Menakar
Dukungan Papua di Pasifik
Neles Tebay ; Dosen STFT Fajar Timur
dan Koordinator Jaringan Damai Papua di Abepura
|
SINAR HARAPAN, 15 April 2015
Konflik Papua dipandang sebagai masalah domestik Indonesia. Oleh
sebab itu, seperti yang diakui banyak negara asing juga, penyelesaian konflik
ini merupakan wewenang pemerintah Indonesia.
Meski demikian, pemerintah
perlu serius memperhatikan perkembangan dukungan politik terhadap perjuangan
Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang terjadi tiga tahun terakhir ini,
di empat Negara Pasifik Selatan yang bergabung dalam Melanesian Spearhead
Group (MSG), yakni Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Fiji, dan Vanuatu.
Vanuatu merupakan satu-satunya negara Melanesia yang
pemerintahnya mendukung perjuangan OPM. Selain pemerintah, dukungan terhadap
Papua Barat datang dari tokoh adat, gereja-gereja, dan lembaga swadaya
masyarakat (LSM). Dukungan mereka didasarkan pada perkataan Fr Walter Lini,
pendiri Negara Vanuatu, “Vanuatu is not
free until all Melanesia is free (Vanuatu belum merdeka sampai semua
Melanesia merdeka).”
Di Kepulauan Solomon, ketika menjadi Perdana Menteri, Gordon
Darcy berhasil membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia. Namun,
pemerintahan kini dipimpin perdana menteri baru yang mendukung perjuangan
Papua. Rakyat yang mendukung Papua
Barat membentuk organisasi bernama Solomon
Islands for West Papua (SIFWP), dengan tujuan to see West Papua gain its freedom.
Sekalipun pemerintah Fiji masih menjaga hubungan diplomatik
dengan Indonesia, rakyatnya bangkit memberikan dukungan politik kepada the
Melanesian brothers and sisters of West Papua. Bulan Februari lalu, rakyat
bahkan sudah meluncurkan Fiji Solidarity
Movement for West Papua’s Freedom. Partai oposisinya berpihak pada Papua
Barat.
“Orang-orang Melanesia di Papua Barat sudah sekian lama diteror
dan ditindas karena asiprasi mereka akan kebebasan,” kata pemimpin partai
oposisi, Ro Feimumu Kepa (The Fiji Times, 17/1/2015). Bahkan,
klub nasional rugby dari Fiji, dalam turnya membawa dan mengibarkan Bendera
Bintang Kejora yang identik dengan bendera OPM.
Selain LSM lokal, gereja-gereja di Fiji juga mendukung
perjuangan Papua Barat. Rev Tevita Nawadra selaku pemimpin Gereja Methodis
yang merupakan gereja terbesar di Fiji, mengatakan, “Sudah terlalu lama kita tidak berbicara tentang penindasan secara
brutal, yang dilakukan Indonesia terhadap orang Papua Barat.”
Gereja memberikan dukungan, menurut Manumalo Tuinanumea selaku
pemimpin Dewan Gereja-gereja Fiji, agar kebebasan Papua Barat dicapai secara
damai dan bahwa permohonan keanggotaan mereka pada MSG dikabulkan (Fiji Times Online, 20/2/2015). Selain
itu, Dewan Gereja-gereja Pasifik (Pacific
Council of Churches) yang berkedudukan di Fiji mendukung penuh hak
penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua Barat.
Di luar perkiraan orang, suatu perubahan terjadi di Papua
Nugini. Selama ini, para pemimpin pemerintahan Papua Nugini biasanya menjaga
dan mempertahankan hubungan diplomatik yang baik dengan Indonesia, tidak
pernah mempersoalkan isu dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua dalam
pertemuan publik. Namun, Peter O’Neill selaku perdana menteri, pada pertemuan
nasional para pemimpin Papua Nugini di Port Moresby, 5 Februari 2015, membuat
kejutan karena mengakui adanya penindasan terhadap orang Papua Barat.
O’Neill mengakui, “Sering
kali kita lupa keluarga kita sendiri, saudara/i kita sendiri, terutama mereka
di Papua Barat.”
Setelah itu, ia melanjutkan, “Saya
pikir, sebagai sebuah negara, saatnya sudah tiba untuk berbicara tentang
penindasan orang-orang kita. Gambar-gambar tentang kebrutalan terhadap
orang-orang kita muncul setiap hari melalui media sosial, tetapi kita tidak
memberikan perhatian. Kita mempunyai kewajiban moral untuk berbicara bagi
mereka, yang tidak diizinkan untuk berbicara. Kita mesti menjadi mata bagi
mereka yang dibutakan. Papua Nugini, sebagai pemimpin regional, mesti
memimpin diskusi tentang penindasan di Papua Barat dengan teman-teman kita, secara
dewasa.”
Ia tidak mempertanyakan kedaulatan Indonesia, tetapi
pernyataannya memberikan penguatan baru terhadap rakyat dan anggota-anggota
parlemen, yang telah lama mendukung perjuangan OPM. Ia bahkan meminta
Indonesia untuk memberikan dukungan kepada Papua Barat untuk menjadi anggota
MSG.
Tampak dukungan terhadap Papua muncul dari semua negara
Melanesia. Orang Melanesia telah menjadikan konflik Papua sebagai konfliknya.
Orang Papua dipandang sebagai our
Melanesian brothers and sisters of West Papua.
Indonesia dinilai melakukan pendudukan atas Papua Barat.
Dukungan yang semakin kuat dan mengakar ini dapat memengaruhi keputusan
politik pemerintahan negara-negara Melanesia.
OPM yang selama ini dikenal terpecah belah dalam faksi-faksi
perlawanan, sudah bersatu dalam sebuah wadah koordinatif yang disebut United Liberation Movement for West Papua
(ULMWP). Papua Barat, melalui ULMWP, telah mengajukan kembali aplikasi
permohonannya sebagai anggota MSG, pada 4 Februari 2015. Para pemimpin negara
Melanesia akan menjawab permohonan tersebut
dalam pertemuan MSG, Juli 2015.
Rekomendasi
Kita tidak menghendaki Papua mendapatkan dukungan dari
seantero Pasifik dan konflik Papua menjadi isu Pasifik. Pemerintah mesti
mengokohkan relasi diplomasi dan kerja sama ekonomi dengan negara-negara
Melanesia, seperti kunjungan Menteri Luar Negeri
(Menlu) Retno Marsudi ke Papua Nugini pada 26-28 Februari, Kepulauan Solomon
pada 28 Februari, dan Fiji pada 1 Maret 2015 (Antara, 26/2/2015).
Kunjungan menlu perlu ditindaklanjuti pemerintah, dengan
membangun komunikasi konstruktif dan menyampaikan data-data pembangunan di
Provinsi Papua dan Papua Barat, selama 50 tahun integrasi, kepada pemerintah
dan organisasi masyarakat sipil di Pasifik Selatan. Informasi ini akan
mengimbangi informasi tentang Papua yang disebarkan OPM.
Media sosial mesti digunakan dalam menyebarkan informasi, yang
memperlihatkan pemerintah sungguh menghormati HAM orang Papua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar