tak ada masalah. Tapi sebagian kalangan menganggap rasanya ada
sesuatu yang mengganjal. Kurang nyaman.
Ilmu Pasti untuk Menghadapi Ketidakpastian
Perasaan semacam itu
sebetulnya agak aneh bagi masyarakat kita yang sejak dulu sejatinya sudah
terbiasa denganperbedaan. Bukankah kita memang bangsa yang sangat heterogen,
sangat plural? Bayangkan kita memiliki sekitar 240 juta penduduk yang terbagi
menjadi lebih dari 1.100 suku. Lalu kita juga memiliki lebih dari 700 bahasa
daerah. Betapa beragamnya.
Hanya agaknya kita
memiliki masalah dalam merawat perbedaanini. Maka tak heran kalau–sebagaimana
kita rasakan selama beberapa tahun belakangan ini–ada sebagian masyarakat
kita kurang terbiasa menghargai perbedaan.
Selain itu, saya kira
sistem pendidikan kita juga ikut berperan. Di sekolah-sekolah, sejak TK, SD,
SMP bahkan hingga SMA, kita dipaksa untuk serbaseragam. Mulainya mungkin dari
hal-hal sepele. Misalnya pakaian yang serbaseragam.
Tapi masalahnya
kemudian berkembang menjadi lebih serius ketimbang sekadar pakaian seragam.
Bahkan kita pun kemudian diajak berpikir dengan cara yang seragam sehingga
membuat kreativitas kita membeku. Menjawab ujian saja hobinya seragam. Kita
ngotot belajar dengan jawaban pasti untuk menghadapi hidup yang makin penuh
ketidakpastian.
Saya selalu menyebut
contoh paling mudah adalah kalau kita menggambar. Bukankah gambarnya tak
lebih dari gunung, hamparan sawah yang dibelah oleh jalan, mungkin ada gubuk
petani, ditambah sinar matahari dan burung beterbangan, begitu bukan?
Oleh karena sering
dipaksa berpakaian dan berperilaku seragam, kita kerap kali gelisah kalau
melihat anak kita berambut gondrong, sementara kawankawannya kebanyakan
berambut pendek. Berbeda menjadi sesuatu yang menakutkan dan itu ditanamkan
sejak kecil. Sejak kita masih kanak-kanak.
Padahal, menurut
Herbert Read, ”Progress is measured by
the degree of differentiation within a society.” Herbert adalah seorang
penulis puisi dan intelektual asal Inggris. Jadi, makin banyak perbedaan,
makin besar pula peluang suatu bangsa untuk meraih kemajuan.
Kita bisa melihat
potretnya di negara-negara maju. Di sana mereka sangat menghargai perbedaan.
Saya masih ingat ketika mahasiswa saya menjawab soal multiple choice di kelas yang saya ampu di Amerika Serikat. Saat
itu, sebagai kandidat doktor saya diberi pekerjaan mengajar di program S-1.
Nah ketika jawaban mahasiswa saya coret karena pilihannya tak sesuai dengan
buku, ternyata saya malah diminta pembimbing saya untuk memberikan bonus
nilai kepada mahasiswa yang protes tadi.
Mengapa begitu?
Pembimbing saya, seorang guru besar senior, memberi tahu begini: bukan
jawaban yang pasti, tetapi argumentasi yang meyakinkan. Ya, jawabannya memang
tak sama dengan isi buku, tetapi mahasiswa itu dengan tangkas meyakinkan
kesalahan dari buku. Dan itu, baginya, merupakan modal penting bagi seorang
pembaharu. Bukankah kita mendidik untuk melahirkan para pembaharu?
Berbeda Itu Perlu
Sebetulnya kita punya
banyak cerita yang berkisah tentang indahnya perbedaan. Cerita- cerita itu
kita dengar sejak kita masih kanak-kanak. Misalnya cerita tentang anak bebek
atau anak elang yang dibesarkan induk ayam. Mungkin pesan utama dari dua
cerita tersebut adalah tentang jati diri. Meski begitu di sana kita bisa
menangkap isu tentang toleransi dan perbedaan.
Kita juga bisa
menggali pentingnya perbedaan dalam dunia olahraga. Sebagai bangsa kita masih
kecewa dengan kegagalan kontingen Indonesia dalam ajang SEA Games 2015 di
Singapura. Sebagai bangsa yang besar, dengan jumlah penduduk terbanyak di
ASEAN, ternyata kita hanya mampu menempati peringkat kelima.
Yang lebih menyakitkan
adalah nasib tim sepak bola yang boleh dibilang gagal total. Di babak
semifinal, tim sepak bola kita bukan hanya ditumbangkan, tetapi dibantai oleh
tim Thailand dengan skor 5-0. Lalu ketika memperebutkan medali perunggu pun
tim kita kembali dibantai tim Vietnam juga dengan skor 5-0.
Sepak bola adalah
olahraga yang sangat diwarnai perbedaan. Setiap orang yang bermain di
dalamnya memiliki talenta dan kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang
talentanya sebagai penyerang, ada yang lebih cocok sebagai pemain tengah,
lalu sebagian lainnya harus mampu menjadi pemain bertahan dan penjaga gawang
yang tangguh.
Jadi, talenta mereka
semua sangat berbeda. Bayangkan apa jadinya sebuah tim sepak bola isinya
pemain berkarakter menyerang semua? Meski mereka terdiri atas orang-orang
yang hebat sekelas Lionel Messi, Neymar, Ronaldo atau Gareth Bale, hampir
pasti tim mereka adalah tim pecundang.
Nyaris dalam setiap
cabang olahraga yang melibatkan tim, isinya adalah orang-orang yang memiliki
talenta berbeda-beda. Sebut saja bola basket, bola voli, sofbol, rugby hingga
American football.
Begitu pula dalam
bisnis. Perusahaan yang hebat harus memiliki eksekutif-eksekutif dengan
kemampuan yang berbeda-beda. Bagian sales
& marketing biasanya terdiri atas orang-orang memiliki karakter
agresif. Sementara bagian keuangan biasanya diisi orang-orang yang
perilakunya lebih pruden dan konservatif.
Diferensiasi
Semua cerita tadi
adalah bukti bahwa perbedaan mestinya menjadi berkah. Untuk itu kita harus
pintar merawat dan mengelolanya. Kita harus mampu mengelola perbedaan dan
mengonversinya menjadi kekuatan. Bukannya justru dipergunakan untuk saling
mematikan satu sama lain.
Dalam marketing, salah satu faktor kunci
guna melahirkan sebuah brand adalah diferensiasi. Kita perlu merumuskan
hal-hal yang bisa membedakan produk kita dengan buatan pesaing yang masuk
dalam kerumunan kesamaan. Nah yang jadinya sama itu akhirnya cuma dibentuk
oleh harga yang murah yang kita namakan komoditas. Perbedaan ini bukan hanya
ada dalam produknya, tetapi juga layanannya, saluran distribusinya,
orang-orangnya, bahkan sampai image-nya.
Bagaimana caranya
supaya produk kita bisa benar-benar tampil beda?
Mudah saja. Di situ
mesti ada disiplin, team work,
leadership, dan kerja keras. Pantang menyerah. Sebagai bangsa, apakah
kita punya itu semua? Mudah-mudahan. Sebab hanya dengan begitu kita bisa
menjadi bangsa yang besar dan merebut gelar juara I dalam SEA Games di
Malaysia dua tahun mendatang. Atau jangan-jangan kita perlu jalan yang
berbeda. Jangan-jangan, benarlah jalan yang ditempuh anak muda bernama
Sarman.
Sarman adalah pencinta
sepak bola yang amat cinta Tanah Air. Enam tahun yang lalu ia mencegat saya
di bandara. Akhirnya saya jadi tahu kegilaan orang ini mewakili sakit kepala
kita semua. Ia geram melihat tim sepak bola kita kalah terus. Makanya enam
tahun lalu dia itulah yang memasang spanduk besar-besar tentang Indonesia,
Tuan Rumah Piala Dunia Sepak Bola 2022. Sejak itu ia membawa spanduk ukuran
besar, bahkan bendera merah putih ukuran ratusan meter. Ia pajang di Afrika
Selatan sampai ke Brasil dibantu para penonton ajang Piala Dunia yang
bersimpati kepadanya. Pesannya ya itu tadi: Indonesia, Tuan Rumah Piala Dunia
Sepak Bola 2022.
Sewaktu saya tanya,
baru saya mengerti kita telah banyak dibohongi berbagai pihak sampai akhirnya
kita membaca korupsi di FIFA. Demikian pula soal ancaman sanksi dari FIFA,
saya baru mengerti ternyata telah terjadi salah kaprah. Setelah pergi sendiri
ke sana dan bicara dengan FIFA, Sarman menemukan, sanksi yang kita pahami
bermakna terbalik. Justru FIFA-lah yang tak mau persatuan sepak bola kita
berseberangan dengan negara. FIFA justru tak ingin terjadi intervensi yang maknanya
negara berseberangan, tidak mendukung, sehingga terjadilah hal yang tak
diinginkan.
Jadi, bagi Sarman, tak
perlu kita menjadi juara dulu baru menjadi tuan rumah, melainkan jadilah tuan
rumah dulu, maka virus prestasi akan muncul. Baginya, ajang Piala Dunia
adalah ajangnya travel agent,
pariwisata, dan ajang kebangkitan benih-benih pesepak bola andal Indonesia.
Buktinya Qatar yang bukan juara kompetisi saja begitu ngebet menjadi tuan
rumah yang kemungkinan akan dibatalkan itu. Jadi, jangan-jangan Sarman yang
benar. Tuan rumah dulu, baru juara. Lagian bukankah negeri ini kerap gila
bola meski kalah terus? Semoga.
Dan izinkan saya
mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa. Hargailah perbedaan, sebab itu
pula bagian dari ciptaan-Nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar