Sabtu, 03 Mei 2014

Pendidikan yang Memerdekakan

Pendidikan yang Memerdekakan

Niken Ulfah Rahmaningrum  ;   Pengajar di MTs N Model Sumberlawang, Sragen
SINAR HARAPAN, 02 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Tolok ukur keberhasilan politik, ekonomi, maupun pendidikan adalah seberapa jauh usaha itu bisa memberikan ruang dan fasilitas bagi pengembangan kepribadian dan kebebasan masyarakatnya (Amartya Sen, Development as Freedom: 2000).

Artinya, proses dan hasil pembangunan dinilai gagal jika tidak mampu meningkatkan harkat kemanusiaan.

Di sinilah peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei semakin berarti dengan kondisi bangsa kita saat ini. Itu karena pendidikan berperan penting untuk mengembangkan kepribadian dan potensi manusia.

Namun, praktik-praktik pendidikan kita masih kerap memunculkan berbagai anomali, ironi, bahkan tragedi. Setelah pemberlakuan Kurikulum 2013 yang terkesan dipaksakan, pelaksanaan Ujian Nasional (UN) amburadul, kini giliran teror kekerasan dan pelecehan seksual membayangi lembaga pendidikan kita.

Belum lagi jika dikaitkan dengan masih maraknya praktik komersialisasi pendidikan yang menghambat kaum tak berpunya untuk mengenyam pendidikan. Data tahun 2013 menyebutkan, jumlah angka buta aksara di kalangan anak usia sekolah masih mencapai 11,7 juta.

Angka ini menunjukkan betapa negara belum sepenuhnya memenuhi hak-hak pendidikan bagi anak bangsa. Kalaupun dianggap telah memenuhi, praktik pendidikan belum memberikan ruang leluasa bagi pengembangan potensi dan kepribadian anak bangsa.

Mengabaikan keberaksaraan, Geoffrey Jukes dalam The Russo-Japanese War (2002) menyebut, penentu kemenangan Jepang atas Rusia dalam perang tahun 1904-1905 bukanlah teknologi, melainkan kultur keberaksaraan (literasi).

Saat itu tentara Jepang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi ketimbang tentara Rusia. Ini menunjukkan agenda literasi (membaca dan menulis) melalui jalur pendidikan menentukan martabat sebuah bangsa.

Sayangnya, semangat literasi yang terekam dalam lembaran sejarah itu masih sering diabaikan. Para penguasa di zaman ini terlihat tidak punya gairah untuk melanjutkan agenda pendidikan yang memerdekakan itu.

Mereka lebih sibuk mengurusi kekuasaan politik dan ekonomi. Nalar eksploitatif dan uang yang mewujud pada praktik-praktik korupsi meruntuhkan etos pemberantasan buta aksara. Terbukti korupsi anggaran pendidikan membuat kualitas pendidikan kita kian merosot tajam.

Korupsi bahkan menggerogoti bangunan fisik sekolah. Berita seputar gedung sekolah dasar yang ambruk hampir menjadi catatan harian. Guru-guru kita kini juga bukan lagi menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, melainkan pahlawan tak berharga. Sering kita jumpai beberapa penguasa daerah yang lebih memperhatikan gaji anggota dewan ketimbang kesejahteraan guru.

Gaji guru selalu berada pada urutan yang paling buncit. Mereka tertindas oleh struktur sosial politik yang belum berpihak pada hak-hak mereka sebagai, meminjam istilah Yudi Latief (2009), “bangsawan pikiran”.

Dilema antara peningkatan kualitas dengan pemerataan kesempatan belajar juga acap kali menggiring pemerintah mengeluarkan kebijakan darurat. Sebut saja tentang karut-marutnya pelaksanaan UN. Tampak sekali di satu sisi pemerintah ingin menjadikan UN sebagai barometer kualitas pendidikan nasional.

Di sisi lain, pola yang ditempuh justru mengabaikan berbagai potensi siswa yang notabene sangat khas dan beragam. Orientasi pendidikan masih didominasi tradisi kognitif dan berkiblat pada standardisasi yang dibuat untuk tujuan teknokrasi.

Alih-alih memerdekakan, pendidikan semacam itu justru membelenggu bakat (talent), perasaan (feeling), nilai-nilai (values), dan makna-makna subjektif yang dimiliki siswa. Akibatnya, siswa terpenjara hingga menjadi terasing dari diri dan realitasnya.

Pendek kata, pendidikan sejauh ini belum menjadi sarana liberasi, yakni sebuah proses kerja kreatif dan responsif untuk memerdekakan dan memberdayakan anak-anak bangsa. Di dalamnya belum terbuka ruang seluas-luasnya bagi liberasi yang melahirkan sikap dan mental siswa untuk menjadi manusia seutuhnya yang berjiwa merdeka.

Sebaliknya, out put pendidikan selama ini hanya menghasilkan pemimpin-pemimpin berjiwa kerdil, tidak responsif, dan bermental inlander yang menghamba pada kepentingan kelas berkuasa, yakni para kapitalis dan imperialis modern.

Sebuah kelas yang kini mengendalikan gagasan untuk memaksa secara samar agar siapa pun berkiblat pada selera pasar yang bercorak materialistis, pragmatis, hedonis, konsumtif, apolitis, sensual, dan fatalis.

Liberatif dan Emansipatif

Kini, apresiasi terhadap Hardiknas tidak hanya seremoni. Spirit Hardiknas harus ditangkap dan diwujudkan untuk membangun pendidikan yang mencerdaskan dan memerdekakan. Kultur keberaksaraan (literasi), yang menjadi penyebab kemenangan Jepang atas Rusia dalam sejarah, harus menjadi pemantik bagi penguasa di zaman ini untuk memenuhi hak-hak pendidikan bagi seluruh anak bangsa tanpa terkecuali.

Demikian pula kerja pendidikan tidak hanya menjadikan anak bangsa sebatas homo (manusia), tetapi harus menjadi “homo yang human”, yakni menjadi manusia seutuhnya (purnawan) yang berkebudayaan dan berkeadaban. Untuk itulah pendidikan harus menyapa keseluruhan dan keutuhan pribadi siswa demi menumbuhkan kuriositas intelektual, kematangan emosional, dan kejernihan spiritual.

Pengembangan potensi intelektualitas, emosionalitas, dan spiritualitas ini harus menjadi agenda utama dalam pendidikan. Potensi mind dan brain harus dioptimalkan semaksimal mungkin agar anak bangsa mampu meraih prestasi peradaban. Untuk itu, prasyarat yang tidak boleh ditawar adalah sifat pendidikan harus emansipatif dan liberatif.

Pendidikan harus menjadi alat pembebasan dari kebodohan, teror kekerasan, dan penindasan dalam berbagai bentuknya yang dapat membonsai perkembangan pertumbuhan manusia. Singkatnya, pendidikan harus mengantarkan manusia menjadi pribadi yang merdeka dan senantiasa tumbuh dan berkembang.

Jika agenda ini menjadi bagian integral dalam pendidikan, peningkatan harkat kemanusiaan akan tercapai. Dengan spirit pendidikan yang memerdekakan ini, niscaya anak bangsa akan mampu mentransformasi diri menjadi manusia-manusia yang berjiwa merdeka sehingga mampu menjalankan perbuatan utama bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar