Senin, 22 Juni 2015

Berbeda

Berbeda

Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan
KORAN SINDO, 18 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setiap menjelang Ramadan, sebagian masyarakat kita selalu gelisah. Mereka bertanya-tanya, akankah awal puasa dimulai pada hari dan tanggal yang sama atau berbeda? Lalu, apakah Lebarannya juga akan jatuh pada hari yang sama atau berbeda lagi?

Kegelisahan itu–sebagian menganggapnya mengganggu, sebagian lainnya tidak peduli–bukan hanya milik masyarakat, tetapi terlebih lagi milik pemerintah. Untuk itulah setiap menjelang Ramadan, pemerintah selalu memimpin sidang guna menetapkan kapan tanggal dimulainya puasa. Begitu pula menjelang Lebaran, pemerintah akan kembali memimpin sidang untuk menetapkan kapan berakhirnya masa puasa.

Kalau klop, seperti awal puasa pada tahun 2015, semua lega. Bagaimana kalau tidak klop? Pada akhirnya juga tak ada masalah. Tapi sebagian kalangan menganggap rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Kurang nyaman.

Ilmu Pasti untuk Menghadapi Ketidakpastian

Perasaan semacam itu sebetulnya agak aneh bagi masyarakat kita yang sejak dulu sejatinya sudah terbiasa denganperbedaan. Bukankah kita memang bangsa yang sangat heterogen, sangat plural? Bayangkan kita memiliki sekitar 240 juta penduduk yang terbagi menjadi lebih dari 1.100 suku. Lalu kita juga memiliki lebih dari 700 bahasa daerah. Betapa beragamnya.

Hanya agaknya kita memiliki masalah dalam merawat perbedaanini. Maka tak heran kalau–sebagaimana kita rasakan selama beberapa tahun belakangan ini–ada sebagian masyarakat kita kurang terbiasa menghargai perbedaan.

Selain itu, saya kira sistem pendidikan kita juga ikut berperan. Di sekolah-sekolah, sejak TK, SD, SMP bahkan hingga SMA, kita dipaksa untuk serbaseragam. Mulainya mungkin dari hal-hal sepele. Misalnya pakaian yang serbaseragam.

Tapi masalahnya kemudian berkembang menjadi lebih serius ketimbang sekadar pakaian seragam. Bahkan kita pun kemudian diajak berpikir dengan cara yang seragam sehingga membuat kreativitas kita membeku. Menjawab ujian saja hobinya seragam. Kita ngotot belajar dengan jawaban pasti untuk menghadapi hidup yang makin penuh ketidakpastian.

Saya selalu menyebut contoh paling mudah adalah kalau kita menggambar. Bukankah gambarnya tak lebih dari gunung, hamparan sawah yang dibelah oleh jalan, mungkin ada gubuk petani, ditambah sinar matahari dan burung beterbangan, begitu bukan?

Oleh karena sering dipaksa berpakaian dan berperilaku seragam, kita kerap kali gelisah kalau melihat anak kita berambut gondrong, sementara kawankawannya kebanyakan berambut pendek. Berbeda menjadi sesuatu yang menakutkan dan itu ditanamkan sejak kecil. Sejak kita masih kanak-kanak.

Padahal, menurut Herbert Read, ”Progress is measured by the degree of differentiation within a society.” Herbert adalah seorang penulis puisi dan intelektual asal Inggris. Jadi, makin banyak perbedaan, makin besar pula peluang suatu bangsa untuk meraih kemajuan.

Kita bisa melihat potretnya di negara-negara maju. Di sana mereka sangat menghargai perbedaan. Saya masih ingat ketika mahasiswa saya menjawab soal multiple choice di kelas yang saya ampu di Amerika Serikat. Saat itu, sebagai kandidat doktor saya diberi pekerjaan mengajar di program S-1. Nah ketika jawaban mahasiswa saya coret karena pilihannya tak sesuai dengan buku, ternyata saya malah diminta pembimbing saya untuk memberikan bonus nilai kepada mahasiswa yang protes tadi.

Mengapa begitu? Pembimbing saya, seorang guru besar senior, memberi tahu begini: bukan jawaban yang pasti, tetapi argumentasi yang meyakinkan. Ya, jawabannya memang tak sama dengan isi buku, tetapi mahasiswa itu dengan tangkas meyakinkan kesalahan dari buku. Dan itu, baginya, merupakan modal penting bagi seorang pembaharu. Bukankah kita mendidik untuk melahirkan para pembaharu?

Berbeda Itu Perlu

Sebetulnya kita punya banyak cerita yang berkisah tentang indahnya perbedaan. Cerita- cerita itu kita dengar sejak kita masih kanak-kanak. Misalnya cerita tentang anak bebek atau anak elang yang dibesarkan induk ayam. Mungkin pesan utama dari dua cerita tersebut adalah tentang jati diri. Meski begitu di sana kita bisa menangkap isu tentang toleransi dan perbedaan.

Kita juga bisa menggali pentingnya perbedaan dalam dunia olahraga. Sebagai bangsa kita masih kecewa dengan kegagalan kontingen Indonesia dalam ajang SEA Games 2015 di Singapura. Sebagai bangsa yang besar, dengan jumlah penduduk terbanyak di ASEAN, ternyata kita hanya mampu menempati peringkat kelima.

Yang lebih menyakitkan adalah nasib tim sepak bola yang boleh dibilang gagal total. Di babak semifinal, tim sepak bola kita bukan hanya ditumbangkan, tetapi dibantai oleh tim Thailand dengan skor 5-0. Lalu ketika memperebutkan medali perunggu pun tim kita kembali dibantai tim Vietnam juga dengan skor 5-0.

Sepak bola adalah olahraga yang sangat diwarnai perbedaan. Setiap orang yang bermain di dalamnya memiliki talenta dan kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang talentanya sebagai penyerang, ada yang lebih cocok sebagai pemain tengah, lalu sebagian lainnya harus mampu menjadi pemain bertahan dan penjaga gawang yang tangguh.

Jadi, talenta mereka semua sangat berbeda. Bayangkan apa jadinya sebuah tim sepak bola isinya pemain berkarakter menyerang semua? Meski mereka terdiri atas orang-orang yang hebat sekelas Lionel Messi, Neymar, Ronaldo atau Gareth Bale, hampir pasti tim mereka adalah tim pecundang.

Nyaris dalam setiap cabang olahraga yang melibatkan tim, isinya adalah orang-orang yang memiliki talenta berbeda-beda. Sebut saja bola basket, bola voli, sofbol, rugby hingga American football.

Begitu pula dalam bisnis. Perusahaan yang hebat harus memiliki eksekutif-eksekutif dengan kemampuan yang berbeda-beda. Bagian sales & marketing biasanya terdiri atas orang-orang memiliki karakter agresif. Sementara bagian keuangan biasanya diisi orang-orang yang perilakunya lebih pruden dan konservatif.

Diferensiasi

Semua cerita tadi adalah bukti bahwa perbedaan mestinya menjadi berkah. Untuk itu kita harus pintar merawat dan mengelolanya. Kita harus mampu mengelola perbedaan dan mengonversinya menjadi kekuatan. Bukannya justru dipergunakan untuk saling mematikan satu sama lain.

Dalam marketing, salah satu faktor kunci guna melahirkan sebuah brand adalah diferensiasi. Kita perlu merumuskan hal-hal yang bisa membedakan produk kita dengan buatan pesaing yang masuk dalam kerumunan kesamaan. Nah yang jadinya sama itu akhirnya cuma dibentuk oleh harga yang murah yang kita namakan komoditas. Perbedaan ini bukan hanya ada dalam produknya, tetapi juga layanannya, saluran distribusinya, orang-orangnya, bahkan sampai image-nya.

Bagaimana caranya supaya produk kita bisa benar-benar tampil beda?
Mudah saja. Di situ mesti ada disiplin, team work, leadership, dan kerja keras. Pantang menyerah. Sebagai bangsa, apakah kita punya itu semua? Mudah-mudahan. Sebab hanya dengan begitu kita bisa menjadi bangsa yang besar dan merebut gelar juara I dalam SEA Games di Malaysia dua tahun mendatang. Atau jangan-jangan kita perlu jalan yang berbeda. Jangan-jangan, benarlah jalan yang ditempuh anak muda bernama Sarman.

Sarman adalah pencinta sepak bola yang amat cinta Tanah Air. Enam tahun yang lalu ia mencegat saya di bandara. Akhirnya saya jadi tahu kegilaan orang ini mewakili sakit kepala kita semua. Ia geram melihat tim sepak bola kita kalah terus. Makanya enam tahun lalu dia itulah yang memasang spanduk besar-besar tentang Indonesia, Tuan Rumah Piala Dunia Sepak Bola 2022. Sejak itu ia membawa spanduk ukuran besar, bahkan bendera merah putih ukuran ratusan meter. Ia pajang di Afrika Selatan sampai ke Brasil dibantu para penonton ajang Piala Dunia yang bersimpati kepadanya. Pesannya ya itu tadi: Indonesia, Tuan Rumah Piala Dunia Sepak Bola 2022.

Sewaktu saya tanya, baru saya mengerti kita telah banyak dibohongi berbagai pihak sampai akhirnya kita membaca korupsi di FIFA. Demikian pula soal ancaman sanksi dari FIFA, saya baru mengerti ternyata telah terjadi salah kaprah. Setelah pergi sendiri ke sana dan bicara dengan FIFA, Sarman menemukan, sanksi yang kita pahami bermakna terbalik. Justru FIFA-lah yang tak mau persatuan sepak bola kita berseberangan dengan negara. FIFA justru tak ingin terjadi intervensi yang maknanya negara berseberangan, tidak mendukung, sehingga terjadilah hal yang tak diinginkan.

Jadi, bagi Sarman, tak perlu kita menjadi juara dulu baru menjadi tuan rumah, melainkan jadilah tuan rumah dulu, maka virus prestasi akan muncul. Baginya, ajang Piala Dunia adalah ajangnya travel agent, pariwisata, dan ajang kebangkitan benih-benih pesepak bola andal Indonesia. Buktinya Qatar yang bukan juara kompetisi saja begitu ngebet menjadi tuan rumah yang kemungkinan akan dibatalkan itu. Jadi, jangan-jangan Sarman yang benar. Tuan rumah dulu, baru juara. Lagian bukankah negeri ini kerap gila bola meski kalah terus? Semoga.

Dan izinkan saya mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa. Hargailah perbedaan, sebab itu pula bagian dari ciptaan-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar