Awas Penumpang Gelap Tol Laut dan Poros Maritim!
Siswanto Rusdi ; Direktur
The National Maritime Institute (NAMARIN)
|
KORAN SINDO, 13 Juni 2015
Anda tentu sering
mendengar frasa penumpang gelap dan pastinya acap menjumpainya dalam
kehidupan sehari-hari. Penumpang gelap biasanya dikonotasikan istilah yang
biasa dipakai dalam Semiotika Roland
Barthes sebagai mereka yang naik angkutan umum atau memasuki/menggunakan
fasilitas umum berbayar tanpa mengeluarkan ongkos sepeser pun. Ini adalah
tipe penumpang gelap konvensional di mana untuk menjadi jenis ini yang
berminat tidak perlu persiapan khusus.
Cukup bermuka sangar
atau disangarkan, berambut gondrong, bila perlu, tubuh dirajah dengan gambar
tengkorak atau pedang. Masyarakat umumnya melabeli mereka dengan sebutan
preman. Lalu, ada penumpang gelap tipe kedua yang karakteristiknya berbeda
seratus delapan puluh derajat dari yang pertama.
Mereka bermetamorfosis
dari wajah sangar, rambut gondrong dan tubuh yang dipenuhi tato menjadi
wajah-wajah yang rapi dan tubuh yang rapat ditutupi pakaian bermerek, bahkan
tak jarang memakai seragam. Dan, ini yang menjadi competitive advantage, meminjam istilah dari Michael Porter,
penulis buku dengan judul yang sama, penumpang gelap tipe kedua: mereka
menjalankan aktivitasnya secara berkelompok dengan manajemen yang apik serta
sasaran yang terukur.
Sementara, preman
sering kali beroperasi sendiri-sendiri serta tanpa pola dan sasaran yang
jelas. Hanya untuk sekadar cari makan. Karena lebih canggih dalam beroperasi,
penumpang gelap tipe kedua itu bisa menclok di mana saja. Kini mereka mencoba
menempel pada dua program kemaritiman nasional yang ada, yaitu poros maritim
dan tol laut.
Bagaimana permainan
mereka? Sebelumnya, mari dipahami dulu apa itu poros maritim dan tol laut.
Kedua istilah tersebut sejatinya tidak memiliki padanan dalam kosakata
kemaritiman internasional. Bisa jadi, keberadaan penumpang gelap pada program
kemaritiman nasional berawal dari istilah yang tidak baku sehingga orang
gampang memanipulasinya.
Dunia internasional
mengistilahkan poros maritim sebagai international
maritime center (IMC). IMC adalah sebuah pelabuhan atau negara yang telah
berhasil membangun aneka macam fasilitas, infrastruktur dan regulasi sehingga
menarik minat kalangan pelayaran internasional dan komunitas maritim lainnya
untuk mendatanginya dan dapat menjalankan bisnis yang menguntungkan di
pelabuhan/ negara bersangkutan.
Jadi, untuk menjadi
IMC yang baik maka yang diperlukan adalah kemampuan menarik pemain
internasional dengan berbagai kemudahan untuk datang dan menjalankan bisnis.
Singapura adalah salah satu contoh IMC. Status IMC yang didapat oleh negeri
jiran ini bertumpu pada posisinya sebagai sebuah hub kemaritiman global.
Sejalan dengan
statusnya, Singapura saat ini menjadi lokasi berkantornya lebih dari 4.200
multinational corporations (MNC) dan 26.000 perusahaan mancanegara lainnya.
Mereka terdiridari shipbrokers,
charterers, marine insurers, maritime law, dan sebagainya. Sebagai
operator untuk menangani para pebisnis itu, pemerintah Negeri Singa
menugaskan Maritime and Port Autority/MPA
yang diisi dengan staf yang profesional.
Dalian di China juga
merupakan IMC yang terkenal di kawasan Asia. Sementara, tol laut dipahami
oleh masyarakat global sebagai pendulum
service. Adapun maksudnya adalah a
voyage pattern for container ship based on cargo availability at the port of
call. As long as there are cargoes there the ship operator will deploy their
vessels regularly and timely (Siswanto
Rusdi, The Jakarta Post , 3 Desember 2014).
Modus Operandi
Di Indonesia, poros
maritim dan tol laut dimaknai dengan pengertian yang berbeda sama sekali.
Yang dimaksud poros maritim adalah ini penulis pahami dari berbagai
pernyataan yang muncul di media massa dari berbagai pejabat pemerintah
pasalnya tidak ada penjelasan resminya pusat bagi seluruh kegiatan
kemaritiman, apa pun kegiatan itu.
Bisa menjadi pusat
wisata bahari, atau pusat perikanan dan sebagainya. Tidak ada fokus khusus,
yang penting menjadi pusat kemaritiman. Untuk tol laut, kebijakan ini
diartikan sebagai pembangunan pelabuhan lumayan besarbesaran, tak peduli
apakah akan disandari kapal setelah dioperasikan kelak atau tidak. Memang,
tidak ada yang salah dengan istilah buatan lokal.
Namun, bisnis
kemaritiman adalah salah satu bidang usaha yang sangat menginternasional
sehingga kesamaan (commonness)
makna terhadap nomenklatur yang digunakan sangat diharapkan. Selain
kemaritiman, bisnis yang juga sangat mondial adalah penerbangan.
Dengan kondisi tanpa
kejelasan makna resmi dari pemerintah terkait definisi dua program
kemaritiman tadi, para penumpang gelap akhirnya dengan gampang melakukan
manuver untuk memetik keuntungan. Berdasarkan pengamatan terhadap
berita-berita seputar poros maritim dan tol laut dalam media massa nasional,
penumpang gelap itu ada yang berupa badan usaha dan ada pula instansi pemerintah.
Ambil contoh,
penumpang gelap mewacanakan perlunya subsidi bagi kapal-kapal yang
mengoperasikan pelayaran dalam skema tol laut. Soalnya, kapal-kapal ini sepi
peminat— terutama pemilik barang— namun mereka harus berlayar tepat waktu.
Dalam pelayaran perdananya dari Panjang (Lampung) menuju Surabaya (Jawa
Timur) beberapa waktu lalu, kapal roll
on-roll off /ro-ro yang dioperasikan oleh PT Atosim Lampung Pelayaran
hanya mengangkut 11 truk, sementara sisi kapasitas ia mampu memuat 500 truk.
Selain pelayaran
tersebut, Kementerian Perhubungan berencana akan mengoperasikan dua lagi
pelayaran di rute itu. Tanpa perlu menjadi ahli ekonomi transportasi,
pengoperasian ini amat sangat merugikan dan dapat dipastikan hanya akan
berlangsung sekali saja. Jika ingin tetap bertahan, tidak ada jalan lain
selain meminta subsidi. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.
Lalu, masih terkait
dengan upaya memperlancar distribusi barang ke seluruh Indonesia dalam
bingkai tol laut/poros maritim, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman
telah menguji coba penggunaan pesawat angkut tipe Hercules milik TNI AU. Rute
penerbangan Japura-Wamena.
Menko Maritim
Indroyono Soesilo mengharapkan dengan pengoperasian pesawat tersebut ongkos
angkut semen dari Jayapura-Wamena dapat ditekan hingga Rp 250.000 per karung.
Harga pasaran semen di Wamena berkisar Rp1 juta/karung. Kemungkinan besar TNI
AL juga akan dilibatkan kapal-kapalnya untuk memurahkan ongkos logistik yang
tinggi saat ini.
Kebijakan tersebut
dapat digolongkan sebagai penumpang gelap karena, pertama, apa nama
penerimaan yang didapat oleh TNI AU untuk jasa mereka menerbangkan semen itu?
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)? Tentunya bukan. Lantas, masuk ke
kantong siapa dana yang diterima untuk pengganti biaya avtur tersebut? Kedua,
jika terjadi liability, siapa yang
akan menanggungnya?
TNI AU bukanlah
pengangkut resmi yang nama dan tanggung jawabnya sebagai pengangkut tertera
dalam perjanjian pengangkutan yang biasa ditandatangani antara carrier dan shipper atau bill of lading
(B/L). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar