Beras
Palsu dan Spirit Baru Pangan Lokal
Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap
di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo
Thomas Sumatera Utara;
Pendiri dan
Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
|
KORAN SINDO, 30 Mei 2015
Harian KORAN SINDO
terbitan Medan (Senin, 25/5) mengangkat berita utama tentang kepanikan
masyarakat terkait peredaran beras palsu. Pasalnya, sejumlah warga di
Sumatera Utara semakin cemas, khawatir mutu beras yang dikonsumsi tidak aman
dan belum ada kepastian siapa yang memproduksi karena pemerintah masih terus
mendalami motivasi mereka yang mengedarkan beras bermasalah itu.
Kian besarnya
perhatian masyarakat tentang pemberitaan beras jadi-jadian ini memberikan
dampak dari berbagai sisi. Salah satunya masyarakat semakin peduli tentang
mutu bahan makanan yang dikonsumsi meskipun selama ini sangat jarang mereka
memperoleh informasi tentang beras bermutu baik dari lembaga terkait. Hal
lain adalah momen ini menjadi awal kebangkitan dan spirit baru tentang pangan
lokal nonberas yang kandungan gizinya tak kalah dengan beras berbahan baku
padi.
Mengingatkan Pemerintah
Terlepas dari motif
ekonomi dan politik di balik temuan beras plastik yang kini diduga semakin
luas peredarannya di tengah masyarakat, pemerintah diingatkan bahwa negeri
ini memiliki potensi pangan lokal yang sangat besar untuk dikembangkan
menyubsitusi beras sebagai makanan pokok. Tetapi, potensi ini belum digali
secara serius karena pemerintah tetap nyaman dengan hobi lamanya untuk
mengimpor berbagai bahan pangan termasuk beras.
Saat kampanye Pilpres
2014, Jokowi-JK mengemas janjinya dalam dokumen Nawacita (sembilan cita-cita
utama) untuk memajukan ketahanan pangan. Salah satu program aksi utamanya
adalah membangun kedaulatan pangan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi
kerakyatan. Sebagai bukti, Presiden Jokowi tengah meluncurkan kebangkitan
pangan lokal. Lewat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Yuddy Chrisnandi yang mengeluarkan Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2014
tentang Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi Kerja Aparatur Negara mendorong
penguatan kedaulatan pangan dengan menyajikan menu makanan tradisional
produksi dalam negeri pada setiap penyelenggaraan rapat.
Implikasi dari
kebijakan ini membawa banyak manfaat. Salah satunya adalah petani akan
memperbaiki usaha taninya supaya masyarakat lebih nyaman dan nikmat
mengonsumsi pangan lokal. Pangan lokal berbahan dasar singkong, ubi jalar,
pisang bahkan dapat diolah sedemikian rupa sehingga pantas disajikan di
acara-acara resmi kenegaraan. Implikasi dari semangat baru yang dikemas dalam
bingkai Nawacita mendorong singkong rebus menjadi menu saat rapat kabinet di
Istana Negara. Sebuah langkah maju untuk menjadi contoh ketimbang anjuran
dalam pidato. Jika para pejabat mulai mengadopsi gaya hidup sederhana,
langkah ini akan mengedukasi masyarakat untuk menjauhi pola hidup boros
dengan mengonsumsi pangan impor yang terkesan mewah.
Produk olahan singkong
tidak seharusnya dianggap sebagai lambang kemiskinan dan inferior. Anjuran
pemerintah agar para pejabat mulai makan ubi rebus, selain meningkatkan
martabat singkong sebagai pendamping makanan pokok beras, juga mendorong
petani mengoptimalkan penggunaan lahan pertanian, baik untuk kebutuhan
sehari-hari maupun untuk memenuhi permintaan pasar global yang terus
berkembang.
Selama ini singkong
selalu dipandang lebih rendah dari beras sebagai bahan pangan pokok karena
kandungan proteinnya yang relatif minim. Namun, masyarakat Batak Toba
memiliki budaya makan lokal untuk menyiasati mahalnya beras di masa
penjajahan Belanda. Mengonsumsi ubi singkong rebus sebagai makanan ”pembuka”
menjadi pilihan yang amat populer saat itu. Pola konsumsi ini dikenal
”manggadong” untuk menyebut mengonsumsi ubi rebus sebelum makan nasi.
Sayangnya, berbagai
budaya makan lokal yang dimiliki setiap daerah dan sudah dikenal sejak
berabad-abad silam secara perlahan mulai terpinggirkan karena pesatnya
perkembangan korporasi pangan global memproduksi pangan olahan berbasis
gandum. Keterlibatan korporasi transnasional dalam industri pangan telah
menghabisi budaya makan berbasis kearifan lokal. Dengan penguasaan ilmu dan
teknologi pangan, korporasi dapat memproduksi dan mengatur sistem distribusi
pangan. Harga pun mereka atur sedemikian rupa. Struktur oligopoli bermain
dalam ruang bisnis pangan yang menetaskan bentuk penjajahan baru bernama food capitalism.
Momen Kebangkitan
Imbauan pemerintah
agar semua instansi pemerintahan menyediakan singkong rebus saat rapat
memberi pemahaman baru tentang ketahanan pangan. Selain mengembalikan
martabat singkong sebagai pangan lokal potensial dan menjadi spirit baru bagi
para petani lokal karena hasil keringat mereka dihargai pemimpinnya, juga
menjadi momen kebangkitan pangan lokal.
Sebagai kebutuhan dasar,
pangan senantiasa harus tersedia secara beragam, bergizi seimbang, dan aman
untuk dikonsumsi( UUNo 18Tahun2012tentang Pangan). Namun, belakangan ini
ketersediaan pangan lokal mulai tergerus dan Indonesia makin bergantung pada
pangan impor. Devisa negara pada 2014 terkuras sekitar Rp135 triliun untuk
mengimpor berbagai bahan pangan, mulai dari garam, beras, daging, kedelai,
hingga gula.
Bahan pangan dapat
dijadikan sebagai kekuatan politik dan kepentingan kelompok tertentu. Banyak
kalangan berpendapat bahwa pangan sesungguhnya identik dengan senjata (food is the weapon) untuk melemahkan
kedaulatan suatu bangsa. Negara yang sangat menggantungkan diri pada pangan
impor, ia bak sebuah negara jajahan baru bagi bangsa maju.
Kini ancaman krisis
pangan menjadi bayang-bayang menakutkan bagi sebagian bangsa, termasuk
Indonesia. Harga pangan menjadi bola liar yang kian sulit dikendalikan
membuat setiap negara berupaya menyelamatkan kepentingan dalam negeri dan
membatasi ekspor. Fenomena ini perlu disikapi secara baik dengan
mengoptimalkan pemanfaatan pangan berbasis sumber daya lokal untuk
memantapkan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Mengonsumsi produk
pangan lokal berarti melepas ketergantungan impor dan keluar dari jebakan
pangan asing.
Persoalan krisis
pangan semakin masif. Pemerintah harus lebih serius melakukan pembangunan
pertanian. Jika tidak, sebanyak 250 juta jiwa rakyat Indonesia akan
kelaparan. Bangsa yang dikenal sebagai negara agraris, namun masih
menggantungkan diri pada pangan impor, bisa jadi pemerintahan Jokowi-JK tidak
punya harga diri lagi di mata dunia.
Petani merupakan
pahlawan ketahanan pangan yang selama ini telah menjaga kedaulatan bangsa.
Kita berharap pemerintahan Jokowi-JK tidak mengulangi praktik politisasi
petani seperti yang dilakukan pemerintahan SBY. Saat dilantik pada 2004, ia
berjanji untuk melakukan revitalisasi pertanian sebagai agenda utama
pemerintahannya di bidang ekonomi. Namun, hingga akhir masa jabatannya
kinerja sektor pertanian tidak semakin baik. Produktivitas sektor pertanian
sedemikian rendah menyebabkan hampir 65% kebutuhan pangan harus diimpor dan
janji surplus beras sebanyak 10 juta ton pada 2014 kandas di tengah jalan.
Keberhasilan
pembangunan sektor pertanian harus menjadi jawaban bagi kemandirian bangsa ke
depan. Pembangunan pertanian harus disertai riset berkelanjutan guna
meletakkan dasar industrialisasi pertanian yang kuat. Langkah yang patut
ditempuh untuk mendukung program ini adalah memperbesar subsidi di sektor
pertanian agar Indonesia bisa segera mencapai kedaulatan pangan. Subsidi
untuk sektor pertanian jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan subsidi
bahan bakar minyak yang mencapai Rp300 triliun.
Minimnya subsidi di
sektor pertanian berkorelasi positif dengan kurangnya minat generasi muda
bekerja di sektor pertanian. Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan sektor
pertanian masih mengandalkan sekitar 33% petani berusia tua. Sebaliknya,
persentase petani dengan usia muda hanya sekitar 12,87%.
Angka ini
mengisyaratkan kurangnya minat dan perhatian generasi muda di bidang
pembangunan pertanian pangan. Fenomena ini patut diwaspadai karena dapat
membahayakan pembangunan kedaulatan pangan pada masa datang.
Pemerintahan harus
serius mengawal kebangkitan pangan lokal dengan memosisikan pertanian sebagai
sektor ekonomi yang seksi bagi generasi muda bangsa. Sketsa kehidupan
perdesaan yang miskin seolah menjadi mimpi buruk bagi mereka. Data BPS (2013)
menunjukkan kemiskinan petani bukan sekadar isapan jempol. Dari sekitar 30
juta penduduk miskin, 65% tinggal di perdesaan yang bekerja sebagai petani
dan buruh tani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar