Beku
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 07 Juni 2015
Hati kita mendua. Terutama hati saya, antara
kesal dan kasihan. Batasnya kabur, maklumlah ini urusan bola yang bentuknya
bundar. Kesal melihat pertandingan Liga Indonesia yang cara memasukkan golnya
aneh bin ajaib: bola ditendang ke gawang sendiri. Dan itu berulang seolah
penonton sangat bodoh dan yakin kalau tak disengaja.
Kesal karena gol bunuh diri beruntun itu
diselesaikan "secara adat". Kesal karena hasil pertandingan sering
kali skornya aneh, klub yang kuat bisa kalah telak. Semuanya itu seolah-olah
berlangsung normal dan jika ada yang usil menduga macam-macam-misalnya skor
diatur bandar judi-mudah dipatahkan dengan menyebut: bola itu bundar.
Kekesalan bertumpuk karena tim nasional tak
pernah berprestasi di tingkat Asia, bahkan di antara negara anggota ASEAN.
Peringkat dunia jangan ditanya lagi, urutannya di bawah Timor Leste, negeri
secuil bekas provinsi republik ini.
Ketika Menteri Olahraga membekukan PSSI dengan
tujuan memperbaiki tata kelola sepak bola nasional, kekesalan saya terobati.
Kalau Presiden Jokowi saja mendukung sepenuhnya langkah Menteri Olahraga,
sebagai rakyatnya Jokowi, tentu saya punya harapan yang sama.
Tapi apa yang terjadi? Habis kesal terbitlah
kasihan. Para pemain sepak bola mulai menjerit. Mereka terancam menjadi
penganggur. Pemain Sriwijaya FC, yang gajinya sudah ditunggak beberapa bulan,
semakin bingung karena manajemen kesulitan uang. Persib berancang-ancang
memulangkan pemainnya. Persipura lebih tragis, membubarkan klubnya pada Jumat
lalu. Semua pemain diputus kontraknya. Mereka tak punya harapan apa-apa lagi
kalau PSSI tetap beku dan sanksi FIFA belum dicabut.
Sanksi FIFA membuat Persipura-juga
Persib-dicoret dari pertandingan babak 16 besar Piala AFC. Bahkan Persipura,
yang sudah siap menjamu Pahang FA di Jayapura, batal mendadak menggelar
pertandingan. Ini membuat pendukung Persipura unjuk rasa. Kini semua klub
Indonesia dilarang ambil bagian dalam kompetisi tingkat Asia dan dunia. Siapa
yang tidak kasihan?
Bola itu bundar, kasihan dan kesal bisa
memantul ke mana-mana. Tiba-tiba saya ikut kesal kenapa Menpora tak sigap
bergerak. Seharusnya begitu PSSI dibekukan, Tim Transisi segera disuruh
bekerja, mendekati semua klub, membujuknya supaya ikut kompetisi "versi
pemerintah" yang segera digelar.
Menpora mengkritik pengurus PSSI yang
nyambi, bahkan ada yang berpolitik, selain "sarang mafia", isu tak
sedap tapi tak jelas. Namun Tim Transisi pun ternyata diisi orang-orang yang
tak sepenuhnya punya waktu, beberapa orang wali kota yang sibuk, plus tokoh
yang tak jelas apa pernah ke lapangan sepak bola atau tidak. Publik
seolah-olah dianggap bodoh juga.
Nasi sudah menjadi bubur-syukur bukan bubur
plastik. Klub-klub besar sudah tak berniat bergabung ke kompetisi "versi
pemerintah". Kompetisi PSSI yang diakui FIFA sudah harga mati betapa pun
FIFA juga dilanda krisis. Lebih baik bubar. Klub-klub menengah dan kecil
sesungguhnya banyak yang pasrah sambil lihat kanan-kiri. Tapi apakah Tim
Transisi Menpora sudah membujuk mereka untuk ikut kompetisi? Di Bali, Dewata
United, klub baru yang dilahirkan di masa sial ini, sibuk mengundang
klub-klub luar daerah untuk laga persahabatan. Mereka sedang senang-senangnya
menendang bola. Kalau Tim Transisi mendekati, jangan-jangan oke saja ikut
kompetisi. Bagi pemain, yang penting nendang bola dan dapur ngebul.
Harus ada hati yang cair. Kalau semua hati
membeku, kasihan juga cita-cita Presiden Jokowi yang ingin sepak bola kita
berprestasi, tak akan tercapai. Mungkin ini cita-cita kesekian yang gagal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar