Pergunjingan
Jam Tangan Panglima
Mahmudi Asyari ; Peneliti dari ICIS Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 02 Mei 2014
"Pernyataan Moeldoko bahwa ia memakai barang
palsu dan tiruan justru bisa mencoreng sifat-sifat perwira"
MASALAH
jam tangan sebenarnya sepele, berapa pun harganya mengingat siapa saja yang
mempunyai banyak uang boleh membeli arloji mahal dan mengenakannya. Adapun
menyangkut etika pantas atau tidak pantas memakai jam tangan mahal, itu lebih
pada tafsir subjektif sehingga siapa pun boleh berpendapat pantas atau tidak
pantas sesuai dengan konstruksi argumen yang diinginkan. Jadi, arloji
berharga mahal sekalipun semestinya tak jadi persoalan siapa pun pemakainya,
termasuk Jenderal Moeldoko, selama itu dibeli dari uang yang diperoleh secara
halal. Terlebih ketika mengikuti fit and proper test di DPR dia berujar, ”Apa
salah seorang tentara kaya?” Menyusul penjelasannya bahwa kekayaannya itu
hibah dari mertua, dan dari uang perjalanan tugastugas di luar negeri.
Dengan
total kekayaan hanya beberapa digit di bawah jumlah kekayaan Hadi Poernomo,
mantan direktur jenderal Pajak Kemenkeu dan mantan ketua BPK, secara logika
tentu sangat mudah bagi Moeldoko untuk membeli jam orisinal. Apalah arti 1
miliar rupiah dibanding 32-34 miliar rupiah? Tentu itu bisa dianggap ”receh”,
dan tak ada pihak yang boleh mempersoalkan. Sejatinya, sebagai perwira,
terlebih perwira tinggi, dengan mendasarkan pada mata kuliah Kewiraan maka ia
harus senantiasa berkata jujur dan bersikap terus terang. Dia sebenarnya
tinggal menjawab pertanyaan wartawan bahwa arloji yang dipakainya asli. Itu
berarti selaras dengan jawabannya ketika ditanya asal-usul hartanya di
sela-sela fit and proper test di DPR,” Apa salah seorang jenderal memakai jam
mahal?” Jawaban seperti itu malah lebih menuntaskan, terlebih ia memang
mengaku tajir sehingga tak bakal ada bayangan gratifikasi.
Seandainya
ia mengatakan seperti itu maka ”kasus jam mahal” tersebut langsung rampung,
dan ia bisa memakai seluruh koleksinya tanpa harus berapologia. Andaikata itu
dikaitkan dengan masalah etis pun, semua orang mafhum bahwa kemahalan itu
relatif dan bagi saya mengingat ia kaya maka pantaslah memiliki dan memakai
arloji mahal. Hanya ketika persoalan itu mengemuka dan ramai diramaikan di
internet, Moeldoko memberi klarifikasi bahwa arloji itu tiruan yang tak
sampai berharga satu miliar rupiah. Penjelasannya menimbulkan persoalan baru,
bahkan bisa merusak reputasi nilai-nilai perwira, sebagaimana saya dapatkan
ketika dulu mengikuti mata kuliah Kewiraan. Dengan mengatakan bahwa itu bukan
jam tangan asli alias tiruan atau barang KW, timbul masalah yang lebih serius
ketimbang ia langsung saja bilang bahwa jam yang dipakainya memang
”bermerek”.
Hak
Cipta Dengan mengatakan bahwa itu barang KW (istilah sebagian masyarakat
untuk mengatakan bahwa itu bukan produk/merek asli-Red) berarti Moeldoko
terbukti membeli dan memakai produk bajakan. Tidak hanya sampai di situ,
pernyataannya itu, selaku pejabat negara dia tidak bisa menunjukkan
keteladanan dalam hal ketaatan hukum. Padahal Indonesia melalui undang-undang
hak cipta telah menegaskan bahwa barang palsu adalah musuh. Komputer di
warnet-warnet saja menjadi sasaran razia polisi meskipun saya yakin tak semua
komputer di kantor polisi itu asli atau orisinal. Dengan kata lain,
”mengklaim” sebagai pembeli dan pengguna barang tiruan, secara tak langsung
Moeldoko telah melanggar undang-undang. Seandainya itu dilakukan orang biasa
pasti harus berurusan dengan aparat penegak hukum.
Pernyataan
Moeldoko bahwa ia menggunakan barang palsu dan tiruan justru bisa mencoreng
sifatsifat perwira, karena dengan begitu ia tidak menjadi teladan dalam
menaati hukum. Padahal seandainya ia mengatakan arloji yang dikenakan itu
asli (berapa pun harganya) dan dibeli dari kekayaan yang menurutnya hibah
dari mertua, jauh lebih bermartabat. Adapun kemungkinan ada penilaian etis
atau tidak etis, itu relatif. Saya katakan lebih bermartabat karena selain ia
”pantas” memiliki mengingat kaya, pernyataannya sekaligus menunjukkan
keteladanannya menaati hukum.
Apa yang sedang dipergunjingkan sebagian orang
berkait jam tangan Moeldoko memang ironis. Pasalnya kasus jam itu justru
muncul ketika ia berinisiatif menurunkan tensi hangat hubungan antara
Indonesia dan Singapura dengan menyatakan ”menyesal” (regreted) atas penamaan
dua kapal perang kita.
Pernyataan itu, bila tidak dari presiden, harus datang
dari menteri luar negeri atau menteri pertahanan mengingat hal itu ranah
negara. Ketika dia diwawancarai itulah, televisi Negeri Singa menyorot jam
tangan jenderal bintang empat tersebut.
Singapura, sekaligus media massa di
negara itu, tentu ”senang” mengingat selain mendapatkan apa yang dituntut,
mereka merasa mendapat berita hangat yang menurutnya pantas diberitakan, dan
kemudian menjadi bahan pergunjingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar